Magrib, Simbol Religius dan Sosiologis

Read Time:2 Minute, 34 Second

Sejumlah penonton tengah menyaksikan
    cuplikan film Jakarta Maghrib di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (28/6)

Allahu Akbar…Allahu  Akbar…

    Azan Magrib mulai dikumandangkan muazin. Ivan dengan terburu-buru merogoh kantong celananya, mengeluarkan lembaran uang. Menyerahkannya ke pemilik rental, dan ngibrit ke rumahnya.

    Sepanjang perjalanan, ia terus terbayang-bayang tentang makhluk gaib yang menurut mitos, suka muncul saat matahari terbenam, Magrib. Tiba-tiba ia terhenyak, melihat sesosok berbaju putih, berambut panjang tanpa kaki sedang bergelantungan di sebuah pohon. Ia berteriak dan lari secepat kilat. Padahal yang ia lihat hanya bendera partai yang dipasang di pohon.

    Secuplik adegan film Jakarta Maghrib yang diputar di Bentara Budaya Jakarta, Jakarta Barat, tersebut sontak membuat para penonton tertawa. Sang produser, Salman Arianto, sukses memvisualisasikan kehidupan masyarakat kota Jakarta menjelang Maghrib.

    Salman mengatakan, “Magrib bukan hanya simbol religius, Magrib milik semua orang. Magrib menjadi penanda yang sudah masuk ke ranah sosiologis, misalnya mitos yang beredar di masyarakat saat Magrib tiba,” ujar pria yang sukses menulis skenario dari beberapa film best seller Indonesia ini, Jumat (28/6).

    Ia ingin menunjukkan ada makna-makna lain seputar  Magrib. Magrib bukan hanya waktu salat bagi muslim. Magrib bukan hanya waktu matahari tenggelam. Lebih sekadar itu, di Indonesia, Jakarta khususnya, Magrib merupakan waktu yang memiliki banyak mitos. Mitos yang dipercayai masyarakat Jakarta secara turun temurun.

    Mitos-mitos itu dikemas apik oleh Salman dalam filmnya, Jakarta Magrib yang berdurasi 78 menit. Kisah si Ivan salah satunya. Ada empat kisah lain yang tak kalah seru, antara lain cerita yang berjudul Iman Cuma Ingin Nur. Kisah suami yang meminta istrinya untuk memenuhi kebutuhan seksualnya.

    Namun, karena anaknya rewel, istrinya tidak dapat menuruti permintaan suaminya. Istinya menemani anaknya, sampai tiba waktu magrib. Menurut mitos tidak boleh menidurkan anak di waktu Magrib. Akhirnya suami ituharus memendam keinginannya, karena istri menemani si bocah.

    Ada lagi cerita dengan judul Adzan. Cerita berdurasi enam menit ini  berkisah mengenai preman dan penjaga musala. Preman yang bernama Baung tersebut memiliki kehidupan yang sangat tidak teratur. Kemudian ia bertemu dengan Babe, penjaga musala yang hidupnya penuh dengan ketenangan.

    Baung banyak belajar dari Babe. Hingga pada akhirnya Babe meninggal dan Baung yang menggantikan tugas Babe, azan. Kumandang azan magribnya tak sefasih Babe. Warga  marah. Yang menggelitik dari kisah ini, warga yang marah adalah warga yang tak pernah salat jemaah di musala tempat Babe melantunkan panggilan salat tersebut.

    Itulah potret sosial masyarakat yang kaitannya dengan agama. Dimana, masjid adalah tempat yang sakral. Yang mengisi atau mengurus juga harus yang ‘benar’. Azan harus tartil. Padahal, masyarakat yang marah dan protes itu tidak salat.

    Cerita-cerita lainnya berjudul Menunggu si Aki, Jalan Pintas, dan Ba’da, Cerita yang terakhir tersebut, mempertemukan seluruh karakter dari kelima cerita secara tidak langsung dalam satu tempat, sehingga membuat film ini seakan bersinergi satu sama lain.
Lihat review-nya disini:

(Karlia Zainul)
            

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Perguruan Tinggi, Energi, dan Kemanusiaan
Next post Takdir