
Oleh: Wan Muhammad Arraffi*
Belakangan ini, saya sering melihat tumpukan sampah yang berserakan di sekitar Student Center (SC) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Tumpukan sampah itu biasanya berada di sudut-sudut gedung dan di tong sampah itu sendiri. Bahkan, tong sampah yang besar pun tidak sanggup menahan banyaknya sampah yang masuk ke perutnya. Sampah yang berserakan di sudut gedung itu pun tak kunjung dibersihkan—sampai mengeluarkan aroma yang mengerutkan hidung dan mengotori mata.
Sialnya, kebanyakan mahasiswa betah dan enggan membersihkan tumpukan sampah yang hampir menyerupai miniatur Bantar Gebang. Sejenak saya berpikir, apa yang menyebabkan mahasiswa, yang katanya berada di lingkungan green campus, tidak peduli dan tak tergerak untuk sekadar menghilangkan miniatur itu? Apakah green campus yang diusung oleh beberapa kampus di Indonesia, termasuk UIN Jakarta, hanya sekadar slogan semata? Atau bagaimana sebenarnya kampus memandang wacana green campus ini?
Sebelum itu, perlu diketahui dahulu dari mana awal mula wacana green campus. Dikutip dari narasi.tv, istilah green campus pertama kali digaungkan oleh Association for the Advancement of Sustainability in Higher Education (AASHE) Amerika Serikat pada 2005. Istilah itu dimunculkan karena manusia baru menyadari besarnya kontribusi tangannya pada kerusakan lingkungan dan ekosistem (Dian, 2024).
Pelopor green campus di Indonesia adalah Universitas Indonesia (UI) pada 2010. UI, dengan segenap inisiatifnya, meluncurkan program UI GreenMetric World University Ranking (Farisi, 2022). Program tersebut bertujuan untuk melihat kondisi dan kebijakan tentang penghijauan atau sustainability di universitas seluruh dunia. (UI GreenMetric, n.d.). Program tersebut, pada 2022, diikuti oleh 126 perguruan tinggi di Indonesia (Citra, 2023). UIN Jakarta menjadi salah satu partisipan yang bersaing dalam peringkat itu.
Jika berkaca pada kampus saya sendiri, UIN Jakarta baru menerapkan program green campus pada 2019. Kala itu, UIN Jakarta berada di bawah rezim Amany Burhanuddin Umar Lubis. Saat ini, di bawah rezim Asep Saepudin Jahar, UIN Jakarta berkomitmen untuk menjadi green campus. Hal itu disandarkan pada surat edaran No. 09/2024 yang bertujuan untuk mengurangi sampah plastik (Pangestu, 2024).
Selepas saya membaca artikel mengenai upaya UIN Jakarta demi mendapatkan label green campus, banyak hal yang tidak dilihat UIN Jakarta dalam tindakan semunya. Dalam artikel tersebut, menurut Prof. Dr. Lily Surraya Eka Putri, M.Env.Stud. selaku Direktur Sustainable Development Goals (SDGs) Center UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengatakan, ada enam aspek yang harus dipenuhi kampus untuk mendapatkan status hijau itu; infrastruktur sarana dan prasarana, limbah, penggunaan dan pengelolaan air, penggunaan energi yang ramah lingkungan, transportasi, dan edukasi (Pangestu, 2024). Dari enam aspek itu, tak ada satupun aspek yang dijalankan secara maksimal oleh UIN Jakarta.
Kategori pertama, UIN Jakarta masih gagal dalam menerapkan infrastruktur sarana dan prasarana yang berkaitan erat dengan konsep green building. Sebagian besar gedung di UIN Jakarta masih menggunakan AC dan lift. AC dan lift turut menghasilkan emisi karbon dari energi listrik yang dihabiskan setiap penggunaannya.
Penggunaan AC dan lift di UIN Jakarta biasanya dimulai dari jam 07.00–17.00. Lebih kurang AC dan lift menyala sekitar sepuluh jam per unit dalam sehari. Jika dikalikan dengan durasi aktivitas perkuliahan yang berlangsung lima hari dalam seminggu, maka setidaknya AC dan lift selalu menyala sekitar lima puluh jam per unit dalam sehari. Tak terbayangkan berapa banyak emisi karbon yang dihasilkan dari setiap unit AC dan lift yang ada di UIN Jakarta.
Pada kategori kedua yang berhubungan dengan limbah, UIN Jakarta juga mengecewakan dalam penerapannya. UIN Jakarta masih tetap mempertahankan perilaku konsumtif yang ujungnya menimbulkan limbah, terutama limbah plastik. Upaya pelestarian perilaku tersebut terlihat dari kantin yang masih menggunakan plastik sebagai wadah makanan atau minuman dan ekspansi bisnis UIN Jakarta dengan menyewakan beberapa gedung kepada pebisnis makanan dan minuman—seperti Janji Jiwa dan Family Mart—yang juga memakai plastik untuk membungkus produknya. Klaim bahwa UIN Jakarta telah melakukan pengelolaan limbah tidak sejalan dengan tindakannya sendiri.
Dalam penggunaan dan pengelolaan air, UIN Jakarta juga tidak sungguh-sungguh. UIN Jakarta tidak mempertimbangkan efek lingkungan, terutama pada air, yang dihasilkan dari aturan dan program terkait tata busana. Contohnya saja, beberapa fakultas di UIN Jakarta mewajibkan mahasiswanya untuk menggunakan pakaian berkerah—kemeja atau kaos polo—untuk laki-laki selama peraturan. Selain itu, UIN Jakarta juga menyediakan almet bagi setiap mahasiswanya dari hasil pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) pertama.
Melihat dari dua aturan tersebut, mahasiswa dipaksa untuk memiliki atau menggunakan pakaian tertentu saat aktivitas perkuliahan. Pemaksaan itu pada akhirnya mengharuskan mahasiswa untuk membeli atau mencuci dua jenis pakaian itu hanya untuk memenuhi hasrat kampus. Padahal, produksi pakaian memerlukan banyak air.
Untuk memproduksi satu kemeja saja, membutuhkan 2.700 liter air (Indraswari, 2021). Itu hanya satu kemeja, belum kebutuhan tata busana lain yang diwajibkan atau diproduksi oleh UIN Jakarta sendiri, seperti kaos—jika ada acara-acara tertentu—dan almet. Demi menghasilkan satu kilogram katun, membutuhkan lebih kurang sepuluh ribu liter air—belum termasuk produksi satu jenis pakaian (Fizriyani, 2022). Civitas academica secara sadar atau tidak sadar dipaksa untuk melakukan pemborosan air hanya untuk aturan tata busana—semestinya, mahasiswa Islam cukup memakai pakaian yang ada, selama menutup aurat.
Poin keempat mengenai penggunaan energi yang ramah lingkungan melalui penghematan energi juga kontradiktif dengan sistem administrasi di UIN Jakarta. Komputer dan perangkat elektronik di ruang administrasi selalu menyala dari jam masuk—pulang kerja. Hal tersebut tak terlepas dari proses administrasi yang ruwet. Demi menyelesaikan satu pengajuan proposal kegiatan saja, bisa memakan waktu hingga berminggu-minggu sampai berbulan-bulan (Arraffi, 2024, 15–16). UIN Jakarta sangat tahu bagaimana cara menghabiskan umur mahasiswa.
Beranjak ke poin lima tentang transportasi, UIN Jakarta masih menggunakan vendor—Green Parking—untuk mengelola sistem lalu-lalang kendaraan di rumahnya sendiri. Walaupun namanya Green Parking, green-nya tidak ada sama sekali. Palang pintu yang terletak di gerbang masuk dan keluar yang digunakan Green Parking masih menggunakan palang bertenaga listrik yang akan menghilir pada penambahan emisi karbon.
Indikator terakhir ditutup dengan edukasi. Poin ini menekankan pada integrasi mata kuliah dengan masalah lingkungan di kurikulum. Inilah poin yang seharusnya dikuatkan oleh UIN Jakarta. Akan tetapi, praktek yang berjalan dalam sistem pendidikan justru masih sangat amat minim. Integrasi masalah lingkungan di setiap mata kuliah pun tidak begitu berjalan. Satu hal yang paling terlihat hanya aturan yang melarang buang sampah dan merokok.
Kampus sebagai ranah pendidikan seharusnya bertugas untuk mendidik, bukan hanya sekadar membuat banyak aturan. Banyaknya aturan yang dibuat oleh kampus justru mengindikasikan bahwa kampus malas atau tidak fokus untuk mengedukasi masyarakatnya. Penyediaan tong sampah di wilayah kampus juga membuka peluang untuk membuat limbah atau sampah.
Melihat cacatnya UIN Jakarta dalam menjalankan program hijau ini, menimbulkan pertanyaan besar di kepala saya. Mengapa program green campus yang bertujuan menyelamatkan bumi justru kembali merusak bumi dengan cara yang lebih ciamik?
Setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan program green campus ini adalah wacana belaka. Pertama adalah pengaruh eufimisme dari narasi green campus. Kedua adalah hilangnya kesadaran katastrofik—kesadaran bahwa malapetaka yang hadir terjadi secara tidak alamiah tetapi disistem oleh manusia atau akibat ulah manusia itu sendiri—dan kesadaran eskatologis—kesadaran bahwa kehidupan pasti berakhir—dalam diri civitas academica. Dua faktor tersebut kelit-kelindan dan terjadi secara kronologis.
Sebelum narasi green campus muncul, dunia industri atau korporasi sudah memanfaatkan narasi hijau ini sejak abad ke-19 yang dikenal dengan green capitalism. Industri mulai mempertimbangkan cara mengejar keuntungan dengan keberlanjutan kelestarian alam. Namun, narasi hijau itu hanya untuk meredam gangguan atau disrupsi yang dapat menghalangi lajunya produksi demi meraih keuntungan. Dengan kata lain, industri berkelanjutan—sustainability—-hanya memperlambat proses krisis iklim yang sedang terjadi akibat proses industri yang mereka jalankan (Mahadika, 2023).
Narasi-narasi hijau itu dibuat melalui eufemisme. Eufemisme merupakan ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, yang dianggap merugikan atau tidak menyenangkan (Haryanto, 2021). Kembali ke konteks green capitalism, penghalusan kata tersebut dilakukan untuk mengaburkan fakta bahwa industri hijau juga melakukan kerusakan alam (Mahadika, 2023).
Begitu pula dengan green campus. Narasi tersebut hanya topeng dari kerusakan-kerusakan yang dibuat oleh pihak kampus. Lahan-lahan di sekitar kampus mulai diakuisisi UIN Jakarta satu per satu. Tak hanya itu, pihak kampus sedang gencar melakukan ekspansi bisnis melalui penyewaan gedung atau ruangan dan membuat bisnis sendiri—cara kampus menambah produksi limbah (Choiriah, 2023). Imbasnya, Mahasiswa sulit mendapatkan tempat demi melangsungkan ide-idenya. Bahkan, mahasiswa turut dimintai iuran sewa ketika menggunakan ruangan di kampus (Choiriah & Bahriyuhani, 2024).
Semua itu tentunya tak lepas dari upaya UIN Jakarta dan kampus-kampus lain untuk mendapatkan status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). Perguruan tinggi hanya memandang angka (uang), bukan lingkungan. Keberlanjutan lingkungan dijadikan jalan demi melancarkan produksi uang yang masuk ke kantong kampus. Dengan demikian, narasi green campus menutup secara perlahan ruang-ruang kritik civitas academica terhadap tindak ugal-ugalan pihak kampus dalam menjalankan amanat pendidikan. Dengan demikian, pendidikan menjadi salah satu penyumbang tanda-tanda akhir dunia (termasuk saya sendiri sebagai bagian dari pendidikan).
Pengaburan fakta yang ditimbulkan oleh eufemisme berakibat pada hilangnya kesadaran katastrofik dan eskatologis civitas academica. Di tengah banyaknya krisis yang dialami dan dibuat manusia saat ini, terkhusus kampus, justru tidak berhasil menumbuhkan dua kesadaran itu. Malah, masyarakat kampus menganggap kondisi dunia dan kampus “baik-baik saja’’. Dua kesadaran itu justru dibunuh oleh status quo pendidikan, lembaga pendidikan, demi melancarkan kekuasaannya.
Lembaga pendidikan menciptakan kesenjangan normalitas (pengalaman) terhadap krisis lingkungan yang sedang berlangsung. Lembaga pendidikan menganggap bahwa status kedaruratan (krisis yang paling krisis) ketika civitas academica terlalu banyak memanfaatkan teknologi—seperti ChatGPT—dalam proses belajar-mengajar.
Seharusnya, status kedaruratan itu dipijakkan pada hilangnya akal sehat dan hak hidup (nyawa) dari manusia (Al-Fayyadl, 2020). Lembaga pendidikan juga tidak menghadirkan realitas dunia saat ini kepada civitas academica. Dengan begitu, warga kampus tidak akan bisa menangkap sense bagaimana nahasnya alam sekarang dan hidup diambang krisis alam.
Kini, lembaga pendidikan sedang mendekatkan diri kepada oligarki. Bagaimana tidak, lembaga pendidikan mewajibkan kampus untuk memenuhi prasyarat-prasyarat, legalitas pendirian dan akreditasi, untuk bertahan hidup. Mahasiswa dan dosen berubah menjadi korban dan buruh akademik untuk memenuhi prasyarat-prasyarat itu, melalui pengabdian dan magang atau beban penelitian dan karya jurnal (Polimpung, 2023, 21–22). Maka dari itu, civitas academica teralihkan fokusnya untuk menyelesaikan beban administrasi. Narasi green campus atau kelestarian lingkungan dipandang sebatas peringkat dan skor dari survei atau metrics yang dibuat oleh beberapa kalangan, bukan esensi dari penghijauan atau sustainability.
Salah satu bukti yang bisa dilihat adalah tindak pelacuran intelektual yang pernah dilakukan oleh kampus ternama, yakni Universitas Gadjah Mada (UGM). Beberapa ilmuwan UGM mengesahkan penambangan bentang karst (kapur) di Pegunungan Kendeng pada kasus semen di Rembang tahun 2015. Peristiwa ini merupakan satu dari sekian banyaknya kasus pelacuran intelektual demi menjilat pantat korporasi dan menendang pantat masyarakat sendiri (Al-Fayyadl, 2017).
Seharusnya, lembaga pendidikan harus punya kesadaran politis bahwa pengetahuan, secara kultur, berpihak kepada rakyat yang pada dasarnya adalah guru mereka. Lembaga pendidikan mendapatkan segala akses dari uang-uang rakyat, bukan korporat.
Tan Malaka pernah berkata, “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.”
Pertanyaan selanjutnya, apakah ada jalan lain untuk tetap menjalankan pendidikan sembari menjaga kestabilan alam? Jawabannya, ada. Sekurang-kurangnya ada dua jalan yang bisa ditempuh untuk mengintegrasikan dua ranah itu.
Jalan pertama adalah membangun disiplin-disiplin keilmuan baru yang dengan mengintegrasikan orientasi kehidupan dan survivalitas kehidupan. Dengan kata lain, melihat kehidupan yang hendak musnah dan manusia berkewajiban untuk melestarikan kehidupan, maka pendidikan mestinya melahirkan sub materi yang berkaitan dengan lingkungan, seperti bio-sosiologi, bio-antropologi, dan lain sebagainya (Al-Fayyadl, 2020). Walaupun kehidupan dipastikan berakhir, manusia bisa menyiapkan kehidupan alternatif dan keluar dari perangkap normalitas yang meracau pikiran kritisnya.
Berikutnya, manusia bisa keluar dari kecanduan merusak alam dengan menghadirkan referensi yang bisa menjalankan pendidikan dan kelestarian alam secara bersamaan. Laiknya yang dilakukan oleh pesantren Annuqayyah, Guluk-Guluk, Sumenep. Pesantren tersebut tidak menyediakan tong sampah di setiap kelas dan hanya menaruh dua tempat sampah di halaman sekolah, tepatnya di bagian pojokan. Aksi itu pada akhirnya memaksa santri untuk tidak memproduksi sampah. Semakin banyak tong sampah, maka semakin banyak tempat yang bisa diisi dengan limbah plastik (Faizi, 2020, 43-44).
Sumber: Ibrahim Haikal Putra Abadi/Fotografer LPM Institut
Contoh yang paling dekat dilakukan oleh beberapa anak Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) UIN Jakarta pada Selasa, 29 Oktober 2024. Salah satu pojok SC yang dahulu menjadi tempat miniatur Bantar Gebang berdiri, dirombak menjadi pojok nongkrong dan literasi. Mulanya, mereka merasa resah melihat jalan lalu-lalang menuju sekretariat dipenuhi sampah. Keresahan itu diperkuat karena aturan larangan buang sampah diacuhkan oleh kebanyakan mahasiswa. Saat cara itu tidak mempan, akhirnya mereka memutar otak untuk mengganti fungsi pojokan itu menjadi tempat tongkrongan supaya tidak ada buang sampah lagi di sana. Anak-anak UKM itu sepakat untuk tidak menaruh tong sampah di sekitar sekretariat.
Dua contoh di atas merupakan bukti bahwa dua hal tersebut—pendidikan dan kelestarian alam—bisa berjalan beriringan sembari gandengan tangan. Yang dibutuhkan hanya penambahan frame of reference untuk merombak cara berpikir kolot—seperti, membuat larangan buang sampah dengan penyematan nama hewan bagi si pembuang sampah. Banyak cara kreatif untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang benar-benar peduli dengan lingkungan, bukan hanya sekadar program hijau yang terselubung hijau lain di dalamnya.
Lalu, which green do you see in your campus?
*Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Daftar Pustaka
Al-Fayyadl, M. (2017, October 9). Kultur Pengetahuan yang Berpihak Kepada Yang Tertindas. IndoPROGRESS. Retrieved October 31, 2024, from https://indoprogress.com/2017/10/kultur-pengetahuan-yang-berpihak-kepada-yang-tertindas/
Al-Fayyadl, M. (2020, October 16). Kehidupan dari “Akhir Dunia”: Eskatologi sebagai Kritik Kebudayaan. Islam Bergerak. Retrieved October 31, 2024, from https://islambergerak.com/2020/10/kehidupan-dari-akhir-dunia-eskatologi-sebagai-kritik-kebudayaan/
Arraffi, W. M. (2024, Juli 7). Gerak Lamban Birokrasi Surat-Menyurat Kemahasiswaan. Tabloid Institut Edisi LXVIII, 1-20.
Choiriah, H. U. (2023, November 7). Upaya UIN Jakarta Kejar PTN BH – LPM INSTITUT. LPM Institut. Retrieved October 31, 2024, from https://lpminstitut.com/2023/11/07/upaya-uin-jakarta-kejar-ptn-bh/
Choiriah, H. U., & Bahriyuhani, I. (2024, Juni 10). Ambisi Bisnis Cekik Kegiatan Mahasiswa. lpminstitut.com. Retrieved Oktober 31, 2024, from https://lpminstitut.com/2024/06/10/ambisi-bisnis-cekik-kegiatan-mahasiswa/
Citra, S. (2023, August 22). 15 Kampus Terhijau di Indonesia Versi UI GreenMetric 2022. IDN Times. Retrieved October 30, 2024, from https://www.idntimes.com/life/education/sierra-citra/kampus-terhijau-di-indonesia-versi-ui-greenmetric
Dian, R. (2024, August 18). Apa Itu Green Campus? Berikut Definisi, Sejarah, dan Indikator Penilaiannya | Narasi TV. Narasi Tv. Retrieved October 29, 2024, from https://narasi.tv/read/narasi-daily/apa-itu-green-campus#google_vignette
Faizi, M. (2020). Merusak bumi dari meja makan. Cantrik Pustaka.
Farisi, M. I. (2022, October 9). Kampus Hijau dan Tanggung Jawab Perguruan Tinggi bagi Keberlanjutan Bumi. KOMPAS.com. Retrieved October 30, 2024, from https://www.kompas.com/edu/read/2022/10/09/173832171/kampus-hijau-dan-tanggung-jawab-perguruan-tinggi-bagi-keberlanjutan-bumi
Fizriyani, W. (2022, March 24). Mewaspadai Bahaya Produksi Katun terhadap Ketersediaan Air di Bumi | LITERAT. literat.republika.co.id. Retrieved October 30, 2024, from https://literat.republika.co.id/posts/85191/mewaspadai-bahaya-produksi-katun-terhadap-ketersediaan-air-di-bumi
Haryanto, A. (2021, July 22). Majas Eufemisme: Pengertian dan Contoh dalam Bahasa Indonesia. Tirto.id. Retrieved October 31, 2024, from https://tirto.id/majas-eufemisme-pengertian-dan-contoh-dalam-bahasa-indonesia-ghX2
Indraswari, D. L. (2021, 4 10). Kontribusi “Slow Fashion” Selamatkan Lingkungan. www.kompas.id. Retrieved 10 30, 2024, from https://www.kompas.id/baca/riset/2021/04/10/kontribusi-slow-fashion-selamatkan-lingkungan/?status=sukses_login&login=1730260762451&open_from=header_button&loc=header_button
Mahadika, G. (2023, October 15). Narasi Kapitalisme Hijau: Ramah di Luar, Tetap Bahaya di Dalam. IndoPROGRESS. Retrieved October 31, 2024, from https://indoprogress.com/2023/10/narasi-industri-kapitalisme-hijau/
Pangestu, A. (2024, August 4). Green Campus: Menyambut UIN Jakarta Menjadi Kampus yang Ramah Lingkungan | Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Website Resmi. UIN Jakarta. Retrieved October 30, 2024, from https://www.uinjkt.ac.id/id/green-campus-menyambut-uin-jakarta-menjadi-kampus-yang-ramah-lingkungan
Polimpung, H. Y. (2023). Neoliberalisme Perguruan Tinggi? Buruh Akademik? Sebuah catatan kritis dari perspektif kelas pekerja. In Buruh Perguruan Tinggi Didesak Sekak (59th ed., pp. 1-64). Balairung Press.
UI GreenMetric. (n.d.). THE FIRST WORLD UNIVERISTY RANKING ON SUSTAINABILITY: RANKINGS OVERVIEW. greenmetric.ui.ac.id. Retrieved Oktober 31, 2024, from https://greenmetric.ui.ac.id/rankings/rankings-overview