Kelompok transpuan hidup tanpa keadilan. Masyarakat dan pemerintah meminggirkan mereka.
Seorang transgender perempuan (transpuan) bernama Bunga, mengaku kerap diburu oleh stigma dan diskriminasi oleh masyarakat sekitar. Transpuan yang berprofesi sebagai pekerja seks komersial, kata Bunga, mereka makin berisiko mendapat perlakuan berbeda berkali-kali lipat. Selain itu, para transpuan juga rawan jadi korban kekerasan secara seksual maupun kriminal. “(Kami) Tak hanya diolok-olok, ada juga yang dilempar batu dan ditodongkan pisau,” ungkap transpuan Komunitas Srikandi Pakuan ini, Sabtu (26/2).
Tak hanya dari masyarakat, para transpuan juga masih mendapat perlakuan mendua dan tak ada dukungan dari pemerintah. Hal ini dibenarkan oleh Audi Manaf, transpuan komunitas Warna Sehati. Menurutnya, kebijakan pemerintah yang tak berpihak pada transpuan berimpak pada lahirnya stigma dan diskriminasi. Pada akhirnya, para transpuan dihadapkan pada kesusahan untuk bisa berkehidupan dengan layak. “Selama stigma dan diskriminasi dilahirkan oleh pemerintah, saya rasa kekerasan akan dialami oleh transpuan, karena negara tidak mendukung dan melindungi warganya” ujar Audi pada Sabtu (26/2).
Seorang transpuan lainnya, Nabila, mengungkapkan ia dan teman kroninya tak mendapat bantuan sosial terkait pandemi Covid-19 lewat pihak Rukun Tetangga (RT) setempat. Bantuan pemerintah berupa sembako itu, tak bersambung tangan pada transpuan lantaran pihak RT hanya meladeni warga setempat. Sebab, para transpuan tersebut tak punya kartu identitas. Mereka kian terpojok. “Cukup sulit untuk mendapat bantuan pemerintah,” keluh Konselor Sebaya Komunitas Srikandi Sejati itu, Selasa (22/2).
Berbeda bentuk tak berkeadilan yang didapat transpuan lain, Bunga. Dirinya mengeluhkan pertanyaan yang dilontarkan padanya saat hendak memakai fasilitas kesehatan. Pertanyaan tersebut berupa identitas nama asli dari si transpuan. Bunga jadi risih. Terlebih lagi, ucap Bunga, bila transpuan yang berpenampilan feminim akan lebih merasa sensitif dengan modelan pertanyaan seperti itu. “Isu identitas sangat sensitif. Hal ini membuat teman-teman transpuan kurang nyaman mengakses layanan publik,” ucapnya pada Sabtu (26/2).
Berdasarkan penelusuran Institut, terdapat beberapa perkumpulan dan komunitas yang melindungi kelompok transgender yang tersebar di penjuru Indonesia. Data yang Institut temui di antaranya: Komunitas Srikandi Sejati yang terletak di Jakarta Timur dan Komunitas Srikandi Pakuan di Bogor.
Nabila menambahkan, hadirnya komunitas tersebut menjadi payung perlindungan bagi kelompok transpuan. Bagi mereka yang hendak menulis lembaran kehidupan baru sebagai transpuan, menginjakkan kaki ke komunitas transpuan menjadi tempat pelarian. Umumnya, lanjut Nabila, komunitas transpuan muncul lantaran kelompok kecil transpuan yang tinggal seatap dan kerap memperkenalkan diri ke sesama jejaring transpuan.
Keberadaan komunitas-komunitas transpuan tersebut membawa kegembiraan di hati para transpuan. Bisa mengurus kartu identitas, menjadi dambaan mereka. Bunga menjelaskan terdapat jalur khusus untuk mengakses Kartu Tanda Penduduk (KTP). Namun dalam praktiknya, masih terdapat beberapa kendala seperti dokumen pelengkap dan waktu operasional. “Sebenarnya Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) sudah memberi kelonggaran untuk mempermudah pembuatan kartu identitas untuk transpuan. Ada jalur khususnya,” kata Bunga pada Sabtu (26/2).
Sebagai seorang transpuan, Audi berharap agar masyarakat dan pemerintah menghormati serta menghargai segenap pilihan transpuan. Tak hanya itu, ia juga berharap pemerintah turut serta untuk mendukung dan memberi pelatihan, sehingga transpuan berkesempatan mendapatkan pekerjaan yang layak. “Biarkan kami hidup tenang. Kalau menurut mereka pekerjaan sebagian teman-teman tidak baik, tapi tidak dibantu, tidak diberikan pelatihan, itu sama saja bohong,” pungkasnya, Sabtu (26/2).
Reporter: Salwa Tazkia
Editor: Syifa Nur Layla
Average Rating