
Secara sukarela, penjaga perlintasan menjaga perlintasan demi keselamatan pengendara. Mereka bekerja tanpa upah tetap, menghadapi risiko tinggi dan tantangan sosial demi kelangsungan hidup keluarga.
“Adi tengah menutup perlintasan dengan palang bambu buatannya agar kereta komuter rute Duri—Tangerang dapat melewati perlintasan di Jalan Supriadi, Tanah Tinggi, Kota Tangerang.”
Persinggungan rel kereta api dengan pemukiman warga rentan menyebabkan kecelakaan. Sebab, rel yang terdiri dari empat ruas jalur tersebut masih aktif dilewati kereta komuter rute Duri—Tangerang, serta kereta bandara tujuan Bandara Soekarno-Hatta sejak pukul lima pagi hingga dua belas malam.
Menghadapi bahaya tersebut, muncul inisiatif masyarakat sekitar untuk membuat perlintasan dengan bermodalkan palang bambu dan lampu. Pihak Kereta Api Indonesia (KAI) membantu dengan memberi jadwal keberangkatan kereta. Untuk menghindari kecelakaan, perlintasan tersebut dijaga bergantian oleh masyarakat sekitar.
Gemuruh suara kereta api membuat Adi (23) dengan sigap menutup perlintasan yang menghubungkan jalan Benteng Betawi dengan Jalan Supriyadi, Tanah Tinggi, Kota Tangerang. Bermodalkan palang bambu, Adi menghentikan aktivitas perlintasan agar kereta dapat melewatinya. Ketika sayup-sayup kereta sudah tak terdengar, Adi melepaskan tali yang menarik palang bambu untuk membuka kembali perlintasan.
“Semua peralatan perlintasan dibuat sama yang jaga di sini, kita cuma dikasih jadwal kereta sama KAI dalam bentuk kertas,” sahut Adi, Sabtu (31/5).
Sejak pukul lima pagi, Adi sudah berada di perlintasan sesuai jadwal perjalanan kereta. Dengan perangkat jemala yang menemaninya, ia menjaga keselamatan pelintas tanpa meminta bayaran sedikit pun. Namun, terkadang pengendara yang lewat memberikan upah untuk jasa Adi menjaga perlintasan. Tak hanya menjaga perlintasan, Adi juga kerap membantu lansia atau pedagang yang kesulitan saat melintas.
“Paling bingung itu, ketika terjadi gangguan keberangkatan kereta yang membuat jadwal kereta jadi berantakan,” ujar Adi.
Jika kereta tak kunjung melintas, Adi terkadang menerima makian dari pengendara yang tak sabar menunggu. Meski demikian, Adi tetap teguh menutup palang sampai kereta melewati perlintasan. Beberapa kali Adi juga sempat memarahi pengendara yang terlalu dekat dengan laju kereta.
“Walaupun mereka marah-marah dan tidak mau nurut, kalau terjadi sesuatu di sini kan yang bertanggung jawab saya,” ucap Adi.
Setelah perjalanan kereta terakhir pada pukul dua belas malam, Adi pulang menuju rumahnya yang tidak jauh dari perlintasan. Sesampainya di rumah, Adi memberikan sebagian besar upah yang ia terima kepada ibunya. Adi sudah menjadi tulang punggung keluarga sejak ayahnya wafat. Kala itu ia masih duduk di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Keterbatasan biaya membuat Adi meninggalkan pendidikannya untuk bekerja sebagai penjaga perlintasan kereta. Setiap menjaga perlintasan, Adi mendapatkan upah yang tidak menentu, berkisar Rp50 hingga Rp80 ribu per harinya. Upah itu ia gunakan untuk menghidupi ibu dan adiknya yang masih sekolah.
“Setiap dua hari jaga, dua hari libur, karena harus bergantian sama yang lain,” ungkap Adi.
Ratusan meter dari tempat Adi bekerja, terdapat pria berkaos biru tengah memperhatikan penjaga palang itu bekerja. Pria itu bernama Ipul (41), ia tengah duduk menunggu gilirannya menjaga perlintasan. “Setiap hari saya nunggu di sini buat bantu-bantu jaga perlintasan sambil nunggu kerjaan yang baru,” ujar Ipul, Sabtu (31/5).
Sebelum menjadi penjaga perlintasan kereta api, Ipul bekerja sebagai kurir barang di salah satu perusahaan jasa pengiriman. Namun, Ipul terkena PHK akibat pandemi Covid-19. Hal itu membuatnya luntang-lantung mencari pekerjaan demi menghidupi seorang putri yang berumur tujuh tahun. Ditambah, ia tengah mengalami situasi sulit setelah bercerai dengan istrinya pada 2023 silam.
Setiap hari, Ipul bergantian dengan masyarakat lain menjaga perlintasan itu, mulai dari jam enam sore hingga jam sembilan malam. Dari menjaga perlintasan, Ipul mendapatkan upah yang tidak menentu, berkisar Rp40 hingga Rp50 ribu per harinya. Namun, Ipul juga harus berbagi dengan rekan yang menemaninya menjaga perlintasan. Setelah pembagian upah, ia hanya mendapat sekitar Rp20 sampai Rp25 ribu sebagai biaya menghidupi anak perempuannya. “Upah segitu belum cukup untuk kebutuhan sehari-hari, tapi alhamdulillah cukup untuk makan sehari-hari saya sama anak,” ujar Ipul.
Upah yang kecil tidak membuat Ipul menjaga perlintasan dengan bermalas-malasan. Ia tetap mengutamakan keselamatan pengendara yang melintas tanpa melihat upah yang diberikan. Ipul sadar pekerjaan yang dilakukannya menyangkut nyawa orang lain.
Versi cetak artikel ini terbit dalam Tabloid Institut Edisi LXIX dengan judul yang sama.
Reporter: Rifki Kurniawan
Editor: Muhammad Arifin Ilham
