
Urang Kanekes menjadi salah satu masyarakat adat yang bermukim di Serang, Banten. Menggunakan sumber daya yang ada untuk menghasilkan uang.
“Bade kamana, teh?”
Begitulah suara sopir angkutan umum di Terminal Rangkasbitung, Banten. Terik matahari menyengat tubuh begitu menjajaki kaki di stasiun tersebut. Hiruk pikuk penjual menawarkan dagangannya saling bersahutan memanggil calon pembeli. Perjalanan ini bertujuan untuk menyambangi Urang Kanekes atau erat disebut masyarakat Baduy.
Perjalanan dapat dimulai dengan menaiki mikrobus dari Terminal Rangkasbitung menuju Terminal Ciboleger selama satu jam tiga puluh menit. Selain mikrobus, terdapat pilihan lain dengan menggunakan angkot. Terminal Ciboleger menjadi pilihan yang tepat apabila ingin berkunjung ke Baduy Panamping atau terkenal dengan nama Baduy Luar. Baik memakai Ongkos minibus maupun angkot, terkena ongkos sebesar Rp40 ribu untuk sekali jalan. Saat sampai di Terminal Ciboleger, pengunjung harus melewati sedikit tanjakan sebelum mengisi buku tamu. Setiap pengunjung dikenakan uang sebesar Rp5 ribu untuk pemeliharaan desa.
Terminal Ciboleger bukan satu-satunya pilihan menuju Baduy. Apabila ingin mendatangi Baduy Tangtu atau umum dikenal Baduy Dalam, Terminal Cijahe merupakan pilihan yang tepat. Untuk menuju Terminal Cijahe, perjalanan menggunakan mikrobus akan memakan waktu selama dua jam dari Terminal Rangkasbitung. Ongkos yang dikeluarkan tidak jauh berbeda, sebesar Rp50 ribu untuk sekali jalan. Sama seperti jalur Ciboleger, pengunjung harus mengisi buku tamu terlebih dahulu sembari memberikan uang pemeliharaan desa dengan jumlah yang sama.
Baduy Dalam melingkupi tiga desa, yaitu Cikeusik, Cibeo, dan Cikatawarna. Menuju Desa Cikeusik, perlu menempuh jarak 1,8 kilometer dengan estimasi perjalanan selama 45 menit dari Terminal Cijahe. Rumah-rumah panggung yang terbuat dari anyaman bambu tersusun saling berhadapan di dalam desa tersebut.
Kain putih yang mengikat kepala, berdampingan dengan baju putih dan bawahan hitam selutut menjadi ciri khas laki-laki Baduy Dalam. Sedangkan perempuan, menggunakan baju putih polos dengan kain hitam yang lebih panjang sebagai bawahan. Lain halnya dengan masyarakat Baduy Luar. Perempuan Baduy Luar mengenakan bawahan batik berwarna biru hitam dengan atasan berwarna biru tua, sedangkan laki-laki memakai baju dan celana hitam dengan batik biru hitam sebagai ikat kepala.
Saat gelap malam menyelimuti rumah anyaman bambu di Desa Cikeusik, hanya secercah cahaya dari lentera tradisional yang menerangi seisi rumah. Di sana, tidak akan terlihat orang yang menata dagangan di beranda rumahnya seperti di Baduy Luar. Namun, proses jual beli tetap terjadi dengan penjaja dagangan yang selalu berkeliling desa.
Suasana Desa Cikeusik tidak jauh berbeda dengan desa-desa lain di Baduy Dalam, Desa Cibeo salah satunya. Hal itu dijelaskan oleh Karmain, salah seorang masyarakat Desa Cibeo. Ia mengatakan, masyarakat Baduy Dalam memang tidak diperbolehkan untuk menata dagangan di beranda rumahnya. “Memang berbeda dari kebiasaan masyarakat Baduy Luar yang dinilai lebih santai,” tutur Karmain di tengah gelapnya rumah, Jumat (30/5).
Karmain menambahkan, masyarakat Baduy Dalam lebih sering menghabiskan waktu di ladang ketimbang berjualan di rumah. “Biasanya hasil jualan kami gunakan untuk menambah kebutuhan sehari-sehari,” jelasnya.
Desa Cibeo merupakan penghubung antara Baduy Dalam dengan Baduy Luar. Bila dari sana ingin menuju Desa Gajeboh, Baduy Luar, waktu yang ditempuh kurang lebih empat jam setengah dengan medan yang menanjak dan menurun. Sedangkan untuk mencapai perbatasan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar, hanya membutuhkan waktu sekitar satu jam setengah. Di perbatasan tersebut, pengunjung sudah bisa mengambil foto dan video yang menjadi aktivitas larangan di Baduy Dalam.
Berbeda dengan Baduy Dalam, masyarakat yang menata dagangan di beranda rumahnya akan terlihat ketika menginjakan kaki di Baduy Luar. Beragam barang mereka perjualbelikan, mulai dari olahan mie instan, minuman penyegar, hingga cendera mata khas Baduy, seperti gelang, kain tenun, gula aren, dan madu. Apabila musim buah tiba, buah yang mereka panen akan turut menghiasi barang dagangan.
Berjualan dilakukan oleh banyak masyarakat Baduy Luar, seolah-olah sudah menjadi usaha yang menjanjikan. Namun asumsi itu tidak berlaku pada Jawi (23). Ia mengaku, penghasilan dari berjualan itu tidak selalu tetap. Bila dagangan terjual, ia gunakan untuk menambah kebutuhan keluarganya. “Buat apa aja kalau duit mah, bisa digunakan buat apa saja sekarang,” tegas Jawi saat didatangi oleh reporter Institut, Minggu (1/6).
Seperti masyarakat Baduy Luar yang lain, Jawi berjualan di beranda rumahnya. Namun, ia juga memiliki sebuah gubuk yang menjadi warung di seberang sungai Desa Gajeboh. Jawi menjual kain yang merupakan hasil tenunannya sendiri. “Biasanya, sebulan bisa dapat empat kain kecil,” tutur Jawi memandangi kain-kain yang bergantungan di warungnya .
Seperti halnya Jawi, Narpah (26), masyarakat Desa Marengo—salah satu desa di Baduy Luar—juga menjual hasil tenun yang ia buat sendiri. Selain di warung, Narpah menjual hasil tenunannya lewat pesanan yang telah ia terima. Narpah dapat menenun kain dengan ukuran kecil dalam waktu satu minggu. Sedangkan, kain besar dapat memakan waktu selama tiga minggu pengerjaan. Kata Narpah, perempuan Baduy harus bisa menenun kain
Selain menjual kain tenun, Narpah juga menjual minuman dingin menggunakan es batu yang ia ambil di Terminal Ciboleger. “Kalau hari biasa kami dapat Rp100 hingga Rp200 ribu, hari libur biasanya lebih banyak,” jelas Narpah sambil mengurus anaknya, Sabtu (31/5).
Penghasilan itu tak hanya berasal dari menjual hasil tenun ataupun minuman dingin, tetapi dari dari penjualan hasil kebun, seperti pisang, durian, dan rambutan. Bila hasil panen Narpah sedang banyak, ia akan menjualnya di Terminal Ciboleger. “Kalau durian panennya setiap satu tahun sekali,” tutup Narpah.
Terminal Ciboleger terletak cukup dekat dengan Desa Marengo. Untuk ke sana, membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit hingga satu jam tiga puluh menit,tergantung lamanya pengunjung beristirahat. Medan yang menanjak panjang namun diiringi dengan turunan akan kembali pengunjung lewati untuk sampai di Terminal Ciboleger.
Reporter: Hailen Ummul Choiriah
Editor: Rizka Id’ha Nuraini
