
Digitalisasi mendorong masyarakat untuk menggunakan media sosial untuk mengakses informasi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya jumlah pengguna media sosial di Indonesia. Melansir dari databoks, menurut laporan We Are Social, pada Januari 2025, ada sekitar 143 juta pengguna media sosial di Indonesia. Angka ini setara dengan 50,2% jumlah masyarakat Indonesia yang diperkirakan Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 284,4 juta jiwa pada 2025. Dari jumlah tersebut, terlihat bahwa banyaknya pengguna menjadikan media sosial sebagai sumber informasi favorit masyarakat Indonesia. Selaras pula dengan survei yang dilakukan oleh Jakpat, media sosial menjadi sumber informasi favorit masyarakat Indonesia dibanding situs web pada tahun 2024.
Sayangnya, arus informasi media sosial yang beragam dan masif memiliki dampak terhadap kesehatan mental penggunanya. Masyarakat yang terpapar konten-konten kesehatan mental melalui media sosial kerap menimbulkan fenomena self diagnose, di mana masyarakat mendiagnosis mandiri kondisi kesehatan mentalnya tanpa berkonsultasi dengan ahli.
Berdasarkan jurnal Perilaku dan Promosi Kesehatan dengan judul “Literasi Kesehatan Mental dan Perilaku Diagnosis Diri pada Mahasiswa” oleh Cindi Maelani Putri Maelani Putri, Dela Aristi, Raihana Nadra Alkaff, Uray Kania Desita dan Henny Meilani, masyarakat yang memiliki literasi kesehatan mental yang sedang dan tinggi cenderung melakukan diagnosa sendiri terhadap kondisi kesehatan mentalnya atau self diagnose. Penelitian tersebut juga menjelaskan media sosial berperan berperan sebagai sumber informasi yang paling sering digunakan oleh masyarakat untuk mendapatkan informasi mengenai kesehatan mental.
Pada Selasa (29/3), Institut melakukan wawancara secara khusus dengan Dosen Psikologi Pendidikan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Zulfa Indira Wahyuni. Wawancara tersebut membahas seputar pengaruh informasi kesehatan mental di media sosial terhadap fenomena self diagnose, serta dampaknya terhadap kesehatan mental seseorang.
Apa itu self diagnose?
Self diagnose merupakan fenomena ketika seseorang meyakini atau melabeli dirinya mempunyai penyakit tanpa berkonsultasi dengan ahli. Namun, self diagnose tidak meliputi pelabelan dari hasil diagnosa yang didapatkan melalui serangkaian tes screening kesehatan mental yang mudah ditemui di internet. Sebab, kondisi kesehatan mental disimpulkan melalui hasil tes, bukan pelabelan secara mandiri.
Bagaimana pengaruh informasi kesehatan mental yang beredar di media sosial terhadap fenomena self diagnose?
Tingginya literasi dan masifnya informasi terkait kesehatan mental di media sosial membuat seseorang lebih peduli dan terbuka dengan kondisi kesehatan mentalnya. Hal tersebut mendorong seseorang untuk mencari tahu lebih lanjut informasi mengenai kesehatan mental. Masifnya informasi mengenai kesehatan mental di media sosial yang mudah diakses secara instan membuat seseorang lebih memilih media sosial dibandingkan psikolog atau dokter yang membutuhkan serangkaian pendaftaran untuk berkonsultasi.
Akibat pemahaman yang kurang komprehensif terkait gejala-gejala penyakit mental, membuat seseorang dengan cepat mendiagnosis penyakit yang memiliki gejala hampir sama. Akhirnya, hal tersebut membuat seseorang melakukan self diagnose mengenai kondisi kesehatan mentalnya.
Bagaimana pengaruh self diagnose dengan kesehatan mental seseorang?
Self diagnose membuat seseorang melabeli dan meyakini dirinya mengalami penyakit mental yang belum tentu tepat secara medis. Pelabelan tersebut dapat menyebabkan stres dan kecemasan berlebih yang dapat mengganggu psikologis. Lebih lanjut, self diagnose dapat mengganggu aktivitas sosial, karena dengan pelabelan tersebut membuat seseorang meminta pemakluman atas perbuatannya dengan dalih penyakit mental. Selain itu, self diagnose juga dapat menyebabkan penggunaan obat-obat dan treatment yang tidak sesuai. Hal tersebut berbahaya bagi kondisi mental dan kesehatan seseorang.
Bagaimana cara mencegah self diagnose?
Cara mencegah self diagnose adalah dengan bijak menerima informasi mengenai kesehatan mental yang beredar. Informasi-informasi kesehatan mental di media sosial tidak dapat menjadi acuan untuk mendiagnosa kondisi kesehatan mental seseorang. Perlu tindak lanjut dari psikolog atau ahli untuk pemeriksaan secara menyeluruh dan komprehensif mengenai kondisi kesehatan mental seseorang.
Apa batasan tiap individu menganalisis gejala yang dialami dirinya untuk menghindari self diagnose?
Melalui wawancara terpisah, Senin (19/5), Zulfa menjelaskan seseorang yang menganalisis gejala yang dialami dirinya merupakan langkah yang bagus untuk menyadari bahwa dirinya mengalami masalah. Dengan catatan, ia cukup sampai di tahap penyadaran bahwa dirinya mengalami gejala dan segera berkonsultasi dengan ahli untuk mengatasi permasalahanya.
Bagaimana peran dokter atau psikolog dalam meningkatkan kesadaran tentang self diagnose akibat konten-konten kesehatan mental yang kian marak?
Zulfa menjelaskan peran dokter atau psikolog dalam mengedukasi kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran mengenai self diagnose di tengah maraknya konten kesehatan mental di media sosial. Konten-konten terkait gejala kesehatan mental harus diseimbangkan dengan arahan untuk berkonsultasi dengan ahli jika merasakan adanya gangguan mental. Selain itu, dokter atau psikolog dapat mengedukasi untuk tidak melakukan self diagnose saat membuat konten-konten kesehatan mental di media sosial.
Reporter: RK
Editor: Rizka Id’ha Nuraini
