36 Tahun Talangsari Tak Kunjung Diadili

36 Tahun Talangsari Tak Kunjung Diadili

Read Time:3 Minute, 13 Second
36 Tahun Talangsari Tak Kunjung Diadili

Korban Tragedi Talangsari tak kunjung mendapat keadilan. Mereka menuntut agar pemerintah segera menindaklanjuti kasus tersebut


Tragedi Talangsari adalah salah satu dari sekian banyak pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di Indonesia. Tragedi tersebut terjadi pada 1989 di Desa Talangsari, Lampung Timur. Dilansir dari Wikipedia.org, Tragedi Talangsari setidaknya mengakibatkan 130 orang tewas, 77 orang dipindahkan secara paksa, 53 orang kehilangan hak-haknya, dan 46 orang lainnya disiksa. 

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), serta Amnesty terus membantu korban menuntut keadilan atas tragedi tersebut. Namun, hingga kini, tidak tampak kiat penyelesaian dari pemerintah terkait Tragedi Talangsari.

Padahal, pada 19 Mei 2005, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menyatakan bahwa tragedi itu termasuk pelanggaran HAM berat. Pun Joko Widodo, saat masih menjabat sebagai presiden Republik Indonesia (RI) pada tahun 2023 telah mengakui Tragedi Talangsari sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat. 

KontraS, Amnesty Chapter Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, bersama Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum (Dema FSH) menggelar diskusi publik untuk mengingat 36 tahun Tragedi Talangsari. Diskusi dengan tema “Menuntut Akuntabilitas Atas Kasus Pelanggaran Berat HAM Talangsari Lampung” itu, berlangsung di teater lantai enam gedung FSH UIN Jakarta. 

Salah satu korban sekaligus Ketua Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL), Edi Arsadad menjadi narasumber dalam diskusi tersebut. Edi menjelaskan, pemerintah mengaku telah melakukan kesepakatan damai dengan para korban, namun kenyataannya tidaklah demikian. Para korban masih belum mendapatkan keadilan. Aksi yang mereka lakukan guna menuntut keadilan tersebut juga terus dihalangi pemerintah. 

“Harapan saya yang pasti kasus ini segera dibawa ke pengadilan HAM agar masyarakat Talangsari segera mendapatkan keadilan dari pemerintah,” ujar Edi, Jumat (7/2) 

Jessenia Destarini sebagai narasumber dari KontraS mengatakan, pemerintah Indonesia belum mampu menuntaskan kasus Talangsari dengan alasan saksi dan korban sudah tiada. Kejaksaan Agung pun sulit untuk membawa kasus tersebut ke tahap penyidikan dengan dalih bukti yang diberikan Komnas HAM kurang banyak dan belum memenuhi syarat. Hal itu menandakan kasus Tragedi Talangsari akan tertunda untuk diselesaikan di pengadilan. Apalagi, pemerintah Indonesia yang baru juga menunjukkan sikap tidak peduli akan kasus Talangsari. 

Padahal, Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Indonesia (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra berjanji akan menyelesaikan segala kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum adanya Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) bersama dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).  

“Jika tidak belajar dari masa lalu, kita tidak akan bisa berproses dan menjadi lebih baik,” kata Jessenia, Jumat (7/2). 

Sementara itu, Ghevin Agung, narasumber dari Amnesty Chapter UIN jakarta mengungkapkan, orang muda sering kali merasa tidak aman untuk mendiskusikan atau melakukan demonstrasi soal pelanggaran HAM berat. Hal ini terjadi karena mereka khawatir akan ancaman penangkapan oleh aparat. Menurut Ghevin, orang muda perlu berkaca ke para korban Tragedi Talangsari yang terus memperjuangkan haknya di tengah usianya yang kian menua.

Salah satu audiens, Patria Suryadwinata mengungkapkan, pergerakan pemerintah Indonesia saat ini tidak mengikuti peraturan mengenai kebijakan terhadap pelanggar HAM berat. Seharusnya pelanggar HAM berat dijatuhi hukuman berupa pidana penjara seumur hidup, bahkan hukuman mati. Pelaku penghilangan paksa harus diadili dan dihukum sesuai aturan yang berlaku. Namun, upaya yang saat ini dilakukan pemerintah hanya rekonsiliasi.

Menurut Patria, generasi muda perlu memahami dan memiliki kepedulian terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat. “Ketika kita berbicara tentang kemanusiaan, kita berbicara tentang diri kita sendiri. Bagaimana jika diri kita atau orang terdekat kita yang menjadi korban?” ucap Patria, Jum’at (7/2).

Dalam wawancara terpisah, Jessenia mengungkapkan, KontraS menyelenggarakan agenda diskusi publik yang kedua kalinya di UIN Jakarta, yang mana pada diskusi sebelumnya memperingati hari ulang tahun Munir dan hari HAM. Dengan memilih UIN Jakarta sebagai tempat acara, mereka berharap dapat menjalin kerja sama yang baik. Kerja sama tersebut diharapkan dapat menciptakan kesempatan untuk bertukar ilmu dan saling berbagi pendapat.

Reporter : IH, DRIM
Editor :  Shaumi Diah Chairani, Rizka Id’ha Nuraini

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Omon-Omon Wacana Green Campus Previous post Omon-Omon Wacana Green Campus
Tak Ada Realisasi, Hanya Membual Janji Next post Tak Ada Realisasi, Hanya Membual Janji