Nasib perempuan kembali menjadi gejolak perdebatan. Sampai-sampai sebuah kamus, dianggap menjadi biang ketidakmujuran sang puan.
Lewat sebuah unggahan Instagram pada 28 Januari lalu, vokalis Barasuara, Cabrini Asteriska Widiantini tampak mengenakan kaus bertuliskan “Ganti Penjelasan Kata Perempuan dalam KBBI”. Icil, sapaan akrabnya, melakukan aksi tersebut sebagai bentuk kekesalan. Ia protes lantaran, kata turunan “perempuan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dicitrakan dengan hal-hal yang buruk.
Beberapa kata definisi turunan itu di antaranya seperti: perempuan geladak pelacur, perempuan jahat, perempuan jalan pelacur, perempuan jalang, perempuan nakal, dan kata turunan lainnya yang berkonotasi negatif. Selain negatif, ia juga menilai penjelasan kata perempuan di KBBI itu terkesan tak objektif.
Tak heran, menurut Icil, perempuan kerap menjadi penyintas pelecehan seksual. Karena dalam kamus sekalipun, kata dia, perempuan dikesankan sebagai objek seksualitas. “Enggak heran kenapa perempuan sering dijadikan objek untuk hal yang terkait seksual dan dilecehkan,” tulisnya pada laman Instagram @asteriska, Kamis (28/1).
Sementara itu, menurut Pakar Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Hindun, definisi kata perempuan sendiri berasal dari kata “empu” yang berarti “mampu”. Sementara, makna tersebut tidak menempel dengan diksi lain. Hal itu pun membuatnya terkesan negatif, sebab di sisi lain, sudut pandangnya juga berdampingan dengan kosa kata berkonotasi negatif.
Hindun menambahkan, suatu kata yang menempel dengan diksi lain akan menghasilkan makna yang berbeda. Sehingga, kata dia, pembaca bisa memiliki persepsi penilaian secara positif maupun negatif. Sementara itu, argumen terkait perempuan yang kerap diposisikan sebagai objek seksual, menurutnya tak ada kaitannya sama sekali dengan definisi di KBBI. “Kembali kepada perilaku seseorang itu sendiri,” ujar Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan ini saat dihubungi Institut via Google Meet, Selasa (9/2).
Pencetus Komunitas Gender Talk, Dara Ayu Nugroho turut memberikan tanggapan. Lain dengan Hindun, Dara menilai bahwa makna kata turunan “perempuan” dalam KBBI justru mengisyaratkan stigma bahwa budaya patriarki masih langgeng dalam kehidupan masyarakat. “Hal ini dapat meracuni pikiran masyarakat, seolah perempuan memang makhluk yang inferior dan rendah,” tegas Dara, Kamis (11/02).
Dara juga menilai, penggambaran perempuan dalam KBBI menandakan adanya objektifikasi terhadap perempuan. Menurutnya, hal itulah yang membikin perempuan sebagai pihak yang selalu disalahkan dalam kasus kekerasan atau pelecehan seksual. “(KBBI juga) menyebabkan masyarakat menyalahkan perempuan atas fisik dan pakaian mereka saat terdapat isu kekerasan atau pelecehan seksual,” pungkasnya.
Dara berharap, tim penyusun KBBI segera menghapus kata turunan “perempuan” yang berkonotasi negatif itu. Menurutnya, tim penyusun harus mengedepankan kesetaraan jika ingin mendefinisikan suatu kata, termasuk kata perempuan. “(Makna kata “perempuan” dalam KBBI) harus diganti,” pinta Dara.
Hany Fatihah & Didya Salamah
Average Rating