Read Time:2 Minute, 10 Second
Cublak-cublak suweng
Suwenge teng gelenter
Mambu ke tundung gudel
Pak Gempong lerak-lerek
Sopo ngguyu delek ake
Sir … sir … pong dele kopong
Kalimat itu tak henti-hentinya dinyanyikan lima belas orang anak ber-makeup tebal di atas panggung. Senyum lebar tergambar jelas di wajah lima belas anak bangsa itu. Sambil duduk bersimpuh, mereka begitu lihai memainkan tangannya; bertepuk tangan, tepuk bahu, tepuk lantai, sambil berusaha menyembunyikan bola tanpa menghentikan gerakannya.
Permainan terhenti ketika salah seorang di antara mereka membocorkan siapa si pemegang bola. Adu mulut hingga perkelahian pun tak terhindarkan. Namun, setelah dilerai suasana kembali seperti semula dan mereka pun kembali bermain. Kecurangan kembali berulang pada permainan-permainan lainnya seperti oray-orayan, dan jaleuleu.
Perselisihan yang semula dipicu oleh kecurangan kemudian berubah menjadi perkelahian. Mengenakan kostum layaknya aparat kemanan dan mahasiswa, lima belas orang anak yang berperan sebagai anak bangsa di adegan sebelumnya, kemudian saling bentrok bak tragedi reformasi 16 tahun silam. “Rakyat bersatu tak bisa dikalahkan,” teriak lantang si mahasiswa.
Huru-hara berakhir ketika terdengar salah seorang di antara mereka berkata, “Saya Presiden Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden Republik Indonesia.” Sontak, raut kegembiraan terpancar dari muka para mahasiswa itu.
Diceritakan, pasca peristiwa reformasi itu partai politik bermunculan. Rakyat akhirnya memperoleh hak pilih untuk menentukan pemimpinnnya. Meski begitu, perselisihan tetap tak terelakkan. Para simpatisan dari masing-masing parpol itu kembali berkelahi. Bahkan, beberapa di antara mereka hingga tak sadarkan diri.
Tak lama, seorang pemuka agama datang dan membangunkan mereka yang tak sadarkan diri. Ia meminta agar mereka semua bertobat dan memohon ampun pada Tuhan. Namun sayang, mereka bingung karena nama Tuhan mereka berbeda. Bentrokan antar agama pun pecah. Bukan lagi sebatas perkelahian tetapi berujung pada pemerkosaan. Situasi ini terus berlangsung hingga mereka semua kembali tak sadarkan diri lantaran kehabisan tenaga.
Pertunjukan drama ini usai tatkala Ibu Pertiwi, seorang perempuan yang diperkosa melahirkan seorang bayi. Suara tangis sang bayi membangunkan orang-orang yang pingsan karena telah lelah jiwa raganya. Mereka berkumpul, menimang-nimang sang bayi. Ibu Pertiwi pun mengumumkan nama anaknya, dengan nama pancasila.
Demikian lakon bertajuk ‘Reformasi’ karya Gusjur Mahesa yang diperankan Teater Tarian Mahasiswa (TTM) di Sanggar Baru, Taman Ismail Marzuki (TIM), Sabtu (16/8). Terinspirasi dari puisi bertajuk ‘R eformasi (d/h Merdeka) Atawa Boleh Apa Saja’ karya Mustofa Bisri (Gus Mus), Gusjur menyuguhkan teater beraliran realisme sosialis semiotik, di mana penonton menikmati lakon hanya dari gerak tubuh serta mimik para aktornya saja.
Bertepatan dengan hari lahir TTM yang ke-13, pementasan ini sekaligus memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-69. “Saya berharap, teater yang menyajikan kelahiran pancasila ini dapat menjadi makna baru serta harapan baru bagi bangsa Indonesia,” kata Gusjur, Sabtu (16/8).
NR
Average Rating