IKA TITI HIDAYATI
Read Time:2 Minute, 39 Second
Keterbatasan fisik tidak menjadi hambatan bagi Taufiq Effendi. Peraih beasiswa di delapan negara ini menjadi bukti bahwa kekurangan yang ada tidak menjadi penghalang untuk berprestasi.
Diskriminasi sosial seringkali dihadapi oleh para penyandang disabilitas, salah satunya tunanetra. Karena keterbatasan penglihatan, seringkali masyarakat meremehkan kemampuan para penyandang tunanetra. Akan tetapi, keterbatasan bukanlah penghalang untuk bisa berprestasi. Dengan tekad dan sikap pantang menyerah, keterbatasan fisik yang ada mampu ditepis.
Salah satunya oleh Taufiq Effendi, Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini tidak pernah tanggung-tanggung dalam menuntut pendidikan. Di balik keterbatasan fisik pada matanya, ia berhasil mengenyam pendidikan di berbagai negara melalui jalur beasiswa. Terbukti, delapan program beasiswa berhasil diraihnya dalam kurun waktu 2006-2015.
Kekurangan yang dialami Effendi bukanlah bawaan sejak lahir. Kecelakaan yang pernah dideritanya pada usia enam tahun, secara perlahan menyebabkan kebutaan total saat menginjak umur 15 tahun. Berbagai operasi serta pengobatan yang telah ditempuh pun tidak ada satupun yang membuahkan hasil.
Tidak merasa terpuruk, Effendi justru semakin memiliki semangat hidup yang tinggi dan berusaha keras untuk meraih impian. Dalam urusan pendidikan, Effendi kian gigih dalam menuntut mencari beasiswa. Keinginannya untuk dapat berkeliling dunia memupuknya untuk terus berusaha keras mendapatkan beasiswa di luar negeri.
Dalam belajar, Effendi menggunakan rekaman suara dari hasil bacaan buku temannya, sedangkan braille dipelajarinya sejak Sekolah Menengah Atas. Ketika duduk di bangku kuliah, ia belajar menggunakan rekaman suara dosen yang selalu ia putar saat belajar. Metode lain, dengan menggunakan aplikasi untuk program membaca. Effendi memindai buku bacaan yang kemudian disimpan dan dibaca menggunakan aplikasi program pembaca.
Tepat pada 2006, kerja keras Effendi akhirnya membuahkan hasil. Beasiswa senilai 20 juta dalam program 4th Asia TEFL International Conference berhasil mengantarkannya ke Jepang. Makalah yang dibuat Effendi berhasil menyisihkan 449 pemakalah profesional dengan jenjang pendidikan yang berbeda dengan Effendi yang satu-satunya mengenyam pendidikan tingkat strata satu.
Tidak berhenti sampai di situ, tahun-tahun berikutnya Effendi kembali menorehkan catatan baru untuk perjalanan beasiswanya. Salah satu di antaranya ialah Korean Exchange Bank yang mendanai penelitian skripsi Effendi pada 2007. Diakhir masa studi strata satunya, Effendi lulus dengan menyandang predikat Cum Laude serta menjadi wisudawan terbaik dengan kriteria akademik dan non akademik.
Tak merasa puas, pada 2009 dengan beasiswa Information and Communication Technology Training dari Japan Braille Library, Effendi mengikuti pelatihan di Malaysia. Sebelumnya, pada 2008 Ia melanjutkan studi magisternya di Inggris tepatnya Aga Khan University. Beberapa beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat yakni Teacher Training and workshop di INTO Oregon State University, Corvallis dan Pengajaran Bahasa Inggris di University of Oregon, Eugene.
Perjalanannya menempuh beasiswa di berbagai negara, menghantarkannya menjadi dosen di UIN Jakarta. Dalam mengajar, Effendi menerapkan metode critical pedagogy dalam kegiatan belajar mengajar di kampus. Sebuah metode pendidikan yang menerapkan konsep dari teori kritis dan tradisi yang terkait dengan bidang pendidikan dan studi budaya. Dengan begitu, pengajaran Effendi di kelas menjadi interaktif dan menuai respon positif dari kalangan mahasiswanya.
Taufiq berpesan kepada semua mahasiswa, bahwa jangan pernah takut untuk bermimpi. Dirinya berpesan untuk terus berjuang dalam meraih mimpi dan masa depan, “Kita di masa depan tergantung dari mimpi dan perjuangan kita saat ini yang membedakan adalah kerja keras,” ujar Effendi, Kamis (4/4).
Average Rating