Indonesia merupakan negara yang memproduksi kelapa sawit terbesar di dunia. Sebanyak 80 persen produksi kelapa sawit dunia berasal dari Indonesia. Bahkan kelapa sawit menjadi penyumbang devisa ekspor tertinggi bagi Indonesia.
Bak menjadi raja kelapa sawit dunia, nyatanya saat ini suplai minyak goreng—produk kelapa sawit—di Indonesia berkurang. Akibatnya, harga minyak goreng per liter kian meroket. Mulanya 14–15 ribu rupiah, kemudian naik menjadi 23–25 ribu rupiah. Mengapa demikian?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Institut berhasil mewawancarai Pakar Ekonomi Universitas Airlangga Rossanto Dwi Handoyo pada Senin (7/3) lalu, dengan topik kelangkaan minyak goreng di Indonesia yang memicu kenaikan harga. Kepada Institut, Rossanto memberikan tanggapannya, hingga alasan kelangkaan minyak di Indonesia.
Bagaimana tanggapan Anda mengenai kenaikan harga minyak goreng yang terjadi saat ini?
Sebenarnya kenaikan ini sudah berawal sejak Oktober atau November tahun lalu. Namun puncaknya memang lumayan besar pada tahun ini. Melihat dari akar masalahnya, memang secara struktural di dalam struktur pasar produk minyak nabati internasional sudah ada kecenderungan gap antara suplai dan permintaan.
Dari sisi suplainya, kita tahu bahwa sejak pandemi, produksi barang banyak yang mengalami penurunan, tak terkecuali produk minyak nabati. Hal ini mengakibatkan barang subsitusi dari minyak kelapa sawit juga mengalami penurunan.
Terbukti dari suplai dunia terhadap minyak nabati mengalami penurunan sekitar 3,5 persen di tahun 2021, jika dibandingkan dengan tahun 2020. Dari sisi permintaan, ada kenaikan permintaan minyak nabati internasional. Produksi yang turun, serta permintaan yang naik, mengakibatkan harga minyak nabati, termasuk minyak kelapa sawit ini mengalami kenaikan.
Jika dilihat dari sumber daya alam kelapa sawit yang melimpah di Indonesia, mengapa kelangkaan dan kenaikan harga pada minyak bisa terjadi?
Indonesia salah satu negara eksportir terbesar nomor satu dunia. Jika ditambah dengan Malaysia, itu sudah hampir 70–80 persen crude palm oil (CPO) dikuasai oleh dua negara ini. Namun produksi minyak kelapa sawit di Indonesia sendiri sudah mengalami penurunan sejak adanya pandemi. Lainnya juga disebabkan oleh penurunan produktivitas lahan kelapa sawit, serta cuaca yang kurang mendukung. Hal tersebutlah yang menyebabkan produksi domestik juga mengalami penurunan, yaitu sekitar tiga persen dibandingkan dengan tahun 2020.
Ada berita yang mengabarkan bahwa minyak kini dijadikan untuk bahan bakar biofuel. Apakah hal ini menjadi salah satu pemicu kelangkaan?
Di sisi lain, pemerintah memang sudah memberlakukan B30 kepada seluruh produsen CPO. B30 artinya, biofuel atau biodiesel, dan berbahan baku minyak kelapa sawit sejumlah 30 persen. Sehingga produksi yang digunakan untuk konsumsi masyarakat otomatis berkurang, suplai kepada distributor pun semakin menurun, yang akhirnya berakibat pada harga minyak nabati dunia yang mengalami kenaikan.
Apakah ada faktor lain yang menyebabkan kenaikan harga dan kelangkaan tersebut?
Faktor lainnya adalah produsen yang lebih suka menjual produk minyak nabati atau kelapa sawit ke luar negeri, karena harga jual yang lebih tinggi. Akibatnya, suplai minyak di dalam negeri berkurang. Hal ini menyebabkan permintaan domestik meningkat sekitar enam persen.
Ada pula kendala dari sisi logistik. Pengiriman barang dari satu pulau ke pulau lain membuat biaya logistik naik, sehingga harga jualnya pun akan naik. Inilah yang mendorong harga minyak dunia dan minyak domestik mengalami kenaikan.
Apakah kelangkaan minyak yang terjadi saat ini dapat memicu kenaikan harga pada sumber pangan lainnya?
Tentu saja karena harga minyak goreng mengalami kenaikan, maka akan mendorong kenaikan harga komoditas lain yang merupakan bahan pokok utama. Pemerintah kemudian berantisipasi dengan memberlakukan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO).
DMO berarti kewajiban produsen domestik harus memenuhi permintaan domestik, atau menjual barang di dalam negeri daripada di luar negeri sebesar 20 persen dari hasil produksi. Kemudian DPO, yaitu kewajiban menjual minyak goreng dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah, atau menetapkan harga yang rendah dibanding dengan harga yang selama ini berlaku.
Dari beberapa artikel, diketahui beberapa perusahaan justru menimbun pasokan minyak goreng. Bagaimana tanggapan Anda mengenai hal ini?
Sebenarnya pemerintah sudah menyediakan suplai minyak goreng domestik sebesar 351 juta liter, atau subsidi setara dengan 3,6 triliun sebulan. Padahal rata-rata konsumsi minyak goreng sebulan untuk nasional hanya sekitar 279–300 juta liter, sehingga seharusnya sudah mencukupi. Dikhawatirkan memang distributor minyak goreng dari kabupaten atau kota itu melakukan penimbunan.
Beberapa kasus kemarin terungkap. Namun hal ini bisa terlacak, karena pemerintah sudah memetakan dari hulu ke hilir: produsen sebagai hulu dan konsumen sebagai hilir. Distributor utamanya bisa dipantau oleh pemerintah. Dari mulai bagaimana mekanismenya, penyalurannya seperti apa, dari distributor yang besar hingga distributor yang kecil, sampai kepada masyarakat. Jika memang mereka ketahuan menimbun, hingga mengakibatkan distributor di bawahnya tidak mendapat suplai, ini bisa dikenakan pasal pidana dengan ancaman 5 tahun penjara sesuai dengan Undang-Undang (UU) Perdagangan Pasal 107 Nomor 7 Tahun 2014.
Tak hanya distributor besar, namun penimbunan ini juga terjadi di masyarakatnya sendiri. Pola pikir masyarakat yang berpikir minyak goreng masih langka, membuat mereka mengalami panic buying—menimbun secara masif. Mereka akan terus mencari minyak goreng, walaupun sebenarnya kebutuhan dapur mereka sudah terpenuhi.
Bagaimanakah seharusnya solusi dari permasalahan ini?
Menurut saya, pemerintah sudah benar dengan mewajibkan DMO dan DPO. Namun ternyata belum cukup. Solusi lain yang pertama, pemerintah perlu memberlakukan kebijakan pajak ekspor yang lebih tinggi. Artinya, setiap minyak goreng yang diekspor harus dikenakan bea ekspor. Nantinya diharapkan pemerintah mendapat penerimaan dari ekspor minyak goreng, yang dapat digunakan untuk subsidi minyak goreng domestik.
Kedua, sebaiknya kebijakan B30 bisa dihilangkan, karena saat ini minyak goreng lebih dibutuhkan. Artinya, kebijakan ini bisa diatur menjadi lebih elastis. Misalnya biofuel atau biodiesel sebesar 10 atau 5 persen saja cukup jika dalam kondisi jangka pendek ini. Sehingga 20 persen minyak yang dipasok untuk kepentingan biofuel itu bisa di pasarkan di dalam negeri.
Ketiga, pemerintah perlu memberikan edukasi kepada masyarakat, serta melakukan operasi pasar. Hal ini bertujuan untuk menunjukkan, bahwa Indonesia sebagai pemasok kelapa sawit terbesar dunia, memiliki minyak yang cukup.
Dari segi ekonomi sendiri, adakah prediksi-prediksi yang muncul mengenai kapan harga akan kembali normal? Jika ada, dari mana prediksi tersebut? Bagaimana isinya?
Peristiwa kelangkaan minyak bersifat temporer dan naik-turun. Bila hendak memberi keseimbangan pada harga minyak goreng dalam tempo waktu panjang perlu kurangi gap dan penimbunan, panic buying, serta menaikkan harga. Dengan begitu suplai domestik bertambah dan permintaan menurun.
Memang mekanisme harga akan menentukan keseimbangan baru. Menurut saya, jika memang dalam jangka panjang secara struktur pasar minyak nabati ini sudah ada perubahan, mungkin kita perlu mengikuti. Daripada kita memaksakan seperti ini terus-menerus, harga di luar negeri sudah 22–25 ribu rupiah, sementara di dalam negeri masih 14 ribu rupiah.
Reporter: Sekar Rahmadiana Ihsan
Editor: Syifa Nur Layla
Average Rating