Read Time:4 Minute, 58 Second
Oleh: Izzuddin Abdul Hakim*
Pemberitaan tentang Islamic State of Iraq and Levant (ISIL) atau beberapa media juga menyebut Islamic State of Iraq and Syam (ISIS) kembali menyeruak ke telinga publik tanah air. Faktornya adalah berita hilangnya 16 orang WNI di Turki yang diduga kuat bergabung dengan ISIS. Sampai saat ini pula, pemerintah Turki masih menahan 16 orang WNI sejak bulan Januari lalu yang diduga hendak menyeberang ke Suriah melalui perbatasan negara bekas Ibukota Khilafah Ottoman tersebut.
Pemberitaan tentang ISIS ini sebenarnya bukanlah kali pertama. Isu serupa sempat ramai pada bulan Juni-Juli tahun 2014 lalu saat ISIS mendeklarasikan apa yang mereka klaim Islamic State atau khilafah dengan Abdurrahman Al-Baghdadi sebagai khalifahnya. Lebih mengejutkan lagi, bai’atdari simpatisannya di Indonesia kepada Al Baghdadi dilakukan di Aula Syahida Inn, Kampus 2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Masyarakat muslim pada umumnya terbelah menyikapi deklarasi Islamic State oleh ISIS ini, sebagian mendukung namun mayoritas menolak. Lantas, bagaimana sikap kita terhadap deklarasi ISIS ini?
ISIS vs Khilafah
Umat Islam pasti paham bahwa Islam bukan sekedar agama spiritual, namun juga konsepsi politik (Abdurrahman, 2007). Artinya bahwa Islam memiliki seperangkat aturan (syariat) yang komprehensif mengenai segala aspek kehidupan, baik agama maupun politik (siyasah).
Banyak sarjana barat juga maklum akan hal ini. Kita bisa baca ide-ide para orientalis seperti: V. Fitzgerald, C. A. Nallino, Schacht, R. Strothmann, D.B Macdonald, Sir. T. Arnold, HALA.R. Gibb, yang semua senada mengatakan bahwa Islam bukanlah sekedar kepercayaan agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangunan masyarakat yang independen. Islam mempunyai metode tersendiri dalam sistem pemerintahan, perundang-undangan, dan institusi (Rais, 2001).
Konsepsi pemerintahan dalam Islam ini dikenal dengan istilah khilafah, atau barat menyebutnya caliphate. Para ulama generasi awal telah banyak menulis tentang wajibnya mengangkat seorang khalifah/imam/amir—tiga istilah ini adalah mutaradif (sinonim), lihat Raudhah Ath-Thalibin wa Umdah Al-Muftin, hal 49; Mughnil Muhtaj, hal 132; Al-Muqaddimah, hal 190; Lisanul Arab, hal 83; Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyah, juz 1, hal 21—yang merupakan kepala negara dari Negara Khilafah.
Rujukan tentang kewajiban mengangkat seorang khalifah di antaranya dapat kita baca dalam beberapa karya berikut: Raudlatut Thalibin wa Umdatul Muftin, juz III, hal 433; Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith Thullab, juz 2, hal 268; Mafatihul Ghaib fii At-Tafsir, juz 6, hal 57 dan 233; Tafsir An-Naisaburi, juz 5 hal 465; Hasyiyah Al-Bajairimi ala Al-Khatib, juz 12, hal 393; Tafsirul Qur’anil Adzim, juz I, hal 221; Al-Jami’ li Ahkamil Quran, juz I, hal 264-265; Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, juz V, hal 128; dan lain-lain.
Singkat kata, konsep khilafah memang memiliki rujukan kuat dalam pemikiran Islam. Atas alasan inilah migrasi beberapa WNI ke Suriah dapat kita baca, meskipun pasti masih terdapat beberapa variabel lain yang dapat menjelaskan.
Hanya saja, apakah ISIS betul telah mendeklarasikan khilafah atau sekedar klaim sepihak? Di sinilah kita perlu cermat melihat fakta deklarasi khilafah ala ISIS itu. Paling tidak ada dua hal di mana kita bisa “menghakimi” deklarasi khilafah ala ISIS adalah tidak sah. Pertama, soal istilah khilafah. Khilafah—sebagaimana terminologi salat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya —merupakan istilah syar’i (al-haqiqah asy-syariyah) yang pengertiannya diambil hanya dari dalil syara’.
Ulama telah banyak mendefinisikan terminologi khilafah/imamah/imarah, di antaranya: Al-Ahkam As-Sultaniyah, hal 5; Ghiyatsul Umam fil Tiyatsi Adz-Dzulam, hal 15; Al-Mawaqif, juz III hal 574 dan 578; Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj fil Fiqhi ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i, juz 7 hal 289; Mauqiful Aqli wal Ilmi wal ‘Alam, juz IV hal 262; Qawaid Nidzam Al-Hukm fii Al-Islam, hal. 225-230, yang pada kesimpulannya khilafah adalah “kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia” (Asy-Syakhsiyah Al-Islamiyah, juz II hal. 13).
Hal ini berbeda dengan ISIS/ISIL yang masih menggunakan ‘embel-embel’ Iraq and Syam atau Iraq and Levant. Tampak ketidaksinkronan antara khilafah yang mereka deklarasikan dengan penamaan ISIS/ISIL yang mereka gunakan.
Kedua, dari sisi bentuk. Khilafah merupakan institusi negara yang menerapkan seluruh hukum-hukum Islam terkait politik dalam negeri (as-siyasah ad-dakhiliya), politik luar negeri (as-siyasah al-kharijiyah), sistem ekonomi (an-nidzam al-iqtishadi), sistem sanksi (nidzamul uqubat), urusan pendidikan (siyasah at-ta’lim), UUD dan UU (ad-dustur wa al-qanun) yang hanya digali (istinbath) dari dalil syara’. Hal ini sangat diametral dengan ISIS yang hanya merupakan kelompok atau jamaah.
ISIS bukanlah sebuah negara yang memiliki otoritas melaksanakan semua hukum-hukum tadi. Bahkan ISIS juga tak memiliki draft UUD/UU yang jelas terkait pengelolaan dan pengaturan negara khilafah yang mereka klaim itu. Oleh karena itu, ISIS bukan negara khilafah itu sendiri, melainkan hanya sebuah kelompok yang mengklaim diri sebagai khilafah.
Sikap Defensif Apologetik
Dari fakta bahwa ISIS bukanlah khilafah, maka kita harus tepat dalam mengambil sikap. Hal ini penting karena umumnya berkaitan dengan isu-isu sensitif semacam ini kita khususnya, dan umat Islam pada umumnya cenderung bersikap defensif apologetik. Defensif apologetik adalah sikap membela diri secara spontan dan tidak cermat demi menolak suatu tuduhan tertentu.
Sebagai contoh, jika ada yang menuduh “Islam adalah agama dengan model pemerintahan yang barbar”, maka demi menolak tuduhan keliru tersebut akan dijawab: “Tidak. Islam tidak mengajarkan konsep pemerintahan”, pernyataan semacam ini, merupakan contoh tindakan defensif apologetik. Berusaha menolak tuduhan yang jelas keliru meskipun harus mendistorsi ajaran Islam itu sendiri. Tentu ini adalah sikap yang kontra produktif dan justru menjauhkan kita dari Islam.
Sikap yang harus kita ambil adalah menjelaskan konsep pemerintahan Islam (khilafah) yang sesungguhnya tanpa merasa apologi dengan berbagai macam tuduhan yang sebenarnya hanya berdasarkan klaim semata. Dengan begitu, ada dua keuntungan yang bisa kita dapat sekaligus.
Di samping kita bisa menjelaskan ajaran Islam yang lurus dan tanpa mendistorsinya sedikit pun, sekaligus membetulkan kekeliruan yang bisa menyeret lebih banyak warga negara Indonesia bergabung dengan ISIS atas dasar kesalahpahaman. Peran kaum intelektual, ulama, kyai, dan semua elemen masyarakat diharapkan dapat bersinergi. Tolak ISIS, bukan tolak ajaran Islam, bukan pula tolak khilafah!
*Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Jakarta
Average Rating