Jeritan Manusia dalam Keterhimpitan Waktu

Read Time:2 Minute, 9 Second
Sembari duduk di atas bakul, seorang wanita berambut cepolmeneteskan air mata. Tatapannya kosong, ia tak menggubris keberadaan tiga gadis bernama Kalausang, Kalapra dan Kalakini yang mondar-mandir mengangkat kurungan bambu setinggi tiga meter. Dengan keringat di sekujur tubuh, ketiga gadis itu berteriak dan bersahutan sebelum akhirnya jatuh tersangkut di ruas kurungan bambu.

Tak lama setelah terjatuh, tiga gadis itu langsung bangkit memasuki kurungan bambu. Mereka menyeret satu per satu sebelas kurungan bambu dan berebut untuk menyusunnya. Setelah tersusun, mereka menaiki susunan bambu dan berdiri di atasnya.

Melihat kelakuan tiga pemuda yang berdiri tegak di atas bambu, wanita itu berteriak seolah menyindir ketiga pemuda. “Kehidupan ini menempel pada diriku seperti penyakit tumor. Membengkak, semakin lama semakin bergeser dan menutupi penglihatanku. Aku telah kehilangan hampir seluruh yang aku punya, hampir tak ada di tubuhku, aku sudah betul-betul kehilangan,” katanya.

Mendengar perkataan wanita itu, mereka perlahan turun dan menjatuhkan satu persatu jejeran bambu yang telah mereka susun. Mereka kembali menyeret sebelas kurungan bambu tersebut ke kedua sisi sudut panggung.

Di akhir pementasan, ketiga gadis cantik itu menaruh kurungan bambu berukuran kecil di atas kepala mereka. Dengan pakaian yang kotor dan berkeringat, mereka menyender di kurungan bambu.

Dalam pementasan teater Relief Tanpa Dinding, kurungan bambu menggambarkan waktu yang memperbudak manusia layaknya sebuah mesin. Waktu yang selalu memposisikan orang-orang dalam ketakutan disertai tangisan dan jeritan. Hal tersebut yang menunjukan upaya untuk menyadarkan tentang tujuan hidup manusia.

Dadang Badoet selaku sutradara menjelaskan, alasan penggunaan elemen bambu  yang dijadikan sebagai waktu. Bambu itu lembut, lanjut Dadang, bambu bisa menjadi penjara, bisa menjadi pelindung dan di sisi lain dia tak bisa menjadi apa-apa yang sama halnya dengan waktu.

Dadang menambahkan, sebagai masyarakat urban, manusia seharusnya lebih menjaga kondisi agar tidak kehilangan kontrol dalam keterhimpitan waktu. “Sesungguhnya, manusia ingin menguasai waktu tetapi tetap waktu lebih kuat dari manusia dan menjadikan manusia sebagai mesin,” ujarnya, Rabu (10/9).

Dalam persiapan pementasan teater Relief Tanpa Dinding membutuhkan waktu yang cukup lama. Salah satu pemain, Yohana Gabe menuturkan, teater tersebut memerlukan waktu tujuh bulan untuk latihan dengan kedisiplinan yang ketat. Tetapi, kata perempuan yang sering disapa Jo, selama menjalani latihan dengan santai akan terasa menyenangkan.

Jo mengatakan, pementasan tersebut memberi pesan berharga untuk penontonnya “Waktu bisa menelan siapa saja, kapan saja dan di mana saja, untuk itu kita harus bisa untuk mengatur waktu,” kata Jo ketika ditemui di Galeri Nasional Kamis (10/09).

Pertunjukan teater yang diadakan di Galeri Nasional Indonesia mendapatkan tanggapan positif dari penontonnya, salah satunya Izhati Qoirina. “Pementasan tersebut sangat menarik dan mengesankan karena memberikan pesan kepada kita untuk lebih menghargai waktu,” ujar Qoirina, Kamis (10/9).

IP

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post A Jazz Life, Musik Jazz di Tangan Big Band
Next post ‘Jilboobs’ Melanggar Kode Etik Mahasiswa