Rantai, Saksi Bisu Derita Orang Rante

Read Time:2 Minute, 30 Second


Kami bukan hantu, kami bukan roh, kami hanyalah air mata yang kering, kami hanyalah keringat yang menetes di semua rantai-rantai, dan kami adalah darah-darah yang berkumpul dan membentuk seperti apa yang kamu lihat. Rantai-rantai ini masih ada, dialah kawan kami yang paling setia. Dulu kami membencinya, namun semakin lama semakin bersahabat.

Sontak seluruh penonton tercengang menyaksikan puisi seorang perempuan berpakaian kumal dengan rantai mengikat kedua tangan dan kakinya dalam drama The Sound of Rante yang diiringi balutan musik Minang. Perempuan itu adalah satu dari delapan pemain yang berperan sebagai Orang Rante. Mereka disebut Orang Rante sebab saat bekerja tangan dan kaki mereka harus diikat dengan rantai. 
Drama The Sound of Rante dimulai ketika wisatawan dan jurnalis televisi tengah berkunjung ke Goa Mbah Suro. Yakni Goa bekas Pertambangan Batubara Ombillin, Sawahlunto milik pemerintah Kolonial Belanda yang sudah tidak beroperasi lagi. Adegan dilanjutkan dengan masuknya satu persatu dari mereka dengan penuh penasaran ke goa tersebut. 
Saat mereka memasuki goa, tiba-tiba seorang dari mereka berteriak histeris dan mulai kerasukan. Sebagian dari mereka pun segera menenangkan, namun akhirnya mereka semua menyusul kerasukan. Dalam kondisi kerasukan, kesebelas pemeran drama berusaha mengajak penonoton menyaksikan penderitaan Orang Rante saat menjadi budak Pertambangan Batubara Ombillin, Sawahlunto pada tahun 1892-1938. Sebelum menjadi budak, mereka bekerja sebagai petani dan peternak. 
Tapi, kehidupan mereka mulai berubah ketika salah seorang dari mereka membunuh pejabat Kolonial Belanda dan kepala desa yang dianggap tidak adil. Akhirnya Orang Rante pun harus menelan pil pahit dengan menjadi budak Kolonial Belanda.
Sepanjang drama, Orang Rante selalu dirundung pilu karena tidak dapat berbuat apa-apa melawan Kolonial Belanda. Mereka kerapkali diperlakukan layaknya binatang. Hal itu diperankan ketika Orang Rante keletihan saat bekerja, sontak ia langsung menjadi bulan-bulanan penjaga tambang dengan ditendang sembari dipaksa untuk terus bekerja. Kedelapan Orang Rante itu harus menerima perlakuan semena-mena dari kedua orang penjaga tambang.
Pertunjukan drama ini selesai ketika seluruh pemain terlepas dari kondisi kerasukan. Drama yang diperankan siswa-siswi SMK Pelopor Nasional yang berlangsung di Aula Student Center (SC) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta pada Sabtu, (22/2) berpesan agar masyarakat tahu akan sejarah. Tidak hanya itu, drama ini juga menyadarkan masyarakat jika kebesaran bangsa Indonesia tidak terlepas dari memori kelam masa lalu.
Anca Takdir selaku sutradara dalam drama ini mengatakan, ide cerita drama berawal dari musik garapan Taufik Adam yang juga menjadi pengisi musik dalam drama tersebut. Ternyata musik garapan Taufik bercerita tentang orang-orang rantai di Sawahlunto. Dari itu, ia membuat drama The Sound of Rante.
Saat melakukan latihan selama enam bulan, Anca mengaku jika melatih siswa SMK merupakan sebuah tantangan, hal itu dikarenakan ia harus melatih siswa yang sama sekali belum pernah bermain teater. Kendati demikian, setelah melihat hasil pertunjukan buah karyanya berhasil, ia berencana menyeriusi The Sound of Rante untuk pentas langsung di Sawahlunto, Sumatera Barat.
Selesainya pertunjukan teater itu membuat salah satu pemain The Sound of Rante, Debby Saputri mengucapkan syukur. “Alhamdulillah, pementasan hari ini berjalan lancar, nggak ada kendala sama sekali,” ucapnya senang, Sabtu (22/2).
Syah Rizal

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Pemkab Karawang Telantarkan Wisata Pantai Tanjung Baru
Next post Youth Power : Your Vote, Your Future