Read Time:4 Minute, 32 Second
“Kriiiing…Kriiiing…,” terdengar suara stik yang bergetar di dalam badan cangkir sehingga menimbulkan bunyi nyaring. Gelombang bunyi tersebut amat memekakkan telinga para pengunjung di dalam ruang pameran Galeri Nasional.
“Wah, belnya bunyi,” ucap pria berkemeja biru sambil menekan kembali tombol-tombol kuning yang terhubung dengan seutas kabel listrik yang bermuara ke kotak sebesar koper-koper kecil. Lima tombol kuning itu membunyikan stik plastik yang memukul badan cangkir warna-warni. Pria muda itu tampak sibuk dengan alat yang baru ditemukannya.
Siapa sangka, cangkir kecil warna-warni itu merupakan salah satu seni kriya kontemporer yang bertajuk Propitious 13. Buah karya seniman muda Indonesia, Bagus Pandega itu mampu mengintegrasikan fungsi suara dan getar stik dalam berbagai komponen elektronik. Seni keramik itu mengaplikasikan sisi modern dari sejumlah seni dengan genre keramik di Indonesia.
Selain seni cangkir warna-warni, masih ada seni kriya berbau tradi-sional yang menarik untuk diamati. Salah satunya keramik berbentuk wajah-wajah manusia berpahatkan tanah liat yang ditumpuk menyerupai gunung di dekat pintu masuk galeri. Tampak wajah yang memamerkan senyum bahagia, gurat sedih, hingga tersirat ekspresi ketakutan. Karya kriya milik Dadang Christanto bertajuk Java ini bersifat subjektif. Ia mengguratkan ekspresi suka dan dukanya di tanah Jawa yang menjadi tempatnya meraih eksistensinya di atas keramik-keramik tersebut.
Dua dari karya yang dibahas di atas hanyalah sekelumit dari puluhan karya seniman Indonesia yang dipamerkan di Galeri Nasional. Pada pameran bertajuk Jakarta Contemporary Ceramics Biennale 3 (JCCB#3), pengunjung dapat melihat geliat seniman muda Indonesia dan seniman kancah internasional yang menghasilkan karya kriya kontemporer.
Salah satu penggagas pameran JCCB#3, Asmudjo Jono Iriyanto, menyatakan, ide dari JCCB#3 adalah memberikan ruang baru bagi seniman keramik sebagai medium utama maupun medium pilihan dalam berkarya. “JCCB#3 juga sebagai bagian dari langkah besar untuk menjaga kekayaan tradisi keramik dan gerabah di Indonesia,” ucap pria yang akrab disapa Kang Mudjo ini, Kamis (25/9).
Salah satu kriya yang menarik perhatian para pengunjung adalah Untitled karya seniman dari Thailand, Wasinburee Supranichvoraparach. Kriya berupa durian emas yang terbelah itu berdiri dengan anggun di tengah ruang pameran. Kriya tersebut bermakna durian emas yang berarti menjadi awal kebahagiaan manusia, namun akan berakhir menjadi bencana akibat keserakahan manusia.
Selain Thailand, sebanyak 35 seniman dari berbagai belahan dunia juga berlomba memamerkan seni kriya mereka di Galeri Nasional. Salah satunya, seniman dari Cina, Wan Li Ya, menggagas karyanya berupa deretan keramik berwarna putih yang dibentuk sangat apik menyerupai guci kecil. Berbeda dengan seniman dari Malaysia, Shamsu Mad yang membangun genre horor untuk tembikarnya yang berbalut rantai dan cat merah kecoklatan menyerupai darah.
Salah satu kurator JCCB#3, Rifky Effendy mengatakan, tampak perbedaan karya kriya Indonesia dengan negara-negara Asia Timur, seperti Jepang, Korea, dan Hong Kong. Indonesia jarang menerapkan tradisi keramik canggih, seperti memamerkan keramik yang didampingi dengan berbagai efek dari komputer sehingga tampak seperti keramik empat dimensi. Penyebabnya dimulai dari modal kultural, teknologi, dan apresiasi masyarakat di Indonesia terhadap seni keramik masih rendah.
Namun, bagi kurator kelas internasional, tanpa sentuhan efek teknologi juga menjadi berkah bagi kesenian di Indonesia. “Keasrian keramik Indonesia masih terjaga sehingga menimbulkan ciri khas tersendiri. Bangga rasanya tiap pengunjung yang datang berkata ‘ini pasti keramik karya orang Indonesia’,” tuturnya, Kamis (25/9).
Gita Junarti
Average Rating