“Isu praktik bisnis berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) adalah isu yang tidak akan pernah usang untuk dibahas,” sekiranya itulah ujaran Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta (UPNVY) Machya Astuti Dewi. Sambutan tersebut ia lontarkan pada pembukaan Webinar “Mendorong Praktik Bisnis Berbasis Penghormatan pada Hak Asasi Manusia”, Jumat (20/11) silam. Harap Machya, kegiatan ini bisa menjadi awal yang konkrit untuk terus menjamin keberadaan HAM.
Webinar ini diusung oleh Kelompok Studi Mahasiswa Defensia serta International Relations For Investigation and Research yang berada di bawah naungan Laboratorium Pertahanan dan Keamanan FISIP UPNVY. Tak hanya menjadi topik yang menarik di kalangan rumpun ilmu sosial dan ilmu politik saja, isu bisnis dan HAM juga kerap menarik bagi masyarakat umum. Menurut moderator webinar sekaligus Kepala Laboratorium Pertahanan dan Keamanan Ratnawati, globalisasi membuat kurangnya kontrol pemerintah terhadap korporasi sehingga terjadilah permasalahan lingkungan hidup dan ketenagakerjaan.
Untuk menelaah isu ini, pelaksana webinar turut mengundang beberapa pembicara yang tentu berasal dari lembaga-lembaga yang aktif mengawal permasalahan HAM di bidang bisnis. Pembicara pertama ialah Siprianus Bate Soro, perwakilan dari The United Nations Development Programme (UNDP). Ia menyatakan, bisnis dan HAM menjadi isu yang penting saat ini. Masalah tersebut menjadi bagian dari advokasi global yang sangat panjang untuk dapat mendorong praktik-praktik bisnis yang lebih bertanggung jawab.
Menurut Siprianus, praktik bisnis yang lebih bertanggung jawab sendiri artinya pihak korporasi secara aktif menelaah dampak bisnis yang berjalan terhadap masyarakat. Kemudian, korporasi harus mengambil langkah guna mencegah dampak negatif dan melakukan remedial yang efektif untuk memperbaiki dampak tersebut. “Dalam hal ini, UNDP membuat kerangka kebijakan praktik bisnis dan HAM,” ungkap Siprianus.
Pembahasan berikutnya tidak lain mengenai proteksi HAM oleh negara. Sekretaris Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM Bambang Iriana Djajaatmadja menegaskan, HAM merupakan isu prioritas yang kian dibahas. Seiring berkembangnya waktu dan keluarnya Resolusi Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 17/4 Tahun 2011, korporasi kini menjadi aktor lain di samping pemerintah dan masyarakat umum dalam hal mengemban hak dan kewajiban HAM. Namun kemudian, korporasi menjadi aktor yang potensial menjadi “pelanggar” HAM. “Dari 7.188 kasus HAM, 15 persennya ditujukan kepada korporasi,” terang Bambang.
Dalam menangani kasus yang ada, terdapat pula upaya pemulihan pelanggaran HAM yang efektif. Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Wahyu Wagiman menjelaskan tiga mekanisme pemulihan hak korban menurut prinsip-prinsip panduan PBB. Mekanisme pertama ialah mekanisme yudisial berbasis negara, yang mana negara harus mengambil langkah layak untuk memastikan efektivitas mekanisme hukum nasional ketika mengatasi pelanggaran HAM yang terkait dengan bisnis.
Mekanisme kedua masih berbasis negara, hanya saja sifatnya nonyudisial. Pada mekanisme ini, negara menyediakan pengaduan nonyudisial berbasis negara yang efektif dan layak di samping mekanisme hukum. Terakhir, mekanisme ketiga adalah pengaduan berbasis nonnegara. “Akan tetapi dalam melakukan pemulihan, terdapat pula tantangan yang dihadapi korban seperti kurangnya kemauan politik, hambatan proseduran dan hukum, hingga penyangkalan dari pihak perusahaan,” imbuh Wahyu.
Pada dua pembahasan terakhir, hadir pula Direktur Eksekutif Indonesia Global Compact Network Josephine Satyono dengan materi adopsi standar HAM dalam praktik bisnis. Ia kemudian mengaitkan penerapan Sustainable Development Goals di dalamnya. Setelah itu, menyusul pembahasan terkait bisnis sebagai instrumen perdamaian oleh Dosen Hubungan Internasional UPNVY Nikolaus Loy.
Usai semua materi disampaikan, Ratnawati pun mengutarakan kesimpulan dari diskusi kala itu. Ia menyatakan, peran pemerintah cukup besar untuk mendorong kegiatan bisnis berbasis penghormatan kepada HAM. Maka dari itu, penting adanya kerja sama yang terjalin dengan lembaga swadaya masyarakat untuk mengutamakan HAM dalam kegiatan bisnis. “Pemerintah wajib melindungi HAM masyarakat, begitupula korporasi yang wajib untuk melindungi HAM para pekerjanya,” pungkas Ratnawati di penghujung webinar.
Ketua Pelaksana Webinar Alexandro Soge pun turut memberikan pandangannya terhadap isu yang mereka angkat. Menurutnya, keberadaan aktivitas bisnis berbanding lurus dengan konflik sosial, misal konflik antara kepentingan pelaku bisnis dengan pekerja maupun masyarakat di lingkungan perusahaan itu sendiri. Maka dari itu, harapan dari diselenggarakannya webinar ini tidak lain adalah agar pihak perusahaan dapat mempertimbangkan kredibilitas dalam ranah HAM guna meminimalisir tindakan mencederai hak-hak pekerja dan masyarakat yang ada.
Alexandro pun berharap, pesan mengenai upaya nasional dan global dalam mempromosikan HAM dalam aktivitas bisnis dapat sampai untuk khalayak umum khususnya mahasiswa. Dengan demikian, masyarakat dapat mengerti dan ikut mendorong mekanisme nasional dan internasional perihal bertanggung jawab dalam pemenuhan HAM pada praktik bisnis. “Pemerintah juga diharapkan bisa berperan aktif mengupayakan penyelenggaraan bisnis berbasis HAM,” ujar Alexandro.
Tak hanya mahasiswa, webinar ini juga dihadiri oleh seorang siswa dari Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Parepare, Elsahra Alra Aylani. Sebelumnya, ia mendapat informasi terkait webinar melalui Instagramdan tertarik dengan topik yang disajikan. Menurut Elsahra, pembahasan webinarsangat relevan bagi masyarakat luas, termasuk pula pelajar sekolah. “Apalagi, masih banyak pelajar yang belum tahu peran penting HAM dalam praktik bisnis,” pungkasnya.
Average Rating