
UIN Jakarta gencar menjalankan program green campus guna meningkatkan reputasi sesuai standar UI GreenMetrics. Akan tetapi, program “hijau” itu menghasilkan ketimpangan sosial dan tidak menyelesaikan masalah lingkungan.
Dari Bojong Gede, Bogor, Tanti berangkat menuju Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Rumahnya yang berjarak sekitar 30 kilometer dari kampus ditempuh menggunakan sepeda motor. Sedari pukul 06.30 WIB, Tanti berangkat dengan motor Beat-nya demi mengejar kelas pagi yang dimulai pukul 08.00 WIB. Hal itu bermula dari aturan pemindahan lahan parkir ke Lapangan Triguna.
“Ngapain juga parkiran di situ. Kan ada lahan parkir juga di dalam kampus (Parkiran Perpustakaan). Di gedung aja sudah ribet, naik-naik ke atas, apalagi di Triguna, jauh dari fakultas,” keluh Tanti, Rabu (29/1).
Singkat cerita, Tanti tiba di parkiran Triguna pukul 07.50 WIB. Setiba di sana, petugas parkir meminta Tanti untuk memarkirkan motornya di pojok parkiran yang mengarah ke rumah warga. Melihat waktu sudah mendekati pukul 08.00 WIB, ia mengacuhkan arahan petugas dan memarkirkan motornya di dekat pintu masuk parkiran.
Selepas itu, Tanti bergegas menuju gerbang kampus—tempat Bis Listrik (Bilis) berhenti. Sialnya, ia tak pernah mendapatkan kesempatan menaiki Bilis. Tanti pun memilih berjalan kaki untuk mengejar waktu menuju kelas.
“Kadang saat sampai di sana, bisnya nggak ada, saat sudah jalan, bisnya baru datang dan sudah penuh,” ujarnya.
Tanti tiba di fakultasnya, Ushuluddin, sekitar pukul 08.00 WIB. Meski Tanti tiba tepat waktu, ia harus menunggu antrean lift yang padat. Kelasnya yang berada di lantai atas—lantai 5—memakan waktunya menuju kelas. Kemudian, Tanti mempercepat langkahnya menuju kelas. Sesampainya di kelas, Tanti tidak diabsen oleh dosennya.
Beberapa bulan terakhir, UIN Jakarta gencar melaksanakan program green campus. Green campus merupakan program untuk menciptakan kampus yang berwawasan lingkungan melalui integrasi ilmu pengetahuan lingkungan ke dalam kebijakan, manajemen, dan kegiatan tridarma perguruan tinggi. Berdasarkan data yang Institut temukan, pada Senin (21/10/24), Rektor UIN Jakarta, Asep Saepudin Jahar mengeluarkan sembilan kebijakan yang berkaitan dengan green campus.
Sembilan aturan tersebut terdiri dari Surat Keterangan (SK) Rektor Nomor 1415 Tahun 2024 tentang Kebijakan Kampus Hijau (Green Campus Policy) pada UIN Jakarta dan delapan Surat Edaran yang berisi penjabaran lebih rinci terkait implementasi green campus sesuai SK Rektor Nomor 1415. Sembilan surat itu ditetapkan untuk mewujudkan green campus sesuai indikator dari UI GreenMetrics.
Di poin pertama SK Rektor Nomor 1415 Tahun 2024, UIN Jakarta menjadikan skor dalam UI GreenMetrics sebagai tolok ukur dalam merumuskan kebijakan green campus. Hal itu juga dipertegas di poin ketujuh yang menyebutkan bahwasanya UIN Jakarta ingin meningkatkan reputasi kampus berdasarkan standar yang ditetapkan UI GreenMetrics.
Hal tersebut selaras dengan pendapat Asep bahwa green campus merupakan agenda untuk menjaga suasana lingkungan. Selain itu, green campus adalah wadah untuk menunjang reputasi UIN Jakarta melalui peringkat UI GreenMetrics. “Sehingga kita memang diakui atau punya reputasi, punya pengakuan dari dunia internasional bahwa kita sudah melakukan kategorisasi-kategorisasi untuk green,” ungkap Asep, Jumat (3/1).
Pada Desember 2024, UIN Jakarta melangsungkan beberapa kebijakan untuk menjalankan program tersebut. Sebagai upaya mewujudkan green campus, UIN Jakarta menerapkan kebijakan pengurangan kendaraan bermotor di lingkungan kampus. Selain itu, UIN Jakarta turut membeli tiga bis listrik dan satu unit motor listrik per fakultas.
Dalam liputan LPM Institut Implementasi Green Campus Tuai Reaksi Beragam, Ketua Tim Gugus Tugas Green Campus UIN Jakarta, Hendrawati menilai, penerapan kebijakan pengurangan kendaraan bermotor—sekarang berbentuk pemindahan lahan parkir—sempat tersendat karena bersinggungan dengan perusahaan swasta, seperti Green Parking. Tak hanya itu, Hendrawati memberikan keterangan, rencana penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil di kampus satu sudah berjalan tiga puluh persen.
Beberapa upaya yang dilakukan adalah penyediaan kendaraan—Bilis dan motor listrik—dan imbauan kepada mahasiswa baru melalui surat edaran dan sosialisasi. Namun, penggunaan motor listrik masih diperuntukan bagi tenaga administrasi untuk keperluan administrasi.
Direktur Sustainable Development Goals (SDGs) UIN Jakarta, Lily Surayya Eka mengungkapkan, upaya pengubahan pola transportasi di lingkungan kampus belum menghasilkan dampak yang signifikan. Menurutnya, tindakan tersebut belum mengurangi emisi karbon.
“Karena tindakannya itu (hanya) berupa kebijakan pengurangan kendaraan bermotor masuk ke dalam kampus,” tutur Lily, saat dihubungi lewat telepon Whatsapp, Rabu (6/10/24).
Pada 9 Desember 2024, UIN Jakarta mengalihkan lahan parkir dari dalam area kampus ke Lapangan Triguna. Kebijakan itu diberlakukan untuk mendorong program green campus. UIN Jakarta menyediakan tiga angkutan berbahan bakar listrik—Bilis—untuk mobilitas mahasiswa di kampus satu.
Bilis beroperasi dari jam 07.00–16.00 WIB. Angkutan yang bisa menampung sekitar 20 orang itu berjalan dari pintu masuk sampai pintu keluar. Akan tetapi, dua kebijakan tersebut menuai respons dari kalangan civitas academica.
Salah satunya dari Mahasiswa Prodi Matematika, Muhammad Abid Wijiyanto. Ia menyatakan, kebijakan tersebut tidak adil. Peralihan lahan parkir berlaku untuk semua pihak dalam surat edaran pertama. Namun pada edaran selanjutnya, tanggap Abid, dosen, tenaga kependidikan, kendaraan listrik, dan tamu mendapat pengecualian dari aturan tersebut.
“Menurut saya kurang adil saja, karena mahasiswa merasa terpojokkan dengan adanya pengecualian ini,” ucap Abid, Kamis (19/12/24).
Abid turut mengeluhkan terkait kebijakan jam operasional Bilis yang dimulai pada pukul 07.30 WIB. Waktu tersebut bertepatan dengan jam awal perkuliahan. Abid mengungkapkan, tiga Bilis itu tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa sehingga armadanya perlu ditambah.
“Kalau perlu di setiap fakultas diberikan satu atau dua Bilis, agar lebih adil. Karena saat sampai di fakultas saya, yaitu Fakultas Sains dan Teknologi (FST), Bilis itu sudah penuh biasanya,” ujarnya.
Melihat tindak tanduk green campus, Institut menemukan pola kapitalisasi melalui wacana green campus dalam Laporan Kinerja Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2023. Pada Bagian B terkait 7 program prioritas universitas, green campus menempati urutan kelima dalam program prioritas. Program itu bertuliskan Penguatan Sarana dan Prasarana Berbasis Green Campus.
Program itu memuat penambahan gedung fakultas, laboratorium, lahan parkir yang tertata, fasilitas olahraga dan lainnya. Hal tersebut berkelindan dengan program keempat terkait Penguatan Bisnis dan Income Universitas.
Program tersebut bertujuan untuk meraih pendapatan di luar sumbangan dana pendidikan dari peserta didik. UIN Jakarta mengambil langkah dengan memperkuat bisnis dan income melalui kerjasama sewa lahan/gedung UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sewa properti, usaha jasa, dan lainnya. Langkah itu diambil karena sebagian besar asetnya berlokasi di kawasan strategis dan berpotensi mendatangkan pihak ketiga untuk berbisnis.
Seiras dengan pandangan di atas, pada bagian Rencana Program 2024 tentang Peningkatan Inovasi dan Investasi Sumber Daya, UIN Jakarta berencana melakukan Kapitalisasi Aset dengan tujuan menciptakan dasar keuangan yang kuat untuk mendukung program kampus. Kapitalisasi tersebut mencakup evaluasi dan optimalisasi pemanfaatan seluruh aset universitas, termasuk properti, teknologi, dan kekayaan intelektual.
Melalui kapitalisasi aset tersebut, UIN Jakarta bergerak menuju Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH). Hal tersebut dijelaskan dalam aturan Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 26 Tahun 2015 Tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum, dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2020 tentang Perubahan Perguruan Tinggi Negeri menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2020 Pasal 2 Ayat 1 tentang persyaratan PTN menjadi PTN badan hukum, tepatnya pada huruf c, tertulis bahwa PTN harus memenuhi standar minimum kelayakan finansial. Kemudian, standar itu dijelaskan dalam Pasal 2 Ayat 4.
Narasi PTN BH digaungkan dalam beberapa pernyataan dari pihak kampus. Institut merekam beberapa pernyataan tersebut dari beberapa liputan terkait PTN BH. Dalam liputan lpminstitut.com: Upaya UIN Jakarta Kejar PTN BH, Ketua Pusat Pengembangan Bisnis (PBB) UIN Jakarta, Asep Syarifuddin Hidayat menyatakan, Aula Madya Lantai 1 dijadikan Kafe Aula Madya adalah usaha UIN Jakarta untuk menjadi PTN BH.
“Salah satu syarat menjadi PTN BH, yaitu mempunyai pendapatan selain Uang Kuliah Tunggal (UKT), salah satu caranya dengan membuat bisnis. Hal ini sesuai dengan kebijakan pimpinan,” jelasnya, Rabu (1/11/23).
Hal serupa turut disampaikan Kepala Sub Bagian Tata Usaha (Kasubbag TU) dan Rumah Tangga UIN Jakarta, Abdul Halim Mahmudi. Berdasarkan liputan lpminstitut.com: Pantang Menyerah Kejar PTN BH, Abdul menyampaikan, Kantin Aula Madya—sebelumnya Kafe Aula Madya—adalah bagian dari kebijakan UIN Jakarta untuk memenuhi syarat PTN BH.
“Aula Madya Lantai 1 ini ke depannya akan tetap dijadikan kantin, sebagai penunjang universitas,” jelasnya, Kamis (21/11/24).
Sebelumnya, tepatnya pada 31 Agustus 2023, Asep mengeluarkan SK Rektor 1398a tahun 2023 tentang Tarif Layanan Penunjang Akademik Badan Layanan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam lampiran 1 dari SK tersebut terdapat cakupan dan daftar harga dari segala jenis layanan yang ada di UIN Jakarta.
Aturan tersebut berimbas kepada beberapa kegiatan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Mengutip dari liputan lpminstitut.com: Ambisi Bisnis Cekik Kegiatan Mahasiswa, Pusat Pengembangan Bisnis (PBB) meminta KMF Kalacitra untuk membayar sewa tempat ketika menggelar stan foto studio wisuda di Aula Student Center (SC). Ketua PPB UIN Jakarta, meminta Kalacitra menyesuaikan pembayaran sesuai tarif yang telah ditetapkan.
Keua Umum KMF Kalacitra 2024, Naufal Dzaki M mengatakan, pembayaran sewa tersebut diterapkan karena program kerja (Proker) Kalacitra dinilai bersifat komersial. Pada wisuda ke-130–-132, lanjut Naufal, Kalacitra melakukan negosiasi harga bersama pihak PBB untuk menjalankan proker itu. Kalacitra mendapatkan harga sewa sekitar Rp2,5 juta—Rp5 juta per hari untuk penyelenggaraan stan.
“PPB minta untuk menyesuaikan dengan SK rektor yaitu Rp900 ribu per jam. Kami sangat keberatan karena penghasilan kami belum tentu menutup biaya sewa,” keluh Naufal (17/5/24).
Institut melakukan konfirmasi terkait temuan tersebut kepada Asep. Ia menyangkal bahwa program green campus bersangkut paut dengan kapitalisasi dan PTN BH. Ia mengungkapkan, persyaratan-persyaratan untuk menjadi PTN BH masih banyak yang harus dipenuhi. Terkait kapitalisasi, ungkap Asep, UIN Jakarta memproduktifkan aset-aset yang dipunyainya.
“Singkatnya, aset UIN yang ada supaya kita produktifkan dari rumah sakit, Syahida Inn, potensi-potensi usaha catering, bisnis, menyewakan barang-barang ataupun gedung-gedung yang memang bisa menghasilkan keuangan sebagai pendamping dari dana yang tidak semata-mata mengandalkan dari UKT. Walaupun kita menyebut bahwa UKT baru menopang 36% pendanaan UIN,” jelas Asep.
Menanggapi hal tersebut, Peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Gilang Mahadika memandang konsep hijau (green) sebagai ide yang kapitalistik dan elitis. Ia menjelaskan, orang yang mempunyai ide terkait ramah lingkungan dipandang mempunyai kelas yang lebih tinggi.
“Yang aku lihat justru orang-orang yang bisa mengakses apa yang dimaksud sebagai green, seperti bisa mengakses solar panel, hanya orang-orang yang mampu aja. Sementara, orang-orang yang di bawah mungkin masih saja bergantung pada batu bara,” ungkap Gilang, Minggu (19/1).
Mengenai green campus, lanjut Gilang, tidak menyelesaikan masalah mengenai ketimpangan sosial. Program itu justru mempertegas adanya ketimpangan sosial. Ia menambahkan, akses pendidikan yang semakin sulit, Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang naik, dan PTN BH mempertebal tembok ketimpangan itu.
Menurut Gilang, green campus merupakan satu cara untuk membangun citra. Hal tersebut dilaksanakan guna kampus terlihat lebih relevan. Di sisi lain, hal-hal yang lebih fundamental mengenai ketimpangan sosial, seperti akses pendidikan yang lebih baik, tidak diperhatikan oleh kampus.
“Membangun citra di sini itu hanya jadi satu strategi saja agar kampus dianggap punya kredibilitas gitu loh, kayak semacam penebusan dosa,” jelas Gilang
Gilang turut menyoroti hal terkecil dari penerapan green campus, yakni pengelolaan sampah. Ia menuturkan, kampus harus mampu mengelola sampah yang mereka produksi. Sebab, tanpa adanya pengelolaan sampah di dalam kampus, masalah terkait sampah tidak akan selesai dan hanya berpindah tempat.
Lebih lanjut, menurut Gilang, kebijakan green campus lebih terpusat pada penggunaan listrik. Kebijakan, seperti pengadaan sepeda listrik dan bus listrik, turut menyumbang kerusakan lingkungan. Bahan-bahan yang digunakan untuk membangun moda transportasi tersebut dihasilkan dari aktivitas pertambangan, seperti nikel.
“Untuk membangun kendaraan itu, semua dihasilkan dari pertambangan. Terus, apa yang dimaksud sebagai green kalau akhirnya, tujuan-tujuannya itu juga kotor dari awal,” kata Gilang.
Adapun kebijakan parkiran kendaraan di luar kampus, Gilang menilai itu sebagai kebijakan yang rasis lingkungan. Polusi yang ditimbulkan kendaraan bermotor hanya dipindahkan ke luar kampus. Jarak yang diciptakan dari aturan tersebut dapat menimbulkan iklim individualis di ruang-ruang kampus.
“Sementara yang bisa hidup dengan ramah lingkungan itu hanya kampus,” pungkasnya.
Artikel ini diproduksi dari hasil kerjasama dan fellowship Jurnalisme Data Deduktif.id Batch 1.
Reporter: Wan Muhammad Arraffi
Editor: Shaumi Diah Chairani