Moch Sukri
Read Time:2 Minute, 41 Second
Harus dibuang ke tanah pengasingan lantaran memberontak penjajah bukanlah suatu aib. Dibenci hingga ditinggalkan orang tercinta juga harus diterima.
Pada tahun 1918, Pandu merupakan orang biasa yang tinggal di Madiun. Ia pekerja magang di salah satu kantor wedana —kabupaten— dan tidak digaji sepeserpun. Walaupun ia tidak memiliki tahta, namun mempunyai pikiran maju.
Tahun 1921, Pandu diangkat menjadi menantu oleh seorang juru tulis kantor asisten wedana. Namun, sebelumnya ayah Pandu keberatan menerima permintaan sang juru tulis, mengingat anaknya belum mempunyai mata pencaharian. Akan tetapi, sang juru tulis mengiming-imingi sawah apabila Pandu mau menikahi anaknya. Terpaksa Pandu pun menerima tawaran tersebut.
Ia tak memikirkan perkawinan yang telah dilangsungkan merupakan jenis perkawinan adat atau paksa. Ia hanya bangga karena telah berkeluarga seperti kawan-kawan sebayanya yang lain.
Sebulan setelah pernikahan, rumah orang tua Pandu kedatangan tamu dari Sarikat Islam Semarang. Kedatangan tamu tersebut tak lain ingin membahas propaganda Sarikat Islam di Semarang. Di saat bersamaan, ayah Pandu menyarankan berkenalan dengan mereka sekaligus memperkenalkan asas-asas partainya.
Sampai akhirnya, Pandu pun ikut partisipasi dalam partai tersebut. Akan tetapi, hal itu diketahui oleh sang juru tulis yang tak lain mertua Pandu. Nahas, ketika mertuanya menyarankan agar Pandu keluar dari partai tersebut, Pandu menolaknya. Saat itulah, Pandu dipecat dari pekerjaannya dan diusir mertuanya.
Pandu pun sedih, bukan karena dipecat atau diusir oleh mertuanya, melainkan tidak bisa menemui istrinya. Di tahun 1922, Pandu merantau ke Semarang untuk menghilangkan ingatan akan istrinya. Tak hanya itu, Pandu turut mengikuti propaganda Partai Semarang di Jawa Tengah.
Setahun berselang nama Pandu sudah tidak asing lagi dalam pergerakan itu. Pergerakannya terdiri dari berbagai elemen masyarakat, tua, muda, pria, dan wanita baik yang sudah bersuami atau masih gadis. Dalam propagandanya bersama Partai Semarang, Pandu pun dipertemukan dengan seorang gadis bernama Zus Emi yang kemudian menjadi tambatan hatinya yang baru.
Zus Emi melihat Pandu sebagai sosok pejuang yang peduli akan rakyat kecil. Begitu pun Pandu melihat Zus Emi, sebagai sosok perempuan yang mengebu-gebu memperjuangkan nasib kaum papa. Selama menyuarakan perjuangannya beberapa kali Pandu keluar masuk penjara. Takutkehilangan Zus Emi, lantaran sering tak berada di sampingnya, Pandu pun menikahinya dengan disaksikan rekan-rekan seperjuangan.
Tahun 1926, pergerakan partai Semarang semakin terlihat di Betawi dan Batam. Pemerintah Hindia Belanda menganggap pemberontakan partai tersebut sangat berbahaya. Hingga akhirnya Pandu ditangkap dan harus diasingkan ke Boven Digul. Sang istri ingin mengikuti Pandu, namun batal lantaran orang disekitarnya menghasut Pandu sebagai seorang pemberontak, pencuri, pembunuh lantaran harus diasingkan.
Pandu harus menjalani pengasingan ke Digul tanpa ditemani istri. Bahkan, Zus Emi menikah lagi dengan seorang politikus di Betawi. Hati Pandu pun kecewa sejadi-jadinya lantaran wanita yang ia cintai berhianat, sejak saat itu Pandu bersumpah membenci perempuan. Perempuan, apa gunanya dilahirkan di atas dunia ? Cuma menyakitkan hati! (hal.110)
Demikianlah cuplikan salah satu cerita karya Abdoe’l xarim M.s. dalam buku Cerita dari Digul, yang disunting oleh Pramoedya Ananta Toer. Buku setebal 319 halaman ini merupakan kumpulan tulisan karya eks Digulis yang dulu juga pernah diterbitkan dulu.
Kumpulan cerita tentang Digul ini cukup memberi wawasan tentang orang buangan pada masa kolonial. Buku ini dapat dijadikan pelengkap bagi siapa saja yang meneliti atau meminati sejarah tentang Digul. Namun bahasa yang digunakan belum sesuai aturan baku saat ini, sehinga pembaca pemula akan kesulitan memahaminya.
Average Rating