Read Time:2 Minute, 31 Second
Kuncoro berlutut disamping ibunya, Ibu Suji. Ia menanyakan bagaimana keadaannya, namun sang ibu tidak bergeming mendengar sapaan anaknya itu. Kuncoro kesal dan membentak-bentak ibunya. Kuncoro merasa tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri saat menghadapi ibunya yang selalu menangis melihat foto suaminya. Ia merasa tak pernah dipedulikan ibunya akhir-akhir ini.
Mendengar teriakan sang anak, Ibu Suji hanya bisa menangis. Ia semakin tidak kuat menahan tangisannya saat anak satu-satunya itu pergi meninggalkan ruang istirahatnya. Kesedihannya tumpah ruah. Tubuh keriputnya bergetar. Ibu Suji menutup mulutnya dengan tangan kirinya. Ia menangis tersedu-sedu ketika memandang foto dalam genggaman tangannya.
Dalam satu kesempatan, tiga orang mahasiswi berkunjung ke rumah Kuncoro untuk menemuinya. Mereka mendengar tangisan seorang wanita di ruang samping. Mereka bergegas menemuinya. Ia adalah Ibu Suji. Mereka bertiga mencoba menenangkannya.
Dengan suara keras Ibu Suji mulai menceritakan semua kejadian yang pernah ia alami dengan suaminya kepada ketiga mahasiswi tersebut. Kejadian dimana sang suami di dituduh bersalah dan dihakimi secara tidak manusiawi ditengah lautan demonstran oleh para petugas. Ibu Suji mengenang ketidakberdayannya melihat suaminya disiksa hidup-hidup.
Ibu Suji tak kalah menderita. Ia diperlakukan semena-mena. Ia ditarik dengan paksa hingga tak berdaya. Ia tak kuat menahan tarikan tangan-tangan kasar. Akhirnya ia pun pasrah pada nasib buruk yang menimpanya. Ibu Suji harus merelakan tubuhnya dinodai oleh orang-orang yang menyiksanya.
Sementara itu, diam-diam Kuncoro mendengarkan semua yang dikatakan ibunya. Ia merasa sangat bersalah karena selama ini sering memarahi ibunya. Perlahan pria yang berbaju coklat itu memasuki ruangan ibunya. Ia berjalan mendekati ibunya dan mencoba memegang tangannya untuk meminta maaf. Namun usahanya sia-sia, ia dihentikan oleh salah satu mahasiswi, Fijri, serta dipaksa keluar ruangan.
Di luar ruangan, Kuncoro dan Fijri bersitegang. Kuncoro semakin kesal saat dirinya dituduh sebagai anak yang tidak menyayangi ibunya. Ia menjelaskan, ia sangat memperhatikan kesehatan dan keadaan Ibu Suji setiap hari. Kemudian, Kuncoro memaksa masuk kedalam ruangan ibunya. Ia berlutut di depan ibunya dan meminta maaf karena telah bertindak kasar padanya.
Pada pertunjukan yang dipentaskan di Aula Student Center (SC) UIN Jakarta pada Sabtu (21/12) itu, sang sutradara Yunia Ria Rahayu menggunakan konsep drama musikal. Pementasan drama yang mengambil tema sejarah tersebut digelar untuk menyelesaikan tugas akhir mahasiswa Pendidikan Sastra dan Bahasa Indonesia (PBSI) UIN Jakarta.
Menurut Yuni, persiapan untuk pementasan yang berlangsung sekitar satu jam tersebut memakan waktu kurang lebih tiga bulan latihan. “Banyak sekali kendala yang saya temui di saat-saat latihan. Saya harus mengerucutkan banyak pemikirian menjadi satu pemahaman, sehingga tujuan bersama dapat dicapai dengan maksimal. Itu bukan hal yang mudah,” tukasnya saat ditemui di akhir pementasan, Sabtu (21/12).
Melalui pementasan tersebut, teater ini ingin menyampaikan kepada semua orang bahwa mereka tidak boleh melupakan sejarah begitu saja. Mahasiswi Jurusan PBSI ini menambahkan, bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah bangsanya.
Anwar Fauzi mengatakan, penampilan mereka sangat apik dan memuaskan. Ia menambahkan, “Seluruh pemain berhasil memerankan karakternya masing-masing dengan baik. Sehingga pesan yang ingin disampaikan melalui pementasan drama Deru! ini dapat tersalurkan kepada penonton secara sempurna,” imbuhnya, Sabtu (21/12). (Siti Mualiyah)
Average Rating