Read Time:2 Minute, 30 Second
Sebagai serangga yang hidup di perairan, keberadaan capung bisa menjadi sahabat lingkungan. Mulai dari sahabat dunia pertanian sebagai pemangsa dan penyeimbang alami hama tanaman, hingga sahabat dunia perairan sebagai pengendali nyamuk dan jentik-jentiknya. Namun, peran dan manfaat itu masih belum banyak diketahui oleh masyarakat. Perlahan-lahan populasi dan keberagaman capung berkurang senafas dengan kondisi lingkungan yang semakin rusak.
Pernyataan di atas melatar belakangi Komunitas Indonesia Dragonfly Society (IDS) mengupayakan kelangsungan hidup keanekaragaman hayati serangga ordo Odonata ini. Capung juga dianggap sebagai pusaka alam di wilayah Indonesia, khususnya kota Malang. Hal itu disampaikan oleh Wahyu Sigit, ketua komunitas IDS ketika ditemui di sekretariat IDS, Jl. Gresik no.14, Malang, Jawa Timur.
“IDS berdiri pada September 2010. Tujuan berdirinya komunitas ini adalah mengupayakan terciptanya kelangsungan keanekaragaman hayati capung. Apalagi, menurut Komunitas Pecinta Capung Internasional, World Wild Dragonfly Association, capung Indonesia sudah masuk ke daftar serangga yang terancam punah,” ucapnya, Kamis (4/7).
Untuk menanggulangi hal di atas, IDS memiliki beberapa misi, antara lain mengusahakan perbaikan habitat capung dan pemanfaatannya secara kultural, ekologi, maupun ekonomi bersama masyarakat dan melakukan pendidikan publik agar masyarakat mencintai capung.
Sigit menceritakan, tanggal 29 Maret 2013 lalu, IDS bersama mahasiswa dari Universitas 17 Agustus 1945, Politeknik Banyuwangi, dan Komunitas Foto Biodivertasi Indonesia (FOBI) menyusuri Sungai Kalongan di Desa Pesucen, Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur untuk melihat keragaman capung. “Tujuan IDS, sih untuk mendokumentasikan serta melakukan studi capung di Pulau Jawa. Selama ini, studi capung di Indonesia masih sedikit. Apalagi, studi tersebut dilakukan oleh peneliti asing,” kisahnya.
Ia memilih Sungai Kalongan sebagai medan penelitian karena sungai tersebut memiliki keragaman capung. Hasilnya, ia menemukan berbagai macam capung di sana, antara lain berbagai capung jarum (Subordo Zygopetra),dan capung Amphiaschana Ampla yang terdokumentasi terakhir pada tahun 1940 oleh peneliti asal Belanda.
“Kami ingin mendalami lagi tentang capung ampla. Januari 2013 lalu, IDS juga menemukan capung ampla di lereng Gunung Ijen. Empat ekor ampla jantan ditemukan pada ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut,” kisahnya sambil menunjukkan potret capung ampla warna merah.
Menurut Sigit, kondisi hutan dan Sungai Kalongan masih cukup baik untuk menjadi tempat hidup capung. Sebab, habitat capung adalah sungai yang belum tercemar polusi. Sebagai salah satu upaya pelestarian capung, ketua komunitas IDS ini mendorong agar pemerintah Banyuwangi menjadikan Sungai Kalongan sebagai tempat konservasi capung.
“Dengan konservasi capung, maka secara otomatis kelestarian hutan dan sungai juga terjaga. Sungai Kalongan dan hutan di sekitar sungai juga bisa menjadi tempat wisata yang mendidik pengunjung untuk mengenal capung dan melestarikan lingkungan,” jelasnya.
Namun, apabila Sungai Kalongan tidak dilestarikan, maka perusakan hutan akan mengancam keberadaan capung. Sigit melanjutkan, ancaman utama adalah masyarakat sekitar yang biasanya membabat alang-alang dan semak belukar untuk makanan ternak. Padahal, tumbuhan yang dipangkas tersebut adalah tempat tinggal dan tempat makan capung.
“Masyarakat bersikap seperti itu bukan karena tidak peduli, tapi karena mereka belum tahu. Kalau hasil penelitian sudah jadi, kami akan mempublikasikan kepada masyarakat agar mereka menjaga habitat capung,” ungkapnya dengan nada bersemangat. (Gita Juniarti)
Average Rating