Massa aksi tolak revisi UU Pilkada yang bertentangan dengan putusan MK. Demonstrasi di depan Gedung DPR diwarnai orasi dan tindakan represif aparat.
Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan Nomor 60/PUU-XXI/2024 dan putusan Nomor 70/PPU-XXII/2024 berkaitan dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Selasa (20/4). Putusan pertama mengatur tentang ambang batas pencalonan kepala daerah, sementara putusan lainnya berisi aturan tentang penghitungan atas usia pencalonan kepala daerah.
Akan tetapi, sehari setelahnya, Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tiba-tiba merencanakan revisi Undang-Undang Pilkada, Rabu (21/8). Dalam sidang itu, DPR ingin merevisi kembali persyaratan calon kepala daerah yang bertolak belakang dengan keputusan MK. Hal itu menuai respons negatif dari masyarakat hingga memunculkan gambar “Peringatan Darurat” dan tagar #KawalPutusanMK di media sosial secara masif.
Atas panggilan dari tagar tersebut, ribuan massa aksi memadati depan Gedung DPR, Jakarta Pusat, Kamis (22/8). Secara umum, aksi protes muncul sebagai bentuk penolakan terhadap upaya DPR menganulir putusan MK Nomor 60/PUU-XXI/2024 dan putusan Nomor 70/PPU-XXII/2024.
Tuntutan dalam Aksi
Dalam siaran pers tertanggal 21 Agustus 2024, Constitutional and Administrative Law Society (CALS) menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo dan Koalisi Indonesia Maju (KIM) menghalalkan segala cara untuk mempertajam kekuasaannya pada Pilkada 2024. Upaya ini telah mengabaikan dua putusan MK terbaru terkait ambang batas partai politik dalam mengusung calon kepala daerah dan penghitungan syarat usia calon kepala daerah dalam UU Pilkada.
Hal ini dilakukan untuk mengakali Pilkada 2024 di sejumlah daerah, khususnya Daerah Khusus Jakarta (DKJ) agar dapat didominasi oleh KIM tanpa kandidat kompetitor. Selain itu, upaya tersebut untuk memuluskan jalan Kaesang Pangarep agar dapat mencalonkan diri sebagai Wakil Gubernur meskipun belum memenuhi syarat usia.
Pengabaian tersebut dilakukan oleh Presiden dan DPR dengan merevisi sejumlah ketentuan UU Pilkada untuk menganulir batas konstitusional yang diterbitkan MK. Seperti Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 2024, aturan yang sudah ada dirombak dan dilanggar agar putranya dapat melanjutkan kekuasaannya. Melalui perombakan hukum dan mengotak-atik syarat usia calon kepala daerah, maka persyaratan akan sesuai dengan figur yang diusung.
CALS menyerukan agar Presiden dan DPR dapat menghentikan pembahasan Revisi UU Pilkada. Kemudian, meminta tindak lanjut dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) terhadap Putusan MK Nomor 60/PUU-XXI/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 tanggal 20 Agustus 2024.
Selain itu, CALS juga mengajak masyarakat sipil untuk melakukan pembangkangan dan memboikot Pilkada 2024 jika Revisi UU Pilkada dilanjutkan dengan mengabaikan Putusan MK. Tuntutan yang diajukan didorong pula dengan aspirasi yang disampaikan para massa aksi dalam orasi.
Seniman dan Akademisi Suarakan Kegelisahan
Massa aksi meliputi perwakilan partai politik, mahasiswa, akademisi, tokoh masyarakat, hingga berbagai organisasi masyarakat yang memiliki tujuan sama. Para massa aksi yang hadir secara bergantian menyampaikan aspirasinya serta membakar semangat demonstran lainnya siang itu.
Pengamat Hukum Tata Negara, Refly Harun mendukung aksi penolakan terhadap revisi UU Pilkada itu. Menurutnya, putusan yang diberikan MK benar dan tepat, tinggal dilaksanakan tanpa perlu dibantah maupun dianulir. “Apa yang dilakukan DPR, kampungan,” tegasnya, Kamis (22/8).
Menurut Refly, langkah DPR melakukan prosedur dan penetapan Rancangan Undang-undang (RUU) Pilkada dalam waktu semalam merupakan hal yang salah. “DPR dan pemerintah yang membangkang konstitusi, dan massa aksi yang datang hari ini merupakan mereka yang ingin menegakkan konstitusi,” jelasnya.
Selaras dengan Refly, sebagai seorang seniman, Reza Rahardian turut resah atas keputusan MK yang terus dijegal. Reza mengaku berdiri di tengah massa aksi tanpa mewakili kepentingan seseorang dan tidak berpartisipasi dalam politik. Namun, ia hadir sebagai rakyat Indonesia yang turut menyuarakan kegelisahannya.
“Melihat keputusan MK masih saja terus dijegal dan dianulir oleh sebuah lembaga yang katanya adalah wakil-wakil kita semua. Lantas anda (DPR) yang di dalam ini wakil siapa?” seru Reza, Kamis (22/08).
Reza berharap masyarakat dapat terus mengawal keputusan final dari DPR. “Tidak ada keputusan itu bisa langsung lahir. Ini bukan negara milik keluarga!” tegasnya.
Tindakan Represif Aparat Kepolisian
Menjelang sore, para massa aksi yang hadir semakin berdesakan. Rombongan mahasiswa dari berbagai kampus mulai berdatangan, terlihat pula sejumlah pelajar setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Berdasarkan pengamatan Institut, salah satu sisi gerbang depan Gedung DPR RI berhasil dirobohkan oleh massa aksi sekitar pukul 14.00 WIB.
Sejumlah demonstran yang berusaha masuk ke halaman Gedung DPR RI mendapatkan tindakan represif seperti pemukulan dan penangkapan yang dilakukan oleh anggota kepolisian. Melalui unggahan Instagram @cnnindonesia, Komisi Nasional Hak Asasi dan Manusia (Komnas HAM) meminta kepada Polda Metro Jaya untuk melepaskan 159 demonstran yang ditangkap.
Komnas HAM juga menyesalkan pembubaran secara paksa oleh aparat kepolisian terhadap aksi unjuk rasa. “Keterlibatan TNI yang terindikasi penggunaan kekuatan yang berlebihan, yang semestinya menggunakan pendekatan humanis,” ucap Anis Hidayah, Komisioner Komnas HAM melalui CNN Indonesia.
Melalui video yang diunggah di Instagram @yayasanlbhindonesia, pendamping hukum dari Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) dihalangi oleh anggota kepolisian untuk memberikan bantuan hukum kepada demonstran yang ditangkap.
Keterangan Perwakilan DPR RI
Wakil Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) fraksi Partai Gerindra, Habiburokhman menemui massa yang tengah melakukan demonstrasi ke depan Gedung DPR. Teriakan protes massa aksi menghalangi suara Habiburokhman saat menyampaikan pernyataan.
Ketua Partai Buruh, Said Iqbal yang kala itu berada di samping Habiburokhman mengatakan, Revisi UU (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang telah dibahas oleh DPR pada Rabu, sudah dibatalkan. “Tidak ada pengesahan RUU Pilkada,” ujar Said mengutip perkataan Habiburokhman, Kamis (22/8).
Sementara itu, Anggota DPR RI fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Masinton Pasaribu dan Arteria Dahlan ikut menemui massa aksi pada waktu yang berbeda. Keduanya sepakat dan mendukung perjuangan massa aksi dalam menegakkan konstitusi.
Berbeda dengan Habiburokhman, Masinton dan Arteria mengatakan bahwa pengesahan Revisi UU Pilkada itu cuma ditunda. Keduanya berjanji akan mengawal pengesahan Revisi UU Pilkada hingga batal. Mereka optimis perihal pembatalan itu. Sebab, tak jarang terjadi kegagalan saat sidang tahap II tentang pengesahan UU.
“Kami akan berjuang sekuat tenaga walaupun cuma satu fraksi, agar konstitusi itu ditegakkan, demokrasi terjaga. Kami yakin suara rakyat di luar lebih besar dari kehendak kekuasaan yang ingin memaksakan agendanya,” ucap Masinton, Kamis (22/8).
Mengetahui keputusan DPR RI untuk menunda pengesahan RUU Pilkada, Juju Purwantoro selaku Presidium Forum Alumni Kampus Seluruh Indonesia menyatakan, pihaknya akan terus mengawal isu ini sampai akhir.
“Walaupun mereka bilang ditunda sampai waktu yang tidak ditentukan, tapi kami tidak yakin. Bisa saja tengah malam nanti mereka ketok gitu,” ujarnya saat diwawancarai di halaman gedung DPR RI, Kamis (22/8).
Wakil Ketua DPR Jamin Tidak Ada Revisi UU Pilkada
Mengutip dari Kompas.com, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco menjamin bahwa tidak ada rapat paripurna pengesahan revisi UU Pilkada, Kamis malam (22/8). Hal itu ia sampaikan sebagai respons atas kecurigaan bahwa DPR menggelar rapat paripurna malam-malam saat massa aksi sudah bubar.
“Dengan tidak jadinya disahkan revisi UU Pilkada hari ini, maka yang berlaku pada saat pendaftaran pada tanggal 27 Agustus adalah hasil keputusan judicial review MK yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora, sudah selesai dong,” pungkasnya, Kamis (22/8).
Reporter: Hailen Ummul Choiriah, Inda Bahriyuhani, Rizka Id’ha Nuraini, Muhammad Arifin Ilham
Editor: Shaumi Diah Chairani