Kanvas Memoar Timor Leste

Read Time:2 Minute, 15 Second
Ratusan kata dan kalimat dari berbagai bahasa terpampang tak beraturan di atas lukisan berukuran 152 x 91 cm. Sagrado, gleno, deus, for the homeland for the nation, itulah sebagian kata maupun kalimat yang menyatu dengan warna-warni cat dan kain tradisional khas Timor Leste. Tak ada maksud lain pelukis menarikan kuasnya di atas kanvas tersebut, selain mengingat kembali gejolak yang pernah terjadi di Timur Leste beberapa tahun silam.   

Lukisan tersebut berjudul Reconciliation yang merupakan hasil karya seorang seniman wanita asal Timor Leste, Maria Madeira. Ia menggunakan minyak, akrilik, pastel, ludah sirih-pinang, batu tanah di tepi sungai, rambut manusia, dan benang timbul ditenun tradisional (tais).

Lebih dari 20 lukisan Maria Madeira merefleksikan gejolak yang terjadi di Timor Leste. Ingatan Maria atas perang saudara yang terjadi di Timor Leste saat daerah tersebut masih bersatu dengan Indonesia dituangkan dalam karyanya.

Di tengah Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, sorot mata pengunjung tertuju pada karya seni instalasi berjudul Tali Pusar. Karya tersebut menyajikan seni rupa kayu yang menggantung dengan tali putih di langit-langit ruang pameran. Sementara percikan-percikan berwarna cokelat kemerahan dengan bahan dasar buah pinang dan arang berada tepat di bawah kayu yang menggantung.

Selain itu, wanita kelahiran Gleno ini memajang karya lainnya yaitu Ina Lou I, II & III (Ibu Pertiwi I, II & III), Laiha Titulu (Untitled), dan Asuntus Kontemporaneus (Masalah Contemporary).

Leonhard Bartolomeus, seorang kurator mengatakan, ia terkesan setelah melihat karya seni Maria Madeira. “Kesan pertama dan menurut saya yang paling kuat adalah kesan tentang ingatan. Kedua adalah kesan feminism, yang dapat dipahami secara jelas melalui tajuk pameran yang dalam bahasa Indonesia secara harfiah dapat diartikan sebagai Ibu Pertiwi,” ujarnya.

Kesan ketiga, lanjut Leonhard, adalah kritik Maria atas kehidupan sosial politik yang ia coba letakkan sebagai penguat perspektif ideologis kekaryaannya. Pada seluruh karyanya, baik lukisan maupun instalasi berdasar pada ketiga persoalan tersebut.

Kita dapat, tambah Leonhard,  menyaksikan bagaimana ingatan-ingatan Maria tersebut diolah sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah karya yang tak hanya bersifat kritis namun juga memiliki nilai puitis di dalamnya. Artinya ingatan-ingatan tersebut tidak disajikan mentah-mentah untuk kemudian mendorong orang menjadi iba dan terenyuh.

Kerinduan Maria pada tanah air Indonesia dapat dilihat pada seluruh karya yang ia tampilkan dalam pameran ini. Maria mencoba untuk menampilkan kembali ingatan-ingatan tentang Timor Leste dalam karyanya melalui penggunaan sumber alam serta motif tradisional timur. Lewat Ina Lou ia berusaha untuk mengajak kita mengingat kembali keberadaan ibu pertiwi yang selama ini telah membesarkan budaya Timor Leste.

Salah satu pengunjung, Pandapotan Lubis mengatakan, ia menyukai lukisan-lukisan Maria Madeira dalam pameran Ina Lou. “Pencampuran warna sangat bagus apalagi pewarnaan lukisan menggunakan bahan dasar tumbuhan dan alam bahkan rambut pelukis sendiri pun digunakan untuk melengkapi lukisannya,” ujarnya (6/8).

JK

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Pesan Pejuang untuk Keberanian
Next post A Jazz Life, Musik Jazz di Tangan Big Band