|
Sumber: Internet
|
- Judul : Jendral Soedirman
- Genre : Drama, Perang
- Tanggal Rilis Perdana : 27 Agustus
- Tahun : 2015
- Durasi : 90 Menit
- Studio : Padma Pictures
- Sutradara : Viva Westi
- Produser : Handi Ilfat, Sekar Ayu Asmara
- Penulis Naskah : Tubagus Deddy
“Saya tentara, saya membela pemerintah untuk merdeka 100%. Jika tuan Malaka punya cara lain. Silahkan.”
Di saat bersamaan, Pemerintah Belanda secara sepihak memutuskan keluar dari perjanjian Renville. Secara otomatis, Belanda pun menghentikan gencatan senjata terhadap Pemerintah Indonesia. Pada 19 Desember 1948, Panglima Tentara Belanda, Jenderal Simons Spoor memimpin agresi militer kedua menyerang Yogyakarta yang kala itu menjadi Ibu Kota Indonesia.
Untuk mengamankan Indonesia dari agresi Belanda, Soedirman mengadakan pertemuan bersama Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Dari pertemuan tersebut menghasilkan keputusan berbeda. Berdasarkan hasil sidang kabinet, Soekarno dan Hatta menginginkan Soedirman untuk tetap berada di Yogyakarta. Sementara Soedirman mendesak Indonesia agar melawan agresi Belanda dengan perang gerilya. “Dan saya mohon dengan sangat, ikutlah bergerilya bersama kami. ” ujar Soedirman.
“Kau seorang prajurit, tempat mu di medan pertempuran bersama dengan anak buah mu. Tapi tempat mu tak bisa menjadi tempat pelarian saya. Saya harus tetap di sini,” jawab Soekarno sesaat setelah ia keluar dari sidang kabinet. Siapa sangka, meski mendapat penolakan dari presiden, Soedirman tetap pada keputusan awalnya, yakni menghadapi agresi Belanda dengan perang gerilya.
Selama tujuh bulan, Soedirman bergerilya di tanah Jawa. Hutan, gua, dan pemukiman warga kerap menjadi tempat singgahnya. Usahanya tidak sia-sia, berkat strategi perang gerilya Soedirman, Belanda pun harus memupus keinginannya untuk kembali menguasai Indonesia. Sebab, di saat bersamaan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) juga telah mengetahui pengkhianatan Belanda terhadap perjanjian Renville.
Saat-saat yang dinanti pun tiba, pada 24 Januari 1949 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi agar Indonesia dan Belanda segera menghentikan peperangan. Kegagalan Belanda di medan pertempuran, serta tekanan dari dunia Internasional terutama Amerika Serikat yang mengancam akan memutuskan bantuan ekonomi, memaksa Belanda untuk mundur dan kembali ke meja perundingan.
Setelah dua film sebelumnya (Soekarno dan H.O.S Tjokroaminoto), hadirnya film Jendral Soedirman menjadi film ketiga, yang bercerita tentang tokoh pergerakan nasional di dunia perfilman Indonesia. Film yang diproduseri Handi Ilfat dan Sekar Ayu Asmara ini menghabiskan biaya berkisar Rp 10-15 miliar. Mengambil adegan di empat kota: Bandung, Magelang, Yogyakarta, dan Wonosari. Dengan diperankan beberapa aktor ternama, seperti Adipati Dolken (Jendral Soedirman), Mathias Muchus (Tan Malaka), Baim Wong (Soekarno), dan Nugie (Muhammad Hatta).
Film ini didasarkan pada kisah Jendral Soedirman yang bergerilya selama tujuh bulan saat agresi kedua militer Belanda ke Yogyakarta di akhir 1948. Selama tujuh bulan masa gerilyanya, Soedirman hidup dalam keterbatasan kondisi fisik dan materil. Sebelum keberangkatannya, ia dibekali sang istri seperangkat perhiasan untuk memenuhi kebutuhan hidup selama bergerilya. Meski akhirnya Soedirman pun harus bertahan hidup dari derma masyarakat.
Dalam keterbatasan kondisi fisik, Soedirman juga harus berjuang melawan penyakit tuberculosis (TBC) yang dideritanya. Karena penyakitanya itu, mantan guru Sekolah Muhammadiyah dengan pengalaman militer Pembela Tanah Air (PETA) ini meninggal dalam usia cukup muda, 36 tahun.
Tidak berbeda dengan dua film pendahulunya, film Soedirman juga memicu beberapa kontroversi. Dilansir dari Tempo.co, dalam artikel berjudul “Kontroversi Film Jendral Sudirman,” sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam mengkritik beberapa adegan dalam film tersebut.
Asvi misalnya, mempertanyakan adegan ketika Soekarno tidak menepati janji dalam pidatonya untuk bergerilya bersama Soedirman. Menurut Asvi, tidak ada yang salah terkait itu. Karena keputusan yang diambil Soekarno berdasarkan hasil kesepakatan sidang kabinet. Diperkuat lagi dengan pendapat Jendral T. B Simatupang yang mengatakan, kala itu jumlah pasukan tentara Indonesia tidak mencukupi untuk mengawal presiden dan wakil presiden jika bergerilya dalam hutan.
Bahkan menurut Asvi, dalam film Soedirman, Tan Malaka digambarkan sebagai sosok antagonis dan haus kekuasaan. Asvi mempertanyakan latar belakang spanduk berlambang palu arit saat Tan Malaka berpidato di hadapan tentara komunis. Padahal, palu arti, bukanlah lambang dari Partai Murba yang dibentuk Tan Malaka.
Asvi juga mengkritik, adegan ketika Tan Malaka berpidato di hadapan anggota Partai Komunis dengan menjadikan testamen dari Sukarno dan Hatta sebagai legitimasi bagi Tan untuk menjadi presiden. “Apabila kabinet Sjahrir tidak sependapat dengan kita. Maka orang-orang yang tepat harus segera menggantinya.” Setelah itu kamera menyoroti pula buklet yang bertulisan “Tan Malaka Presiden Kita”.
Adegan selanjutnya ketika Tan Malaka bersama beberapa orang lainnya, dibawa ke dalam hutan dengan tangan terikat laiknya tahanan perang. Kemudian terdengar suara tembakan. Dalam film tersebut, penembakan terhadap Tan Malaka atas dasar surat perintah dari Kolonel Soengkono. Padahal menurut Asvi, tak pernah ada perintah penangkapan Tan Malaka saat bergerilya di Jawa Timur.
Lihat review-nya disini:
Yasir Arafat
Average Rating