Rimbun Penuh Makna

Read Time:6 Minute, 53 Second

(Sumber: Internet)
Oleh : Eko Ramdani*

Hujan menyapa mata yang baru saja terbuka di pagi hari. Udara dingin menyelimuti tubuh yang baru saja bergerak dari lamanya berdiam dalam sepinya malam. Hidung menghirup udara sejuk yang dibawa oleh hembusan angin pagi diiringi suara gemercik tanda air jatuh dari atas.
Matahari mulai mengeluarkan cahayanya. Menerangi sebagian bumi yang baru saja dirundung dinginnya angin malam. Cahaya beserta kahangatan mulai menyusup ke sela-sela rimbunnya pepohonan. Mulai menguapkan air yang baru saja dibawa oleh fenomena yang dinamakan hujan. Dan, gemercik air hujan pun mulai meredup tanda lelah dirinya membasahi tanah yang kering setelah kemarau panjang.
Aku melihatnya dari balik jendela kamar yang menghadap jalanan. Ia berdiri ditepi jalan beraspal hitam tanpa adanya sedikit lubang dan gelombang. Jalan yang rapi tidak terlihat sedikit pun genangan, padahal baru saja diguyur air yang jatuh dari awan. Ia menggendong tas sekolah berwarna coklat. Kerudung hijaunya bergerak tanda diterpa angin jalan yang membelenggu dirinya.
“Jam segini sudah mau berangkat?” gumam ku dalam hati.
***
Namanya Hanna. Seorang perempuan yang tinggal di seberang rumah. Matanya bulat dan berbola mata kecoklatan. Sudah sejak kecil aku mengenalnya. Tidak begitu kenal, namun kami saling tau bahwa kami bertetangga.
Dahulu ia gadis kecil denganlesung di pipinya. Lesung manis yang sering tercipta jika digoda. Gadis kecil yang sangat periang tingkahnya. Membuat siapa saja yang melihat pasti gemas dibuatnya.
Hanna suka bermain di bawah rimbun daun dari pohon yang tumbuh di halaman rumahnya. Membariskan boneka, menyusun mainan dengan rapinya, hingga bersantai dengan ibu dan bapaknya ia lakukan di sana. Mereka adalah sebuah keluarga kecil yang bahagia.
Kiniku masih mengenal Hanna. Tapi bukan Hanna yang dahulu. Bukan Hanna yang sering bermain boneka di bawah rindangnya pohon halaman rumah. Bukan juga Hanna yang sering digoda ibu-ibu tetangga. Namun, kini ku mengenal Hanna yang berbeda.
***
Pagi itu pun aku bersiap menuju sekolah. Memulai kegiatan seperti biasa. Menempuh sebuah jalan yang diharapkan dapat membawa ke dalam lubang yang bersinar terang di masa yang akan datang.Aku mengeluarkan sepeda dari dalam rumah dan mengayuhnya hingga menuju gerbang sekolah.
Jarak sekolah dan rumah tidak terlalu jauh, hanya berbeda blok saja. “Dibilang jauh enggak, dibilang deket juga enggak,”mungkin itu ungkapan yang tepat untuk menggambarkan lokasi sekolah dan rumah.
Aku kembali melihat Hanna turun dari angkutan yang ia tumpangi.Aku melihatnya di depan gerbang menuju sekolah. Kerudung hijaunya kembali diterpa angin jalan. Bergelombang dan semakin menambah kecantikan.Senang rasanya jika melihatnya tersenyum.
Aku sering menyapanya. Memanggil namanya atau sering ku panggil “tetangga depan rumah. Saat kecil ia menjawab sapaku dengan kata “apa.” Jawaban dengan nada anak kecil yang menggemaskan. Beranjak sedikit remaja ku sapanya kembali. Namun agak sedikit berbeda. “apa sih,” jawabnya jika ku sapa. Dan, kini waktu yang membawa kami dalam keadaan sekarang.
Keadaan yang dilewati dengan sebuah proses. Proses yang dilakukan secara terus menerus dan rutin waktunya. Pendidikan namannya. Ia lah yang merubah kami menjadi seorang individu yang lebih dewasa. Mejadikan kami individu yang mengerti bahwa anak kecil dan menuju dewasa adalah sebuah hal yang berbeda. Dan, kini ia hanya tersenyum dengan lesung di pipinya yang ia beri saat ku sapa.
***
Siang hari di jam istirahat aku melihatnya. Melihat kebiasaan yang dahulu sering ia lakukan di halaman rumahnya. Yang berbeda adalah kegiatan yang dilakukannya. Aku heran, mengapa ia sangat suka di tempat seperti itu. Aku juga heran mengapa di sekolah ini ada benda yang tumbuh sama persis dengan yang ada di halaman rumahnya.
Ya, di sekolah Hanna sangat suka bersantai di bawah pohon. Di bawah pohon yang hidup di tepian lapangan tempat siswa melakukan kegiatan olahraga. Di bawah pohon yang disediakan bangku taman untuk siswa yang ingin bersantai seperti Hanna. Di tempat yang sebenarnya sangat jarang siswa untuk menempatinya.
Yang menjadikan ku semakin heran, mengapa ia sangat suka dan setiap hari tanpa absen berada di tempat itu. Di saat jam kosong tidak ada guru atau bahkan saat istirahat ia selalu di sana. Di saat siswa yang lain sedang asik membelanjakan uangnya kepada penjual yang ada di kantin. Hanna hanya bersantai sambil di temani sebuah buku dan es teh manis yang di minumnya jarang-jarang.
“Apa yang membuatnya nyaman di tempat itu?” gumam ku penasaran
Aku penasaran. Sering ke memperhatikannya. Bingung sekaligus kagum atas keindahan yang telah dititipkan tuhan kepada dirinya. Bingung mengapa ia sangat suka di sana? Apakah ia tidak mempunyai teman? Tetapi di dalam kelas ia sangat akrab dengan semua temannya.
“Lalu apa yang membuatnya senang di sana?” ucapku dalm hati yang semikin penasaran.
Selama dua minggu selalu lebih ku perhatikan dirinya. Setiap waktu aku sempatkan selalu ada untuk melihatnya dalam diam. Semakin lama semakin penasaran diri ini melihatnya. Cerah dan bahagia tergambar dari wajahnya. Mengapa ia bisa seperti itu?
Aku mengenalnya sejak kecil. Namun, kini kami dibelenggu rasa canggung untuk saling dekat dan bertegur sapa atau bahkan untuk ngobrolsantai biasa. Entah mengapa semua itu kini tercipta. Mungkin karena sebuah proses pendewasaan dan mulai saling mengeti perasaan yang membuat kami berdua seperti ini.
Bingug aku melihatnya. Ingin rasanya diri ini mendekat dan menanyakan alasan ia tetap bahagia di bawah teduhnya pohon di tepi lapangan itu. Sering ku memikirkan alasannya. Namun, semua terbentur kenyataan bahwa ia adalah perempuan normal yang memiliki mimik wajah ceria. Tetapi, tetap diri ingin sangat ingin menanyakannya.
***
Di sebuah siang di hari senin ku kembali melihatnya di bawah pohon di waktu istirahat. Semakin rasa ini penasaran alasan ia tetap dan selalu bahagia di bawahnya. “Akan ku tanyakan,” tekat ku dalam hati.
Ku coba mendekat dari arah depannya. Tidak sadar sepertinya Hanna atas kehadiran diri ku. Aku terus coba mendekat, mencoba menyapa dengan santai dan seperti teman pada umumnya. Mencoba kembali akrab seperti saat kecil dahulu.
“Hai Hann..” tegur ku padanya yang sedang menunduk membaca buku.
“Hai Dan..” tanggapnya sambil menoleh ke arah ku.
Gugup dan tidak enak muncul dalam hati ini. Gugup karena memang terasa kaku diri ini menyapa Hanna. Tidak enak karena memang kami sudah lama tidak bertegur sapa dan ngobrol berdua.
“Ku perhatikan, kenapa kamu suka di sini?” pertanyaan initi langsung ku ungkapkan.
           
Ia tersenyum. Senyum itu, senyum yang sejak kecil tetap sama manisnya. Lesung yang tidak beribah. Mata bundar berbola mata kecoklatan. Dan, kerudung hijau, warna kesukaan ku yang entah mengapa ia juga sangat suka memakainya.
“Entahlah, aku senang saja di bawah pohon,” ungkapnya sambil tersenyum melihat ke arah atas rindangnya dedaunan.
“Itu saja?” tanya ku mencoba kembali akrab seperti dulu.
“Ya sambil mengingat masa lalu, masa yang sangt indah bagi manusia. Masa di mana seorang manusia tercipta hanya diperintahkan untuk memikirkan apa yang sedang ia senang lakukan. Masa di mana kita dapat berlari bebas di bawah batasan dari orang yang telah melahirkan kita.”
Ia melanjutkan jawaban atas pertanyaan dari orang yang sudah lama ia tidak saling cerita panjang. “aku senang, karena pohon adalah sember dari kehidupan. Sumber di mana makhluk hidup menggantungkan sebuah harapan untuk melanjutkan kehidupan. Pohon bisa memberikan tempat tinggal bagi makhluk di bumi, bukan hanya manusia, tetapi juga banyak hewan dan serangga yang menajdikan pohon sebagai tiang yang menopang kehidupan.”
Hanna berdiri, ternyata ia tidak berubah, ia adalah Hanna yang dulu. Hanna yang selalu riang dan mudah akrab kepada orang lain. “aku masih ingat di mana aku sering bermain boneka di bawah pohon di halaman rumah. Aku juga masih ingin kau sering ikut bermain di bawahnya. Dan, aku juga akan selalu ingat orangtua ku menghancurkan benda kehidupan itu.”
Hanna kembali duduk dengan senyum penuh makna di masa lalu. “aku menangis saat aku melihat itu. Aku menangisi payung kesayangan ku. Payung yang telah tuhan ciptakan untuk masa kecil ku yang pernah bahagia. Sejak itu aku kadang terus sedih melihat bekas akar yang terangkat keluar dari dalam tanah.”
Lanjut Hanna sambil duduk memegang novel yang ia baca. “Namun, aku senang dan bahagia karena aku dimasukan kesekolah yang ternyata memiliki tempat yang sangat nyaman bagi ku. Setiap hari aku selalu menyempatkan berangkat lebih awal. Aku ingin menyempatkan memulai hari dengan udara sejuk yang dikelurkan dari sela-sela dedaunan.”
“Jadi itu jawabannya,” gumam senang ku dalam hati.
Bell sekolah berbunyi tanda jam pelajaran kembali siap dimulai.
Kami berpisah. Berpisah di tempat yang sama seperti dahulu kami mempunyai sebuah kenangan masa kecil. Kini aku mengetahui mengapa pohon sangat berharga baginya. Karena sumber dari semua kehidupan adalah pohon asalnya.
*Penulis adalah mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
100 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Realita Sosial Masyarakat Desa dalam Emprak
Next post Pemerintah Lamban Usut Kasus Aktivis HAM