“Gelaran pameran agama ini bukanlah toleransi beragama, melainkan acara sesat dan menyesatkan,” demikian yang dikatakan Febri, salah satu narasumber dalam Majalah Dinding (mading) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Masjid Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, Minggu (1/12).
Read Time:2 Minute, 58 Second
Febri, yang tertulis sebagai mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat (AF) sekaligus pengurus Gema Pembebasan Komsat UIN Syarif Hidayatullah tersebut, menyatakan rasa kecewanya terhadap acara Pameran Agama yang diselenggarakn BEM-J Perbandingan Agama (PA) dalam rangka Milad Ushuluddin ke-51. Selain itu, Ia juga sangat menyesalkan atas sikap UIN Jakarta yang menolak masuknya Buletin Al-Islam, tapi malah memberika izin penyebaran Injil melalui acara pameran agama tersebut. “Injil boleh disebarkan, kenapa Al Islam malah dilarang,” ujarnya dalam tulisan tersebut.
Dalam tulisan tersebut, selain Febri, mahasiswa Tafisir Hadis, Hanif Ansharullah juga menyatakan rasa kecewanya terhadap mata kuliah yang diajarkan Jurusan PA. Menurutnya, beberapa mata kuliah yang diajarkan itu bersifat sekuler, dan akan cenderung melemahkan keimanan mahasiswa pada agamanya sendiri. “Aktivitas-aktivitas yang dikurikulumkan oleh Jurusan Perbandingan Agama membuat mayoritas mahasiswa mempunyai pola pikir sinkretis dan sekuler,” Paparnya.
Menanggapi hal itu, Dekan Fakultas Ushuluddin, Zainun Kamal, menyayangkan sikap HTI yang kerap kali menyalahkan. Padahal acara terebut mendapat respon baik dari mayoritas mahasiswa. Zainun mengatakan, diadakannya acara tersebut dalam rangka memperkenalkan agama lain kepada mahasiswa, bukan ajang penyesatan atau pemurtadan seperti yang dinyatakan HTI melalui madingnya.
Acara tersebut merupakan ajang mahasiswa agar dapat menilai agama lain secara objektif, lanjut Zainun. Ia juga menjelaskan, penyebaran kitab-kitab seperti Injil atau kitab dari agama lain, bertujuan agar mahasiswa tidak menanamkan sikap-sikap apriori dalam menilai sesuatu. “Kita kalau mau tahu agama orang, harus memahami dari buku mereka. Begitu juga kalau mau mengritik, harus tahu mana yang benar dan salahnya,” kata Zainun, Jumat (13/12).
Tak hanya Zainun, mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat semester 7, Abdul Syakur, juga menyayangkan sikap HTI yang terlalu melebih-lebihkan kritiknya terhadap acara pameran agama tersebut. Menurutnya, sebagai jurusan PA secara otomatis akan mempelajari bagaiman mengetahui agama selain Islam. Tapi, hal itu bukan berarti mengenyampingkan Islam sebagai keyakinan mahasiswa yang sudah mapan dalam diri mereka.
Ketua BEM-J PA, Laila Nihayati, menegaskan, bahwa acara itu diadakan sebagai bentuk kepedulian terhadap semangat toleransi beragama di Indonesia yang semakin merosot, serta memberikan pemahaman pada mahasiswa yang kurang mengerti akan pentinganya kerukunan beragama.
“Berangkat dari semangat toleransi dan kerukunan umat beragama yang hari ini semakin merosot dan kurang diperhatikan, maka dari itu, kita sebagai generasi yang ber-intelektual mencoba memberikan sesuatu yang memang akademisi, salah satunya dengan acara ini, ” Jelas Nayla, Kamis (28/11).
Terkait hal itu, Dosen Universitas Paramadina, Abdul Moqsith Ghazali mengatakan, semestinya HTI tahu akan visi dan misi PA sebagai salah satu Jurusan di Fakultas Ushuluddin. Menurut Moqsith, PA sebagai salah satu jurusan di Ushuluddin memang membawa fungsi sebagai comparative religion (perbandingan agama). “Bukan untuk masuk agama lain, tapi untuk tahu bagaimana agama lain mempelajari kitab sucinya dan bagaimana penerapan mereka dalam kehidupan sehari-hari,” jelasnya, Kamis (12/12).
Moqsith menambahkan, bahwa perguruan tinggi Islam di Indonesia mustinya diletakkan dalam visi dasar kebangsaan Indonesia. Menurutnya, sekalipun ada Kementrian Agama, Indonesia ini bukan negara Islam. Atas dasar itu, perguruan tinggi Islam secara politik kebangsaan juga harus merawat berdirinya bangsa Indonesia, bukan untuk mendirikan negara Islam.
UIN Jakarta, lanjut Moqsith, sebagai salah satu perguruan tinggi Islam di Indonesia hanya mencoba menghadirkan jenis keislaman yang moderat. Pasalnya, di beberapa perguruan tinggi Islam, seperti di UIN Jakarta sendiri, tidak hanya memiliki satu ideologi. Oleh karena itu, secara politik kebangsaan, perguruan tinggi Islam harus mengikatkan diri kepada ideologi Pancasila. (Thohirin)
Average Rating