Read Time:2 Minute, 38 Second
Sebagai sistem demokrasi mahasiswa, UIN Jakarta menerapkan Pemilihan Umum Raya (Pemira). Namun pada 2016 silam, Dirjen Pendis telah merilis SK No.4961 tentang sistem perwakilan.
Pada 2016 silam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) mengeluarkan SK nomor 4961 Tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam yang berlaku untuk semua Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) di Indonesia. SK tersebut berisi tentang pemilihan dengan sistem perwakilan, tanpa melibatkan seluruh mahasiswa.
Jika dulu para calon dipilih langsung oleh semua mahasiswa, namun dalam sistem perwakilan ini, pemilihan ketua SEMA dipilih dari dan oleh anggota SEMA berdasarkan musyawarah mufakat dan pengurus SEMA ditetapkan oleh Rektor/Ketua/Dekan. Sedangkan untuk pemilihan DEMA dipilih dari setiap perwakilan masing-masing jurusan HMJ dan Prodi HM-PS.
Salah satu contoh kampus yang sudah menerapkan sistem perwakilan ialah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Zawiyah Cot Kala Langsa, Aceh. Mereka sudah menerapkan sistem perwakilan sejak dua tahun lalu, akan tetapi banyak yang tidak setuju dengan diterapkannya sistem perwakilan, seperti yang diungkapkan salah satu mahasiswa Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) Fitri Yana, “Sistem perwakilan tidak efisien, karena hanya ketua HMJ saja yang memiliki hak suara, mahasiswa yang lain tidak memiliki hak suara,” ujarnya via telepon, Sabtu (9/3).
Di UIN sendiri, dalam pemilihan Senat Mahasiswa (SEMA) dan Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) masih menggunakan sistem Pemilihan Umum Raya (Pemira). Hal ini tentu saja bersinggungan dengan SK yang dikeluarkan oleh Dirjen Pendis nomor 4961 tersebut.
Mengenai hal ini, Ketua DEMA UIN Jakarta Ahmad Nabil Bintang memberikan pernyataan terkait kampus yang belum menggunakan sistem perwakilan, “Masih banyak mahasiswa yang menolak untuk melaksanakan sistem perwakilan,” tuturnya, Selasa (5/3). Nabil menegaskan bahwa adanya perwakilan itu merupakan sebuah kemunduran sistem demokrasi di kampus dalam berorganisasi.
Sama halnya dengan Nabil, Ahmad Murhadi selaku Ketua SEMA UIN Jakarta memberikan pernyataan yang sama bahwa Ia lebih setuju dengan sistem Pemira dibandingkan sistem perwakilan. “Saya pribadi lebih setuju sistem PEMIRA, karena PEMIRA merupakan pembelajaran politik bagi mahasiswa yang menjadikan UIN ini sebagai miniatur negara,” ungkapnya, Rabu (9/3).
Sementara itu Kasi Kemahasiswaan Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, Ruchman Basori menjelaskan latar belakang dikeluarkannya SK terkait sistem perwakilan dengan beberapa alasan, pertama tentang status mahasiswa yang lebih kental nuansa politiknnya dibandingkan sosok intelektualnya. Kedua, teknis yang tidak menjamin bisa melibatkan semua mahasiswa dalam Pemira.
Tak hanya itu saja, alasan lain dengan adanya sistem seperti ini diharapkan lebih profesional, lebih melayani, menjadi aspirasi bagi mahasiswa, dan waktu mereka tidak dihabiskan oleh hal yang menyebabkan konflik. “Kenapa harus berubah? Supaya konsen mahasiswa tidak menjadi orientasi politik, tapi menjadi masyarakat intelektual dan masyarakat penggerak sosial,” ujarnya, Senin (11/3).
Berbeda hal dengan Warek 3 bidang kemahasiswaan, Masri Mansoer memberikan pernyataannya bahwa demokrasi yang sebenarnya adalah sistem perwakilan, “Dalam Pancasila sila ke-4 sudah mencerminkan demokrasi dengan sistem perwakilan,” tuturnya, Jumat (8/3). Masri mengatakan dengan adanya sistem perwakilan bisa mengurangi perkumpulan mahasiswa yang menyebabkan sebuah konflik antar mahasiswa.
Ruchman menambahkan, adanya perubahan sistem ini adalah soal komitmen, Pendis sendiri tidak memberikan sanksi yang spesifik bagi PTKIN yang tak menerapkan sistem perwakilan tersebut. Namun Ruchman menegaskan bahwa PTKIN yang menerapkan sistem tersebut akan mendapat nilai tambah, “Bagi yang tidak patuh jangan harap mendapatkan perlakuan sama dengan PTKIN yang patuh,” tutupnya.
Herlin Agustini
Average Rating