Read Time:2 Minute, 50 Second
Darah seni mengalir dalam tubuhnya. Sejak kecil ia sudah akrab dengan berbagai kegiatan seni melalui ayahnya yang berpofesi sebagai guru seni di Pontianak. Kecintannya ini pun terus berlanjut hingga sekarang. Namun, ia tak mau menjadikan seni sebagai kompetisi. Menurutnya, seni tidak bisa dinilai dengan angka.
Ia adalah Dwi Cahyo Prasetyo. Pria kelahiran Pontianak 23 tahun silam ini merupakan salah satu penggiat desain grafis di Indonesia. Ia sudah berkenalan dengan dunia desain grafis semenjak masih duduk di bangku SMA. Dari situ ia terus berkembang dan semakin tertarik dengan salah satu seni kontemporer ini.
Saat masih kecil, ia sering diajarkan melukis oleh sang ayah. Ketika rumahnya banjir karena air pasang, ia dan ayahnya malah menjadikannya sebagai media untuk melukis. Mereka menampung air pasang tersebut pada sebuah kotak lalu mencampurnya dengan cat minyak. Hasil campuran tersebut kemudian dijadikan lukisan di atas kertas.
Ketika ia mendapatkan pelajaran Teknologi Informasi (TI) di SMA kecakapannya dalam seni rupa dan desain semakin terasah. Saat itu ia berkenalan dengan software untuk membuat desain, Adobe Photoshop. “Awalnya sih malas-malasan belajarnya, tapi semakin sering dicoba malah jadi semakin tertarik. Apalagi saat sudah punya laptop sendiri,” ujar pria yang sering disapa Tyo ini.
Pria lulusan SMAN 5 Pontianak itu kemudian melanjutkan studinya ke UIN Jakarta. Setelah masuk kampus ia tidak lantas meninggalkan dunia desain. Ia malah bergabung dengan komunitas desain di UIN Jakarta, Pandora Squad. Di sini ia menemukan dunia kreatif yang memaksanya untuk terus berkarya.
“Saat baru masuk Pandora Squad saya langsung dipercaya untuk memegang sebuah project yang bekerjasama dengan Pojok Seni Tarbiyah (Postar), semenjak itu saya semakin percaya diri dan ketagihan dengan desain grafis,” tutur Community Manager Pandora Squad tersebut.
Karya mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan ini sudah dipublikasikan di mana-mana. Bahkan, karyanya sudah diakui secara nasional. Salah satunya adalah desain untuk membantu kampanye World Wide Fund for Nature (WWF) yaitu Earth Hours pada tahun 2013. Saat itu, ia membuat sebuah info grafis yang akhirnya dipublikasikan sampai ke seluruh Indonesia. “Bahkan, banyak organisasi lain yang meminta izin untuk mencetak dan mempublikasikan desain itu,” kata pria yang juga menyukai kegiatan Pramuka itu.
Dalam seminggu divisi kreatif komunitas Juventus Club Indonesia (JCI) ini bisa mendapatkan tiga project sekaligus. Dalam satu project ia bisa mengerjakan berbagai macam desain, mulai dari poster, pamflet, hingga kaus. Selain itu, ia juga sering diminta menjadi konsultan untuk membuat coorporate identity pada beberapa perusahaan.
Meski karyanya sudah diakui secara nasional ia tidak pernah mau ikut dalam kompetisi desain manapun. Beberapa kali ia ditawari untuk mengikuti perlombaan dan menolaknya. Bahkan, ia lebih sering menjadi juri ketimbang peserta dalam berbagai kompetisi. Hal ini karena ia tidak suka jika menjadikan seni sebagai kompetisi. “Bagi saya seni itu tidak bisa dinilai dengan angka. Seni itu selalu subjektif, tidak pernah objektif,” jelas pria berdarah Sunda-Jawa itu.
Tyo juga mengatakan, saat menjadi juri ia lebih suka memberi masukan kepada para peserta untuk lebih berkembang dibandingkan dengan mengomentari karyanya yang ditampilkan. Baginya, yang terpenting dalam desain itu adalah konsep dasar bukan hasil dari ekskusinya. Ia juga mengatakan, seseorang akan bisa berkembang bahkan hanya dalam satu malam.
Ke depan Tyo berharap, Indonesia bisa lebih baik lagi dalam mengapresiasi pekerja seni. Ia tidak ingin ada lagi pembajakan terhadap karya seni. “Ya, karya saya juga sering dibajak oleh beberapa oknum tidak bertanggungjawab dan dijadikan lahan bisnis oleh mereka. Saya harap ke depannya tidak ada lagi yang seperti ini,” tutup desainer poster UIN Fashion Fair (UFF) tersebut.
(Erika Hidayanti)
Average Rating