Indonesia kaya akan adat dan budaya, tak terkecuali di Denpasar, Bali. Berbagai konflik pun tak jarang terjadi di negeri merah putih ini. Mulai dari konflik adat, budaya, hingga agama, misalnya pembongkaran paksa rumah ibadah Katolik di Aceh Singkil atau penyerangan umat Islam di Tolikara Papua. Uniknya, ini tak terjadi di Dusun Tuka.
Read Time:2 Minute, 27 Second
Dusun yang berada di Desa Dalung, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali ini berpenduduk 800 kepala keluarga yang mayoritas beragama Kristen. Meski begitu, mereka tetap menjaga adat Bali. Terlihat dari gerbang menuju Gereja Tritunggal Makudus Tuka memiliki gapura yang ikut berdiri kokoh di sisi kanan dan kiri gereja. Ukiran-ukiran Bali pun turut menghiasi dinding gereja, menambah kekentalan budaya Bali yang mendominasi seluruh ornamen arsitektur gereja yang dibangun sejak 1937 ini.
“Orang Bali bisa menjadi Kristen tanpa harus meninggalkan budaya Bali,” terang salah satu tokoh agama, I Made Hirawan. Meski begitu, sambung ayah empat anak ini, tidak semua budaya Bali tetap dianut dalam setiap ritual kegamaan Katolik.
Salah satu kebudayaan Bali yang masih dipakai umat Katolik di Tuka, yakni pemasangan Penjor. Dalam kepercayaan Hindu, Penjor digunakan sebagai salah satu kelengkapan dalam upacara agama dan adat-istiadat. Sama seperti arti penjor pada umumnya, atau yang diyakini orang Bali sebagai dua pemaknaan yang masuk ke tanah dan melengkung ke atas.
Hirawan melanjutkan, penjor yang masuk ke tanah bermakna tiap keburukan harus disimpan, sedangkan penjor yang melengkung ke atas berarti semakin kita memiliki jabatan tinggi, maka semestinya manusia harus lebih rendah hati. “Penjor yang kita (umat Katolik) pahami pun layaknya yang umat Hindu pahami,” jelas Hirawan lagi.
Berbeda dengan agama Hindu, umat Katolik di Tuka memasang penjor saat Paskah dan Natal. Hiasan penjor di sepanjang jalan pedesaan yang berjarak sekitar 15 km barat laut Kota Denpasar mirip dengan suasana saat umat Hindu merayakan Hari Raya Galungan, yakni hari kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (keburukan). Hiasan penjor di sepanjang jalan serta sejumlah gereja dihias bernuansa khas Bali seperti menggunakan payung (tedung agung) dalam aneka warna menambah kesemarakan perayaan Natal.
Menurutnya toleransi agama Hindu dan Katolik di Tuka terjalin baik, meski masyarakatnya berbeda keyakinan. Hal senada turut dilontarkan I Wayan Dana, Bendesa Adat Desa Dalung yang beragama Hindu.
“Saat Pengerupukan kami tetap bersatu membuat Ogoh-Ogoh. Tidak hanya orang tua saja, namun muda-mudi ikut membantu. Kalau kita bisa bersatu, tidak mungkin kita akan kecolongan,” terang I Wayan Dana kepada kami dalam bahasa Bali.
Toleransi beragama di Desa Tuka juga ditunjukkan dengan tradisi Ngejot atau berbagi makanan di hari perayaan tertentu kepada masyarakat sekitar. Meski tidak diharuskan, Hirawan menjelaskan Ngejot menjadi tradisi yang terus ada untuk menjalin silahturahmi antara masyarakat di Tuka.
Ditanya soal kunci menjaga toleransi beragama di Tuka, masih menggunakan bahasa Bali, I Wayan Dana mengungkapkan dasar pemikiran Tat Twam Asi menjadi salah satu penunjangnya. “Dasar pemikiran kami adalah Tat Twam Asi, yakni aku adalah kamu, kamu adalah aku. Melalui pemikiran ini, tidak ada lagi dasar pemikiran jahat di dalamnya,” jelas Dana mengakhiri obrolan kami siang tadi.
Arini Nurfadhilah
Average Rating