Read Time:3 Minute, 7 Second
Wacana perubahan sistem pemilihan Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) dan Senat Mahasiswa (SEMA) dari sistem Pemira menjadi sistem perwakilan kontradiktif. Sistem perwakilan yang diatur dalam SK Dirjen No.4961 tahun 2016 dianggap menciderai demokrasi.
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta setiap tahun sudah melakukan sistem Pemilihan Umum Raya (Pemira). Pemira tersebut, menggerakan seluruh mahasiswa dalam memilih ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) dan Senat Mahasiswa (SEMA). Namun sebaliknya, dangan adanya pemira ini akan memicu kepada konflik, menyebabkan kerusuhan, dan merusak fasilitas. Sehingga, UIN Jakarta pun telah memutuskan untuk mengikuti Surat Keputusan (SK) Direktur Jendral Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia.
Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Pendidikan Islam No. 4961 Tahun 2016 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). SK tersebut memuat aturan baru sistem pemilihan Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) dan Senat Mahasiswa (SEMA).
Dalam SK Dirjen Pendis bertuliskan bahwa sistem pemilihan organisasi mahasiswa yaitu DEMA dan SEMA di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) menggunakan sistem perwakilan. tak lain, melibatkan perwakilan dari Jurusan/Program studi “Untuk Ketua DEMA” dan anggota SEMA “Untuk Ketua SEMA”.
Sistem Perwakilan dianggap telah menciderai demokrasi kampus karena tidak melibatkan mahasiswa didalamnya. Lalu apa sebenarnya sistem perwakilan itu? Bagaimana prosedur sistem perwakilan? berikut ini hasil wawancara reporter Institut Rizki Dewi Ayu dengan Bagian Kemahasiswaan Pendidikan Islam di Kementerian Agama Ruchman Basori, pada Senin (11/3).
1. Apa sebab UIN Jakarta berwacana menerapkan sistem perwakilan ?
Berdasarkan hasil data sistem Pemilihan Umum Raya (Pemira) di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Pemira tersebut tidak bisa menggerakan mahasiswa dalam meningkatkan keterwakilannya. Karena, jumlah pemilih hanya di bawah 50 persen sampai 10 persen total mahasiswa. Sama halnya dengan UIN Jakarta, jumlah pemilih dalam Pemira kurang dari 5 ribu mahasiswa dari total 29.604 orang.
Selain itu, dibeberapa tempat sering terjadi kericuhan saat Pemira berlangsung, sampai merusak fasilitas, konflik fisik bahkan mosi saling tidak percaya. Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) pun terjebak dalam rutinitas kericuhan penyelenggaraan, sehingga menimbulkan sebuah persaingan yang kontradiksi.
Oleh sebab itu, mahasiswa seharusnya menjadi sosok intelektual dan penggerak masyarakat di bidang sosial. Sehingga, pihak Kementerian Agama (Kemenag) bisa antusias mengembalikan sebuah peran mahasiswa sebagai civitas academica dan bukan mahasiswa yang berorientasi politik.
2. Lalu, apa kekurangan dan kelebihan sistem perwakilan?
Dengan sistem perwakilan yang dimuat dalam SK Dirjen No.4961 tahun 2016, konflik bisa dikurangi dari sebuah kelompok massa. Atas realitas itu, maka sistem perwakilan menjadi kebutuhan yang utama.
Sistem perwakilan sudah memenuhi tuntutan demokrasi pancasila seperti yang tertulis di sila ke-empat pancasila, “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Walaupun, masih banyak mahasiswa yang belum mau menggunakan sistem perwakilan dikarenakan mencederai demokrasi.
3. Bagaimana sistem perwakilan yang telah berjalan di PTKIN?
Sejauh ini relatif lancar, sudah ada 36 Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) yang telah menggunakan sistem perwakilan. Walau begitu, masih ada juga yang sistemnya berubah kembali menjadi sistem Pemira, seperti halnya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Samarinda.
Meskipun ada yang berubah dalam sistem ini, maka kampus IAIN Samarinda akan tetap berkomitmen dalam pemilihan Dema dan Sema. Akan tetapi, IAIN akan mendapatkan konsekuensi dari Kemenag. Sehingga IAIN tidak akan mendapatkan bantuan dari lembaga kemahasiswaan. Hal ini pun adalah bentuk sanksi dari Kemenag.
4. Harapan penerapan sistem perwakilan?
Hasil konsensus antar kampus, maka harus diikuti regulasinya. apabila ada kekurangan mengenai sistem perwakilan, silakan sampaikan ke Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan atau ke Kemenag. Nantinya akan didengarkan dan dievaluasi.
Selain itu, untuk mahasiswa harus menjadi aktivis yang memikirkan persoalan bangsa yang substansial. Tidak perlu memikirkan hal yang kurang efektif dalam konteks pergerakan mahasiswa, “Cara bagaimana sistem Pemira itu tidak penting”. Yang terpenting adalah tujuannya.
Dengan adanya sistem perwakilan, diharapkan agar mahasiswa lebih professional, cerdas intelektual, dan mempunyai kepekaan nurani. Sehingga nanti akan mnjadi tokoh penting dalam masyarakat.
Rizki Dewi Ayu
Average Rating