
Plagiarisme adalah suatu kegiatan yang menjiplak karya orang lain dan di klaim sebagai karyanya sendiri. Mengutip dari situs kumparan.com “Berdasarkan data yang dirilis oleh worldtop20.org pada tahun 2023, peringkat indonesia berada di urutan ke-67 dari total 209 diseluruh dunia”.
Salah satu tindak plagiarisme di perguruan tinggi yaitu, kasus Rektor UIN Walisongo Kota Semarang Imam Taufiq diduga menjiplak tesis dosen lain atas nama Muh Arif Royyan pada Oktober 2023. Terdapat puluhan kesamaan pada dua karya ilmiah tersebut. Kesamaan ditemukan di abstrak. Ada dua paragraf yang identik, hanya ada beberapa kata yang berbeda, tetapi maknanya sama.
Kasus Imam Taufiq selaku Rektor UIN Walisongo terkait plagiarisme tersebut dibantah oleh kuasa hukumnya, Muhtar Hadi Wibowo. Muhtar menyatakan bahwa kasus plagiarisme yang dilakukan kliennya masih bersifat dugaan dan tidak benar adanya.
Pada Jumat (3/1) Institut melakukan wawancara khusus dengan dosen syariah dan hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Andi Syafrani, selain seorang akademisi, Ia juga menjadi advokat Mahkamah Konstitusi (MK). Wawancara tersebut membahas mengenai plagiarisme di dunia pendidikan. Pada wawancara tersebut Andi Syafrani memaparkan bagaimana hukum indonesia melihat tindak plagiarisme di dunia pendidikan khususnya di perguruan tinggi.
Sejauh mana hukum yang ada bisa mencegah terulangnya plagiarisme kembali?
Secara hukum, belum ada undang-undang yang spesifik mengatur tindak plagiarisme. Undang-undang yang ada masih dalam lingkup hak atas kekayaan intelektual. Misalnya, dalam undang-undang hak cipta, yang benar mengatur namun tidak spesifik pada aturan plagiarisme. Peraturan tentang plagiarisme yang ada hanya diatur di tingkat kementerian yang berada di kementerian pendidikan tinggi.
Karena peraturan plagiarisme termasuk peraturan teknis dan sifatnya rendah di bawah undang-undang, maka aturan tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk memberikan sanksi lebih serius. Sebagai peraturan menteri, hal itu tidak bisa mengatur soal pidana dan sanksi yang sifatnya lebih tinggi, hanya administratif semata.
Bagaimana penegakan hukum terhadap plagiarisme dilakukan di tingkat universitas dan lembaga pendidikan lainnya?
Aturan kementerian pendidikan tinggi yang tergolong aturan teknis menjadi fundamental bagi perguruan tinggi dalam mengambil sikap terhadap pelaku tindak plagiarisme. Misalnya, pencopotan terhadap kepangkatan atau gelar jabatan yang didapatkan oleh seseorang karena ia mendapatkan gelar tersebut dengan melakukan plagiarisme.
Misalnya, seorang guru besar ternyata terbukti melakukan plagiarisme dalam proses untuk mendapatkan gelar guru besar tersebut. Ada tindakan plagiarisme, Maka, yang bisa dilakukan secara administratif hanyalah mencopot gelar atau jabatan yang diberikan kepada pelaku. Tetapi tidak sampai level memenjarakan atau memberikan tindak pidana, karena aturan dikeluarkan oleh kementerian pendidikan tinggi.
Bagaimana tanggung jawab dosen dalam mencegah dan menangani plagiarisme di dunia pendidikan?
Dalam rangka mencegah maraknya tingkat plagiarisme di perguruan tinggi, dosen biasanya memberi hukuman kepada mahasiswa yang tertangkap melakukan tindak plagiarisme. Pertama, dengan cara memberi ancaman tidak akan diberikan nilai. Kedua, mahasiswa akan diberi kesempatan terakhir dengan membuat tulisan terkait plagiarisme dan bahayanya bagi pendidikan tinggi.
Langkah ini diambil agar para mahasiswa yang melakukan tindak plagiarisme merasa jera akan perbuatan yang dilakukannya. Jika tidak ada tindak lanjut baik dari dosen maupun pihak kampus, fenomena ini kan terus berlanjut dan menjadi kebiasaan buruk yang menyebabkan turunya kinerja otak seseorang. Karena terlalu bergantung pada Kecerdasan Buatan (AI).
Apakah ada aturan atau pedoman hukum yang jelas mengenai standar-standar kepenulisan akademik yang dapat mencegah plagiarisme?
Setiap kampus memiliki pedoman akademik penulisan nya masing-masing, pemerintah pun memiliki standar penulisanya tersendiri, bahkan standar dalam penggunaan AI pun sudah dibuat oleh pemerintah, tetapi aturan-aturan yang sudah ada tersebut bersifat aturan etis yang berarti aturan berdasarkan yang disepakati oleh kita dalam lingkungan akademik dan bukan aturan perundang-undangan.
Walaupun seperti itu seharusnya aturan ini menjadi aturan yang mengikat kita karena, sesuatu yang kita sepakati itu menjadi undang-undang dan mengikat bagi orang yang bersepakat di dalamnya. Sebagai komunitas akademik kesepakatan kita dalam menggunakan etika untuk penulisan karya ilmiah harus dijunjung tinggi, jika lembaga akademiknya saja tidak menjunjung tinggi etika akademik, lalu kepada siapa kita berharap.
Etika Penulisan akademik seharusnya sudah diajarkan dari semester awal sebagai salah satu mata kuliah yang nantinya para mahasiswa memiliki pedoman dan mengetahui standar penulisan yang baik dan benar dengan minim dalam penggunaan AI.
Reporter : IH
Editor : Shaumi Diah Chairani