Perkembangan Media, Semakin Jauh dari Medium Informasi

Read Time:2 Minute, 6 Second
(dari kiri ke kanan) Rachmat Baihaky, Arif Subhan, dan Helmi Hidayat sedang menyampaikan materi dalam Studium General di Teater lantai 2 Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi (FIDKOM), Rabu (13/3)


Pada abad ke-16 media cetak tidak terbit secara harian, mingguan, atau bulanan. Media cetak hanya terbit jika ada sebuah kejadian besar, seperti pembunuhan atau kecelakaan. Seiring berjalannya waktu dan menuju modernisasi, pada abad ke-17 hingga 19, masyarakat Eropa mulai berpikir bahwa media cetak bisa berfungsi ganda. Selain menjadi medium informasi, media cetak pun bisa menjadi alat kapitalisasi dan berlanjut hingga sekarang.

Hal itu dipaparkan oleh pembicara Stadium General di Teater Aqib Suminto Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi (FIDKOM) bertajuk “The News and How To Know What To Believe”, Rachmat Baihaki, Rabu (13/3). Selain Rachmat Baihaky, Helmi Hidayat selaku dosen Jurnalistik pun hadir sebagai pembicara di Studium General tersebut.  

Menurut Baihaky, media elektronik pun tidak jauh berbeda dengan media cetak. Tidak sedikit media elektronik memilih narasumbernya yang hanya menguntungkan dari segi ekonomi, tetapi tidak mendidik.

Contohnya, Ruhut Sitompul dari partai Demokrat. Ruhut memiliki nilai ekonomi yang tinggi, sehingga ia sering tampil di TVOne. “Padahal, partai Demokrat memiliki tokoh lain yang lebih mencerahkan dibandingkan Ruhut. Jika media terus menerus menayangkan Ruhut sebagai narasumber, alasannya tidak jauh dari nilai ekonomi,” papar Baihaky.

Dosen Teori Komunikasi Massa ini menyarankan, kita sebagai audiens yang berpendidikan jangan hanya memposisikan diri sebagai audiens yang normal dan menerima apa yang disodorkan oleh media. “Kita harus menerapkan kebiasaan sebagai audiens yang mampu menilai dan memberikan kritik kepada sajian yang diberikan oleh media,” ucapnya.

Pembicara kedua, Helmi memaparkan, banyak jenis jurnalisme yang muncul seiring berkembangnya cara media untuk menarik perhatian masyarakat.  “Yang pertama adalah jurnalisme kenabian. Jenis jurnalisme inilah yang banyak menarik masyarakat beragama Islam,” paparnya. Bagi penganut paham ini, jurnalis harus menyampaikan kebenaran atas dasar Allah SWT.

Kedua, penganut peacefull jurnalisme. Mereka memiliki paham bahwa tulisan jurnalis harus membawa perdamaian. Ketika mereka meliput di medan perang, narasumber yang dicari sebagai bahan utama berita adalah sosok yang menciptakan rasa damai sesama manusia, bukan memperkeruh keadaan.

Kemudian, patriotik jurnalisme yang dianut jurnalis yang sangat mencintai tanah airnya. Mereka selalu membela tanah air dan memberitakan hal-hal yang bernilai positif, meski tanah airnya berada di pihak yang salah. “Pokoknya, right or wrong is my country,” ucapnya.

Terakhir, civic jurnalisme atau jurnalisme publik yang sering ditulis wartawan untuk mengkritik pemerintah Indonesia. Biasanya, wartawan mengkritik pemerintah tentang pendidikan atau pembangunan agar mengadakan perubahan. “Wartawan berupaya untuk melibatkan pembaca dalam kritikannya untuk pemerintah,” tandas Helmi, Rabu (13/3). (Gita Juniarti)

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Micro Expression, Pendeteksi Kebohongan Dalam Proses Peradilan
Next post Dahlan Iskan: Saatnya Generasi Muda Berbisnis