Read Time:4 Minute, 59 Second
“Tuli..tuli…tuli…apakah Anda tuli? Tuli…tuli…tuli…apakah Anda tuli?” seru gerombolan rakyat kepada pria berdasi yang berdiri di atas panggung.
“Maafkan saya. Saya tidak tuli. Saya hanya tulalit. Semoga Anda memaafkan saya,” jawab pria berjas hitam. Rakyat pun bersorak sembari teriak, “Hore…hore…hore… Kami memaafkan Anda, Hore…hore…hore!”
Dengan goresan pensil, Dodo Karundeng menciptakan cerita bergambar yang dilukis di atas selembar kertas yang terbingkai di salah satu sudut ruang Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki (TIM). Cerita bergambar itu menciptakan sebuah pesan, yakni dengan mudahnya rakyat memaafkan segala kesalahan sang pemimpin.
Karya Dodo Karundeng lain yang cukup banyak diperhatikan oleh pengunjung adalah kartun bertajuk ‘Politik Petualang’ yang dihasilkannya pada Juni 2013 lalu. Dalam kartun tersebut, tampak dua orang raksasa berjas hitam sedang menghamburkan uang kepada gerombolan orang yang berdiri di bawah raksasa tersebut. Mereka yang berdiri di bawah raksasa menadahkan tangan, siap menangkap uang yang dihamburkan. Di samping kepala raksasa, tertulis ‘Politik Petualang (Pesona Tebar Uang Langsung)’.
Bagi seniman yang lahir dan besar di Jakarta itu, kartun politik bisa menyimpan daya ingat yang besar bagi manusia pada peristiwa masa lalu. “Dunia kartun itu membaca sinyal kebudayaan yang muncul,” tutur Dodo sembari menunjuk salah satu karyanya yang berjudul ‘Gantung Anas’ di pameran kartun bertajuk “Tahu Politik” yang diselenggarakan pada 20 – 30 Mei.
Pada kartun ‘Gantung Anas’, terlukis pria bertelanjang dada yang mengikatkan tambang di kakinya. Pangkal tambang tersebut tersangkut di pucuk emas Monumen Nasional (Monas). Lukisan itu menggambarkan seorang pria yang terjun dari atas Monas sembari berteriak, “Gaaantung Anaaass!”, kartun yang dihasilkan pada 10 Maret 2012 itu menceritakan tentang kasus Anas Urbaningrum. Karikatur tersebut mengundang tawa para pengunjung karena teringat ucapan Anas, “Kalau saya korupsi, gantung saya di Monas!”
Sembari menunjukkan berbagai karyanya yang didominasi warna hitam putih, Dodo menuturkan, kartunis tak hanya bekerja sebagai tukang gambar, namun juga harus punya sikap dan ideologi. Menurut mantan wartawan ANTARA ini, kartunis adalah orang-orang yang bisa merenung karena tak hanya bermodal kertas, tinta, dan pensil. “Modal utama kami adalah tahu dan bisa berbicara hal-hal besar yang penuh kritik,” paparnya, Kamis (22/5).
Tak hanya karya berwarna hitam putih yang dipamerkan di TIM. Salah satu karya Dodo yang sedikit dibubuhi warna adalah kartun bergambar seorang politikus yang berdiri di atas awan sembari mengangkat tangannya dan berucap, “Wahai Tuhanku, aku bukan orang yang pantas masuk surga. Tapi aku tak kuat dengan api neraka.” Karya tersebut cukup menyindir sekaligus memberikan renungan untuk para petinggi di Indonesia.
“Kartun harus bisa menyihir, tapi tidak menipu,” ucap pria berkacamata itu. Kartun itu ngawur, lanjut Dodo, tapi bisa memberi ketakutan bagi orang-orang yang diserang. Menurutnya, kartun tidak melukis hal yang sadis, tapi merupakan pertarungan ideologi tentang kebenaran.
Dalam melukiskan ideologinya, Dodo tak perlu banyak bicara. Salah satu bentuk ideologinya adalah lukisan kartun yang dihasilkan pada akhir 2012. Kartun itu menggambarkan dua orang yang sedang berhadapan. Satu orang berhidung panjang layaknya Pinokio, sementara di hadapan si Pinokio, berdiri seorang lagi yang siap memakan hidungnya. “Ia siap memakan kebohongan yang dilontarkan oleh si Pinokio,” jelas alumnus Institut Kesenian Jakara (IKJ) ini.
Pameran kartun yang terpajang di galeri tersebut mengundang perhatian para pengunjung. Salah satunya adalah Sharon Kareena. “Karikatur tersebut menarik untuk diamati, dipelajari, dan diambil maknanya karena identik dengan 2014 yang dijuluki tahun politik,” papar mahasiswi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Poitik (IISIP) ini, Kamis (22/5).
(Gita Juniarti)
Average Rating