Read Time:7 Minute, 58 Second
Oleh: Imam Budiman*
Aku terlahir dari sekumpulan abjad yang sebelumnya tiada berbilang. A-Z. Jika ada huruf baru yang diciptakan oleh pakar bahasa sesudahnya, maka barangkali, di situlah aku berasal. Tapi sayang, huruf itu tak pernah sekalipun ditemui oleh para jelata,sejak masa di mana sulur-sulur Kariwaya mulai menjuntai ke tanah di halaman milik Kerajaan Pasak Palinggam, hingga zaman di mana uang sogokan berganti sebutan menjadiGratifikasi, dan para pelacur-pelacur disebut dengan bahasa lebih halus:tunasusila. Aku diperkenalkan kedua istilah terakhir itu dari seorang mahasiswa yang merasa dirinya paling “nabi” di antara rekan-rekan diskusinya.
Aku seseorang –bukan lelaki atau perempuan, yang tersesat di tengah kepungan badik-badik waktu. Aku yang lahir tak berkelamin. Melompat dengan cerdik antar detik ke detik penuh rimba dan sunyi. Sendiri. Seorang diri.
Dulu, sewaktu umurku baru berusia tiga musim paceklik,taman bermainku hanya sepetak kecil antara jarum panjang penghantar menit dan jarum penghantar jam yang berukuran lebih pendek. Memainkan beragam permainan yang umumnya tak lazim: menerbangkan lelayang batu, membentur gundu bintang, atau bertanding lego api. Tanpa berkawan dengan siapapun.
Namun dewasa kini, sepetak kecil taman bermain itu telah berubah; tergerus oleh traktor-traktor pengeruk kaum serakah. Menjadikan lubang-lubang besar yang ditelantarkan, menimbun berkubik-kubik air. Mereka berdalih, kelakitu akan menjadi destinasi tempat wisata baru bagi warga sekitar maupun luar daerah untuk dapat dikunjungi. Entah untuk sekadar selfie-selfie atau menghabiskan waktu libur bersama. Dalih busuk berkemas rasa peduli yang terkesan artifisial untuk melanjutkan proyek-proyek besar mereka.
Dan kita tidak bodoh, Saudara. Kita dilahirkan sebagai hamba-hamba yang diberi kemampuan berpikir dan mencari cara untuk menentang kesewenangan.
Baik. Sebelum kau lebih jauh diajak berbasa-basi oleh si pengarang cerita ke dalam kerangka karangannya. Di paragraf ini, ada baiknya kau mengenali lebih detail tentang sosokku:
Begini,kau dapat membayangkan dengan mudah gambaransederhana diriku. Sekarang, coba kau lihat tiga lipatan sendi di jari telunjukmu. Jika jarimu sempurna dan umumnya seperti milik kebanyakan manusia, pastilah ia terdiri dari tiga sendi, maka sebatas itulah tinggi tubuhku. Aku makhluk kerdil yang terbit dari gemeretak suara antar abjad, kerap menimbulkan suara gemerisik di loteng rumahmu, bersama cericit suara tikus yang saling kejar sewaktu dinihari.
***
Di suatu hari yang agak mendung, di tengah pengembaraanku terhadap ruas-ruas waktu yang tak mengenal detak jantung, aku bertemu seorang teman baru, ia memperkenalkan dirinya: Barito.
Ia lelaki tua berperawakan besar, dari tepi ke tepi, tak cukup para bajing sekali meludah. Mahaluas lidah, dada, dan bentang selangkanganntya yang bercabang-cabang. Di telapak dadanya yang bidang, tumbuh pulau-pulau tak bernama. Pulau yang dihidupi kera-kera berhidung besar. Mereka menyebutnya: Bekantan.
Meski bagiku ia tak ubahnya seorang raksasa yang berubun pada laut lepas, namun tubuhnya begitu ringkih diterkam hantaman tembikar di dasar lambungnya. Konon, sudah banyak lubang yang terdapat di dalamnya. Kuterka pula, usianya kini telah mencapai jumlah kalimat-kalimat yang disebutkan kakek Adam manakala diperintah Tuhan untuk mengajarinya kepada para Malaikat dulu di Surga. Aku yang hadir di antara mereka, lupa, berapa tepatnya.
Berkali-kali senja menjenguknya dengan membawakan warna terbaik yang dimilikinya, senja Mayang, orang-orang kerap menyebutnya. Sudah tak terhitung berapa kali ia berkunjung. Sebab beberapa bulan terakhir ini, Barito tengah terserang demam tinggi. Beruntung, naluri keibuan seorang senja tidak pernah melihat latar belakang. Tak jua pernah padam. Ia tahu, sebagai janda yang telah lama ditinggal mati oleh gerhana Kadap, merawat orang-orang terdekatnya sudah merupakan bagian kecil dari tugas.
Semua mafhum, Barito dan Senja bukan satu keturunan. Mereka dipertemukan pada momen-momen romantik yang berlangsung terus-menerus setiap hari. Mereka pun tak pernah terikat sebuah jalinan khusus. Barito tak pernah beristri, ia sungai yang betah menjadi bujang lapuk seumur hidup. Dan senja Mayang tak ingin menikah lagi, ia trauma dengan sosok gerhana Kadap yang pernah dicintainya dulu ketika masih menjadi pecahan-pecahan semburat jingga.
***
Malam berlabuh sepanjang lanting. Kunyalakan unggun api yang sesekali dicumbu angin utara. Aku mencintai kota ini. Kota yang sejak lama ditinggali oleh Barito, sedari rahim nenek moyang sungai dituai ruh oleh para Dewata. Bayi kecil yang lahir dengan jari jemari yang bercabang hingga ke kampung-kampung kecil. Perlintasan jukung-jukung dari berbagai jenis. Mengairi sawah-ladang para petani di lereng Meratus. Kota dimana semua anak-anak sungai berpulang, saling cengkrama. Tidak ada alasan untuk meninggalkan kota ini. Dan mungkin aku akan bermukim di sini hingga ratusan tahun kemudian.
Akan tetapi, di balik itu semua, aku teringat kembali kejadian siang tadi –boleh jadi ini alasanku untuk meninggalkan kota ini:
Di tubuh Barito yang kian rapuh, berlalu lalang gundukan hitam serupa bukit. Ia ditarik hampir beriringan dari jarak ratusan kilo meter. Aku memerhatikannya dari lanting-lanting tempat di mana bocah-bocah SD mandi bertelanjangan. Aku tak tahu itu apa. “Emas-emas legam,”ucapku pelan. Benda-benda yang baru kali pertama kulihat, diantar oleh kapal-kapal seukuran rumah bangsal dari hulu ke hilir.
“Itu bukan emas, itu namanya Batubara,” sergah Barito dengan suara serak, aku tahu ia sedang berusaha membenarkan, tapi aku enggan memusingkan soal penamaan yang diseteruinya. Aku mengiya-kan saja.
“Kota tempat kau dibesarkan ini, Barito, pastilah kaya sekali.” Aku mencoba membuka percakapan.
“Ah tidak, hanya omong kosong.” Seekor ikan muncul ke permukaan, menikam punggung lalat yang nyaris mati lemas.
“Maksudmu?” tanyaku spontan.
“Coba kau lihat anak kecil itu di sebelah sana,” Barito menunjuk dengan sedikit riaknya ke salah satu lanting. Aku memicingkan mata.Kulihat, ada seorang anak kecil sedang buang air besar di jamban tepian sungai. Keherananku bertambah.
“Kau tahu, sudah tiga hari ini ia tidak makan berlauk yang layak. Hanya nasi bercampur garam sebagai pengganjal perut. Dan itu, bagi sebagian mereka, menjadi hal yang lumrah di tengah masa-masa sulit mencari pekerjaan seperti sekarang. Apa kota ini bisa dibilang kaya?” Matanya tajam menusuk wajahku.
“Benar, kaya seperti yang kau katakan, tapi orang-orang parlente yang tengah ongkang-ongkang dengan style norak di kantor besar sana,belum betul-betul berniat untuk memakmurkan orang-orang kecil. Mereka lebih memilih membuncitkan perut sendiri,”tambahnya lagi.
Aku hening. Terhenyak. Banyak hal yang ingin kuutarakan, seperti halnya watakku yang pada dasarnya keras kepala, dan tak mudah menerimasetiap pembicaraan. Aku ingin membantah, namunurung.
“Benar, bila kota ini hasil alamnya berlimpah. Kaya. Kaya yang hanya dapat dimaknai dengan satu tafsiran. Kaya yang berbentuk lobi antara anjing-anjing berkulit putih dan para makar. Di kota ini, penduduk aslinya hanya menjadi budak dengan upah sedikit, yang bagi mereka, asal cukup untuk menambah tabungan naik haji.”
Aku kehilangan kata. Entah apakah harus kembali mengiyakan “ceramah” nya atau tidak. Aku mengangguk, berpura-pura iba. Kini, yang jelas, aku ingin pulang menuju rimba-rimba sunyi yang berteluk pada waktu. Tanpa harus membuatku lebih koyak melihat hal lain yang jauh lebih miris di kota ini.
Aku ingin melanjutkan perjalanan. Entah.
***
Seribu tiga ratus lima puluh tujuh abad kemudian…
Aku sudah mati, sejak dua ratus tiga puluh tiga tahun yang lalu. Tidak ada yang menguburku. Sebab, kematianku dalam sebuah toples tape yang kelupaan diberi ragi, tak terendus oleh siapa pun. Aku ingin hidup lebih lama, barang dua-tiga musim rambutan berbuah lagi.
Kabar kematian mengenaskan Barito yang dibawa oleh cucu Bul-bul peliharaan Datu Sulaiman,pagi ini, telah sampai padaku. Ia meninggal karena salah satu kapal penarik batubara, dengan berat melebihi kapasitas, karam. Beberapa menit sempat menimbulkan ledakan dan percikan api. Emas-emas hitam itu berjatuhan. Seperti hujan batu yang bertubi-tubi. Kulit barito melepuh terlalap hangus. Material besi itu mematahkan rusuk-rusuk Barito.
Ia mati sebelum bertemu senja Mayang, yang belakangan, menurut berita yang tengah beredar, diam-diam begitu sangat dicintainya. Hal itu diketahui saat Katutupih memperdapatinya sedang menulis surat cinta, ketika malam benar-benar mengaburkan segala pandangan. Mulanya Barito mengelak, dihindarinya pertanyaan nakal yang kerap dilontarkan Katutupih. Hingga akhirnya ia mengakui perihal perasaannya dengan mensyaratkan pada Katutupih untuk tidak bercerita kepada siapa pun.
Namun rahasia tetaplah rahasia, jika telah sampai waktunya, suatu saat akan terkuak juga. Mendengar itu, tak ada yang dapat dilakukan senja Mayang. Ia tak jua menyesali perbuatannya yang sama; menaruh rasa cinta kepada Barito. Tapi, mana mungkin perempuan memulai lebih dulu bukan? Ia menanti dan terus menanti, mengganggap semuanya biasa saja. Hingga kabar kematian itu datang.
Kemudian aku menulis sebuah puisi sebagai pengganti karangan bunga yang kutitip kembali pada Bul-bul tadi untuk dilarungkan di ujung jantung Barito. Dan aku mulai bergegas mempersiapkan segala sesuatunya untuk kembali menuju kota itu. Meninggalkan dunia sepi yang berjuta-juta hari kutinggali.
Kota yang kucintai sekaligus kuprihatinkan. Aku akan mengenang Barito dengan tuah-tuah yang pernah dikatakannya panjang lebar padaku waktu itu.
Kini, biarkanaku yang menjaga kotamu, Barito. Biar aku.
Ciputat, 31 Desember 2015
*Pegiat Komunitas Sastra Rusabesi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Average Rating