Ia menambahkan, banyak tempat di Indonesia yang sedang ramai dikunjungi turis mancanegara. Tempat tersebut terkenal akan kebudayaan dan keindahan alamnya, seperti Bali, Lombok, Toraja, Jogjakarta, Solo, Raja Ampat, dan Samosir. “Tempat-tempat lain pun sedang digencarkan untuk mengembangkan pariwisata kebudayaan,” papar pria tersebut di Universitas Airlangga (UnAir),
Jika dari segi ekonomi sangat menguntungkan, dari segi kebudayaan berbanding terbalik. Budayawan asal Jawa Tengah, Jlitheng Suparman menyatakan, kunjungan turis mancanegara ke Indonesia menimbulkan banyak kontroversi. Kaum budayawan sebagian besar menentang pariwisata berbasis budaya karena kedatangan turis dapat merusak keaslian budaya.
Contohnya, lanjut Jlihteng, adalah Tari Kecak dari Bali dan Sendra Tari Ramayana dari Yogyakarta. Kini, Tari Kecak tidak lagi terlihat nilai sakralnya karena terpotong-potong akibat menyesuaikan dengan waktu turis yang sangat padat. Tari tersebut langsung menuju klimaks tanpa pembuka maupun penutup. Begitu pun dengan Sendra Tari Ramayana yang tidak lagi disajikan secara utuh akibat memenuhi kebutuhan pengunjung saja.
“Kontroversi tersebut masih berlanjut hingga sekarang. Kalangan seniman dan budayawan menyatakan, pengemasan budaya sebagai objek pariwisata akan menghilangkan keaslian nilai suatu budaya. Sementara kaum wisatawan menyatakan, keaslian dari budaya tersebut tidak hilang, asalkan mereka tahu substansi dari karya seni tersebut,” jelasnya di gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UnAir, Sabtu (21/6).
Menanggapi hal tersebut, Ketua Departemen Antropologi UnAir, Sri Endah Kinasih mengatakan, pariwisata secara langsung dapat memodifikasi ekspresi kebudayaan lokal guna memenuhi kebutuhan pariwisata para turis. Namun, di sisi lain, fenomena seperti itu akan menimbulkan cultural involution, yaitu elaborasi yang baik antara sosial ekonomi dan usaha konservasi kebudayaan.
Endah mengatakan, kini penerapan kegiatan pariwisata berbasis budaya di Indonesia telah berjalan baik di beberapa provinsi. Salah satunya adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pengembangan pariwisata di sana disesuaikan dengan potensi yang ada dan berpusat pada budaya Jawa. Hal itu selaras dengan aksi yang telah dicanangkan pemerintah dan dijalankan masyarakat untuk mendukung pelaksanaan program tersebut.
“Di Yogyakarta, banyak pengembangan dan peningkatan kuantitas serta kualitas fasilitas, event berupa wisata, seni, dan budaya yang berbau Jawa untuk optimalisasi pemasaran program. Hasilnya pun mulai tampak, seperti keberadaan Rumah Pintar Yogyakarta yang tidak hanya memiliki arena permainan, tetapi juga mengajak pengunjung untuk mengenal sejarah dan kebudayaan Yogyakarta,” tukas wanita asal Banyuwangi ini, Sabtu (21/6).
Average Rating