Pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron yang viral belakangan ini membuat umat Islam diseluruh dunia heboh. Macron mengeluarkan pernyataan menanggapi isu yang berkembang di negaranya, banyak media menyoroti bahwa Macron melukai perasaan umat Muslim di seluruh dunia karena pernyatannya tersebut.
Ketegangan di Prancis bermula dari beredarnya kartun bergambar tokoh terpenting umat Islam yaitu Nabi Muhammad. Menurut Dosen Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Eva Mushoffa bagi umat Islam menggambar Nabi Muhammad merupakan suatu pelecehan agama dan menghina nabi. Tetapi bagi masyarakat Perancis itu merupakan hak berekspresi yang dijamin kebebasannya oleh undang-undang yang ada. “Jadi saya kira kita dihadapkan pada cara pandang yang berbeda,” ungkap Eva, Minggu (8/11).
Menanggapi demikian, salah satu Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UIN Jakarta Faisal Nurdin menuturkan bahwa memang benar dalam pidato Macron ada menyebut kata Islam namun karena perkembangan teknologi yang begitu cepat masyarakat tidak mengetahui apa yang dimaksud dari pernyataan Macron tersebut. “Masyarakat bahkan tidak tahu pernyataan Macron mana yang menyinggung Islam,” jelasnya Selasa (10/11).
Faisal juga menambahkan bahwa ada terminologi yang tidak dipahami publik yaitu Islamist. Menurutnya Islamistmengacu pada gerakan yang melakukan mobilisasi dan manipulatif dengan menggunakan Islam sebagai idelogi gerakannya. “Secara ekspilisit, Macron tidak menyerang agama Islam, tetapi memang ada terminologi yang disalahpahami,” imbuhnya, Selasa (10/11).
Adanya Undang-Undang Laicite
Di Prancis sendiri, terdapat Undang-Undang (UU) Laicite yang menjamin kebebasan untuk warganya termasuk kebebasan dalam berkarya atau berekspresi. Menurut Eva, kehadiran majalah Charlie Hebdo merupakan manifestasi nilai-nilai demokrasi Perancis yang sah dan diatur dalam UU Laicite. “UU ini menjadi bermasalah ketika mulai menyentuh beberapa hal yang sensitif dari ajaran Islam yang kemudian memancing reaksi umat Islam lain di luar Prancis,” jelas Eva (8/11).
Hal senada disampaikan oleh Mahasiswa Hubungan Internasional Rifqi Ibnu “Terjadi perbedaan pandangan tentang UU Laicite antara Perancis dengan Islam,’’ tuturnya, Minggu (8/11). Tak hanya itu, Rifqi juga menambahkan dalam konstitusi Prancis nilai-nilai sekularisme sangat dijunjung tinggi, artinya negara memisahkan peran-peran agama dalam kehidupan bernegara.
Apa yang telah terjadi di Prancis membuat negara-negara di dunia terutama negara-negara Islam berusaha mengintervensi dan menekan Prancis. Dalam hal ini Eva Mushoffa memaparkan bahwa persoalannya sejauh mana pihak-pihak luar bisa menintervensi urusan domestik di Perancis dan sebaliknya, sampai batas mana UU Laicite ini bisa menjangkau hak-hak yang dianggap universal. “Kita perlu memahami ini sebagai bentuk urusan domestik di Prancis meskipun ada implikasi globalnya, tuturnya (8/11).
Islamophobia di Prancis
Isu Islamophobiamenguat di Prancis setelah pembunuhan Samuel Paty dan penyerangan di Gereja yang terletak di Kota Nice. Dalang peristiwa tersebut adalah kelompok Islam extremist. Beranjak dari peristiwa inilah, Macron mengeluarkan pernyataannya yang seakan-akan menuduh Islam sebagai agama dalam krisis. “Jadi yang disasar Macron adalah kelompok-kelompok Muslim radikal, bukan komunitas Muslim Prancis secara umum,” terang Eva, Minggu (9/11).
Dalam hal Islamophobia, Faisal Nurdin setuju dengan apa yang dikatakan ilmuwan Prancis Thariq Ramadhan bahwa Eropa harus memahami ada masyarakat Muslim yang tinggal di tanah mereka, tetapi pada saat yang sama masyarakat Muslim harus sadar bahwa mereka hidup di Eropa. “Kata-kata ini cukup dalam, Muslim harus sadar di mana mereka tinggal, agar tidak terjadi kesalahpahaman yang berujung pada Islamophobia,” pungkasnya, Selasa (10/11).
SHN, FAP, ARA
Average Rating