Hidup yang Tak Diinginkan

Read Time:3 Minute, 19 Second

Kehilangan seseorang yang berarti merupakan bagian terberat dalam hidup. Tak ubahnya kehilangan Bima, kesedihan yang melanda hanya sekadar momental.

Batu nisan tampak berjajar di sepanjang jalan menuju pangung. Dedaunan kering yang berserakan menambah kesan mencekam suasana makam. Di tengah remangnya pencahayaan, dua sosok pemuda sedang menari mengikuti irama jaran goyang. Suara musik itu terus menerus diputar mengisi keheningan.

Dua pemuda itu terus berjoget hingga seperempat jam lamanya. Kemudian tiga kali pukulan gong menggema. Iring-iringan yang membawa peti mati disertai isak tangis masuk ke latar panggung. Penjaga kubur yang melihat iringan lantas mematikan musik dan turut serta membantu menurunkan peti jenazah.

Bima, nama orang yang di dalam peti jenazah tersebut. Saat suara isak tangis masih bersautan, seorang wanita tua yang mengenakan tapih dan kebaya merah maju ke depan. Wanita itu menganggap Bima sebagai orang yang baik. Nenek Bima menyalahkan tuhan atas kematian cucunya. Nenek Bima terus membicarakan hidup sang cucu sampai mulutnya terkatup.

Kemudian seorang lelaki setengah baya pun membenarkan nenek itu. Sosok itu adalah ayah kandung Bima. Sama halnya dengan si nenek,  ia terus membanggakan Bima yang semasa hidupnya membantu khalayak. Tak hanya itu, iringan jenazah juga membawa tiang yang berisi puluhan piagam prestasi Bima. Ayah Bima pun menyuruh dua orang hansip menancapkan tiang itu di sisi peti agar jasa Bima dikenang.

Tak lama kemudian, masih dengan isakan tangis, muncul lagi rombongan Istri dan anak-anak Bima seraya membawa bunga. Di depan peti Bima, sang istri berbicara seakan Bima masih hidup yang hendak bepergian. Istri Bima bahkan meminta buah tangan dan berpesan agar Bima cepat kembali ke rumah.

Kemudian anak perempuan Bima menyadarkan ibunya kalau Bima sudah mati, namun istri Bima masih menolak kenyataan jika suaminya telah tiada. Tak berselang lama, sang istri pun terjatuh di depan peti. Ia berteriak histeris kemudian menangis sejadi-jadinya meminta Bima untuk tidak pergi meninggalkan keluarganya.

Berbeda dengan sang ibu, anak mereka ingin membacakan sajak untuk Bima sebelum ia dikebumikan. Namun, anaknya meminta pembacaan sajak itu dilakukan dengan keadaan peti jenazah yang terbuka. Sontak permintaan itu menuai penolakan dari keluarga maupun sanak yang hadir.

Setelah melalui perdebatan sengit, akhirnya permintaan itu dikabulkan. Peti itu dibuka atas persetujuan sang nenek. Ketiga anak Bima pun mulai membacakan sajaknya. Si bungsu pun membacakan sajak sedangkan dua anak lainnya menangis di depan peti jenazah Bima.

Di tengah pembacaan sajak, tiba-tiba Bima bangkit dari peti jenazahnya. Seketika Bima mengusap kepala anak-anaknya, ia meminta anaknya agar berhenti menangis. Kejadian tak terduga itu membuat keadaan kacau, ada yang menjerit, menangis, bahkan pingsan. Karena keadaan yang begitu semrawut, keluarga Bima menyuruh hansip untuk segera menutup kembali peti Bima.

Perlawanan dari Bima pun muncul. Suara gaduh dalam peti terdengar sangat jelas. Keluarga Bima yang menganggapnya sudah mati malah gusar. Istri Bima pun memberontak, ia menolak Bima hidup kembali. Anak-anaknya berkata bahwa jasad Bima telah dirasuki setan. Di saat bersamaan, seorang laki-laki yang mencintai istri Bima yaitu Koko meyakinkan kalau Bima seharusnya sudah mati. Koko meyakinkan Bima kalau ia akan menjaga istrinya.

Tak ada yang menerima kehidupan Bima kembali. Seluruh orang yang hadir baik keluarga, sanak hingga aparat keamanan dibuat bingung karenanya. Lalu, nenek Bima pun menyuruhnya untuk mati. Tindakan berbeda dilakukan dua orang penjaga kubur. Mereka bersusah payah untuk meyakinkan Bima agar jangan mati. Namun, apa boleh buat, rasa putus asa telah memuncak. Pada kenyataan, keluarga Bima tidak ada yang bisa menerima kehidupannya. Akhirnya Bima pun memilih untuk mati kembali.

Lakon GERR karya Putu Wijaya ini bercerita tentang kisah sebuah keluarga yang penuh dengan keikhlasan, keadilan, rela berkorban, mencintai, dan menyayangi, namun perasaan itu hanyalah kebohongan belaka. Pertunjukan ini diadakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Teater Syahid pada 5-8 April 2018. Lakon yang disutradarai oleh Aseng Komaruddin ini diadakan di Aula Madya Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Menurut salah satu satu penonton Nurul Afifah Ridwan, lakon GERR memberikan kesan yang tak biasa. Berlatar belakang pemakaman, membuat dirinya takut. Namun rasa itu tak menghentikan niatnya untuk terus menonton. “Pertunjukannya keren dan berkesan,” ungkapnya, Jumat (13/4). 

Ayu Naina Fatikha

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post UIN Jakarta Tuan Rumah Muskerwil II ISMKMI
Next post Jalawastu, Tanah Suci Penuh Tradisi