Tokoh Cerita yang Ingin Membunuh si Tuan

Read Time:6 Minute, 21 Second
A, lelaki yang terbit dari lelaku hujan di tengah terik dengan bara cecah yang mendadak saja, tanpa aba-aba, dirudung jejarum air yang kian lebat memadat. Dua-tiga orang, di suatu warung makan, bersumpah serapah. Hujan yang membasahi genting, juga membasahi seseorang yang mendiami kamar sederhana itu –sebab atapnya bocor- di pinggiran kota dengan gang-gang kecil dan rumah-rumah kumuh. Kamar yang hampir penuh –selain kasur lusuhnya, diisi setumpukan buku yang saling bersitindih.
A tinggal di sebuah negeri besar. Negeri di mana pantai-pantainya menebarkan aroma purba serta tempat leluhur pasir berbiak halus sepanjang pesisir. Gunung-gunungnya tempat terbaik semayam matahari yang terantuk-antuk seharian mencerahi bumi. Elok, hasil alam meruah, negeri itu bernama: Sia.
Sia merupakan negeri yang subur, tak berbilang sumber daya alamnya. Bukan menjadi rahasia lagi bila Sia senantiasa diperbincangkan di tanah eropa sana. Orang-orang kulit putih itu tergiur untuk memiliki Sia lebih dari sekadar memiliki, melainkan menjarah, menguras, mengeksploitasi habis-habisan.
Sia adalah negeri di mana segala yang fiksi hidup dan memiliki peradabannya sendiri. Ia hanya bisa diperdapati di dalam kepala si tuan pengarang.
***
A adalah mahasiswa Universitas Muktazilah. Kampus berlabel islam terbesar di negeri ini. A yang berasal dari kampung Lokbaka, kampung yang tak pernah ditemui oleh orang-orang waras, menemui banyak karib baru di kampus ini, yang juga sama-sama berasal dari kampung yang terbuai dengan dana anggaran yang serba “disunat” aparatur pusat.
Tapi ia tidak ingin mencampuri apalagi memusingkan urusan itu. Ada banyak hal yang lebih penting baginya, bagi hidupnya. Termasuk salah satu diantanya: Buku.
Buku, bagi A seorang mahasiswa yang bergelar kutu buku di kampusnya, adalah aset paling berharga yang dimilikinya. Ia tak pernah memusingkan soal kehilangan sepeda yang dahulunya kerap digunakan untuk mencuri wi-fi di cafe-cafe elite, tentu tidak untuk masuk apalagi membeli makanan dengan harga yang tak wajar itu. Ia mengambil jarak yang agak jauh –dan biasanya, tempat parkir adalah pilihannya, untuk sekadar download atau searching hal-hal penting untuk kebutuhannya sebagai penulis lepas di negeri ini.
Ia tidak juga menyesali soal kehilangan sepatu butut satu-satunya miliknya yang dipakai sehari-hari untuk kuliah yang tak sengaja terambil (jika tak ingin dikatakan dicuri) oleh pemulung –karena saking tak layaknya disebut sepasang sepatu itu disebut sepatu. Mungkin.
Ia juga tak pernah mengutuki soal honor menulis yang sering terlambat dikirim atau bahkan terlupakan oleh bagian keuangan surat kabar (meski tentu saja, ia juga banyak berharap dari uang itu). Yang terpenting, ia dapat memperbaharui judul bukunya setiap minggu dengan membeli buku-buku layak baca di toko buku loakan, dan menjaga buku-buku yang sudah dimilikinya. Meski lagi-lagi, ia bergantung pada seberapa sering cerpen atau puisinya dimuat di koran, dan tentu saja untuk mendapatkan honorarium.
Tentang harapannya pada honorarium menulis itu, sejujurnya, ia merasa harga dirinya begitu rendah. Ia sadar, bahwa idealismenya tengah dipertaruhkan. Menulis untuk menghasilkan uang, begitu kira-kira satire baginya. Dan buruknya, idealisme itu mesti ditukar untuk nominal yang tak seberapa banyak. Tapi ia masa bodoh dengan hal itu. Saat ini, apa-apa serba sulit terjangkau, juga buku. Penerus bangsa ini menjadi tolol karena gadget, dan lupa membaca –atau memperbaharui bacaan, merasa cukup dengan pengetahuan yang sudah ada.
Kalaupun ada yang suka membaca, menurut kabar terbaru di media beberapa waktu lalu, pajak buku justru semakin naik. Kau bisa lihat, katanya suatu kali, harga-harga buku yang dipajang di toko Gremotia kini tak lagi masuk akal. Sehingga bagi yang kesulitan secara finansial, termasuk A, mencari alternatif lain dengan membeli buku-buku bekas. Betapa berdosa pemerintah negeri Sia ini.
A yang suka nyinyir, A yang suka sekali menyendiri di kala senggang dan lebih memilih membaca buku itu, kini sedang jatuh cinta dengan seorang perempuan, anak rektor universitas islam ini, ia memanggilnya, B.
***
A mencintai B. Sesederhana itu. Dan A terlalu malas untuk menjawab sebuah pertanyaan, “untuk alasan apa kau berani-berani mencintai B?”
Jawaban paling klasik kembali diulangnya, “cinta tak butuh alasan muluk-muluk, yang justru pada akhirnya berujung omong kosong.”
“Cinta yacinta, tak perlulah kita mesti disibukkan untuk menelusuri asal mula apalagi berlelah-lelah mencari alasannya, ” tambahnya lagi.
Meski ia sadar, sesadar-sadarnya, bahwa ia yang dekil dan mengarah pada kehidupan bohemi, tak layak mencintai perempuan yang kehidupannya serba teratur dan tentu saja, memiliki masa depan terang; penuh cahaya kepurnaan.
Apalah daya seorang mahasiwa yang memilih bekerja sambilan (kata “sambilan” sedikit lebih agak mendingan daripada serabutan) sebagai penulis lepas di koran lokal, yang membeli kretek saja masih lebih sering ketengan. Ia harus betul-betul mengatur keuangannya untuk tidak berpuasa setiap hari.
Begitu pun untuk menempuh jarak antar kos kecilnya ke kampus, pulang-pergi, sudah tak terhitung berapa ratus kilo jumlahnya selama ini bila dikalkulasikan selama tiga tahun terakhir. Tepatnya setelah sepedanya, harta termahal miliknya, dicuri.
“Aku mencintainya, tanpa terkecuali. Titik.” Hatinya berupaya mengukuhkan. Ini sebuah pilihan. Soal diterima atau tidak. Atau soal apakah nanti ia akan ditendang keluar rumah oleh calon ayah mertuanya yang rektor itu karena kesemrawutan tampilannya, sungguh tak jadi masalah. Ini lebih dari sekadar pertaruhan, ini menyangkut soal nyali; soal keberanian seorang lelaki.
***
Suatu sore, di deretan kursi penonton hall student center Universitas Muktazilah. Dua orang saling bersitatap; beradu pandang. Setelah seorang lelaki menyatakan sesuatu yang danggap amat paling sakral di muka bumi ini antar sepasang anak manusia, kepada perempuan yang telah lama dicintainya. Keduanya terdiam beberapa saat.
“Aku juga sejak lama menyimpan perasaan padamu, A,” ujar B, si perempuan pemilik gemintang di dasar matanya. Memecah keheningan.
A limbung, beberapa detik kehilangan kata. Dadanya berdegup kencang. Jantungnya hampir meloncat dari kerangkeng rusuk-rusuk. Sungguh.
“Tapi..” B melanjutkan ucapannya. Sedikit tertahan. Ada sesuatu yang nampak menggantung dan sulit untuk diutarakan. “Aku tidak dapat memilihmu, A. Sebab aku lebih mencintai kembang gandasuli yang ditanam oleh pegawai-pegawai Tuhan, yakni Malaikat, di ladang para kaum peri di lembah kahyangan. Kembang gandasuli itu, di waktu-waktu tertentu, mengaku akan berubah diri menjadi seorang lelaki yang begitu amat mencintaiku.”
Ternyata anggapan A keliru. Ada orang lain yang dicintai oleh kekasihnya.
“Kita ini nyata. Kau dan aku nyata. Mengapa kau memercayai sebuah alur cerita seorang cerpenis ingusan yang mengada-ngada ini?”A berusaha membantah. Wajah A memerah, suaranya meninggi, ia nampak naik pitam.
“Kita ini tak nyata. Kita ini sama-sama tiada. Kau harus sadar dan mengakui itu. Pengarang cerpen ini menakdirkan aku demikian. Dan tanpa sepengetahuanku, ayahku yang seorang Rektor pun disihir pula untuk menuruti kemauannya dan memaksaku mau menerima pinangan si lelaki kembang gandasuli.” Tanpa terasa ada yang terasa hangat di pipinya. Bulir-bulir airmatanya menganak sungai. Ada gemuruh yang terasa menyesaki seisi dadanya.
“Saat pintu gerbang kampus ini ditutup dan dalam suasana yang kian hening. Tepat pukul 3 dinihari esok kami akan melangsungkan akad nikah. Kalau kau mau serta lapangnya dadamu seluas jagat, kau boleh saja datang,” ucap B sembari menatap ke luar, kosong. Rasa bersalah meliputi benaknya.
A berdiri. Tanpa pamit dan berkata apa pun. Meninggalkan B seorang diri di antara sederetan bangku yang sekarang tak ada seorang pun di sana selain B.
Kau tahu, hatinya tengah porak poranda.
***
Belakangan, A baru menyadari bahwa selama ini dirinya tak nyata. B tak ada. Universitas Muktazilah tak ada. Negeri Sia tak ada. Semua dalam cerita ini tak pernah ada. Keber-ada-an selalu disandarkan pada apa yang nampak dan mampu teraba. Semua orang mengangap bahwa selebihnya yang tak nyata di dunia ini hanyalah sebuah ilusi. Kosong. Tak bermakna.

Ia mengutuki dirinya. Mengutuki kebodohannya. Ia ingin sesegera mungkin bertemu dan membuat perhitungan kepada pengarang cerita pendek ini yang sudah semena-mena terhadapnya. A ingin membunuh pengarang cerita ini, menguliti tubuhnya dari ujung kepala sampai ujung kaki dan memecahkan batok kepalanya menjadi dua bagian. Terdengar lucu dan tak masuk akal. Namun itu mungkin saja akan terjadi kelak. 

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Antara Jurnalis Profesional dan Jurnalis Warga
Next post Indonesia Ibarat Kapal Hendak Karam