(sumber : Internet) |
Read Time:6 Minute, 4 Second
Oleh : Kholis Bidayati*
Matahari merekah menantang gerah pada setiap insan yang sedang bergairah dan amat bernafsu mencari nafkah dari tanah.
“Aduh.. aduh.. sialan! Dasar semut tidak tahu diuntung, sudah enak diberi tempat untuk makan masih saja menggigit kaki tuan yang punya lahan,” ujar laki-laki kekar hitam. Ia marah kepada semut merah yang tak pernah mendengar umpatannya.
Di sisi lain seorang anak kecil yang bertahan di bawah pohon pisang mencoba berkawan dengan panas. Anak kecil sang tuan yang punya lahan itu mencoba berbincang pada semut yang menata barisan di sela-sela tanaman sayur kangkung sang tuan.
“Hai nak..sedang apa kau di pinggiran pematang sawah? Kesinilah bantu bapakmu ini membinasakan serangga yang terus-terusan menggerogoti akar tanaman kita yang hampir mati ini,”. Anak kecil itu tidak menggubris. Sang laki-laki pemilik lahan mengerucutkan bibirnya. Ia berjalan cepat menuju anaknya yang hitam dan belang.
”Hei… sedang apa kau ini?”, sambil menarik baju anaknya yang kumal.
”Lihatlah Pak semut-semut ini, mereka cantik sekali,” ujar sang anak sambil tersenyum ke arah bapaknya menunjukkan giginya yang hitam.
“Matamu buta ya Nak? Semut-semut ini bisa membuat badanmu gatal-gatal dan merah jika kau di gigit olehnya Nak!”
“Aahcch,,, bapak rupanya tidak mengerti, lihatlah mereka sedang berbaris mengantre memasuki lubang rumah mereka, indah sekali” sanggah sang anak.
“Iya.. dan kau tidak berfikir arah liang itu menuju akar tanaman kangkung kita, setelah itu mereka akan merusaknya, lalu matilah kangkung-kangkung kita ini, lalu kau tau nak..matilah pula kau dan bapakmu ini karena tak punya uang, dan kau tau sebabnya apa nak? Karena kita gagal panen, dan kau tahu kenapa? Ya karena ulah semut-semut ini”.
“Aahcch bapak, andaikan saja Pak, orang-orang mau mengantre sembako di kelurahan seperti semut-semut ini, mungkin emak tak akan mati diinjak-injak orang hanya karena beras sepuluh kilo, dan andai saja orang-orang mau mengantre pupuk seperti semut-semut ini dengan rapi, mungkin kitalah salah satu orang yang dapat pupuk itu pak, dan kita tidak perlu repot-repot mengumpulkan abu layan yang bapak siram dengan air kencing bapak dan air kencingku setiap malam untuk menyuburkan tanaman-tanaman di ladang kita,” tukas anak kecil itu menasihati bapaknya yang mulai merah padam mendengar ocehannya.
”Sudah diam kau, pulanglah sana, mandi dan ganti bajumu itu!” Perintah sang bapak yang tentu saja tidak bisa dibantah.
Anak laki-laki kecil itu kemudian pulang dengan wajah keheranan sesekali menoleh memandangi wajah bapaknya yang merah berapi menahan kesal.
Matahari perlahan mulai tenggelam dan senja pun mulai datang, laki-laki yang sebal dengan semut-semut itu pulang sambil membawa ubi dari ladang.
“Pak kau sudah pulang”, teriak anak mata wayangnya sambil berlari menuju bapaknya tersayang.
“Hei… kau belum mandi rupanya, apa saja yang kau lakukan seharian sehingga belum mandi sampai pukul segini?”.
“Maafkan aku Pak.. aku sedang malas mandi, sepulang dari sawah tadi tetangga sebelah memberi kita makanan pak, jadi ku putuskan saja menunggu bapak supaya bisa makan bersama,” celoteh si anak sambil senyum-senyum kegirangan.
“Lalu kau taruh mana makanan itu dan kau beri tutup tidak?”, tanya sang bapak sambil lari tergopoh-gopoh masuk rumah. Sesampai di dalam rumah tiba-tiba semua diam melihat kenyataan yang mereka dapatkan.
”Semut sialan.. bedebah! Tak tau kalian semua rupanya, aku dan anakku sedang kelaparan, giliran ada makanan kau ikut embat juga, lihatlah nak perilaku semut yang kau bilang cantik itu!, hari ini kita tak bisa makan makanan itu karena ulah mereka,” kata sang bapak seraya menuju sekepal nasi dan ikan asin yang berjajar dengan sambal dari trasi”. ”Sudahlah Pak…ini masih bisa dibersihkan dan kita tetap bia memakannya”, tutur lembut sang anak menenenangkan bapaknya.
“Terserah kau saja, makan saja kalau kau masih doyan, aku akan memasak ubi ini untuk aku makan sendiri”. Sang bapak pun pergi meninggalkan sang anak semata wayangnya xang sedang membersihkan semut di kepalan nasi ikan asin.
Krik… krik… krik… suara jangkrik malam beradu memainkan musik untuk sang bulan. Tiba-tiba sang bapak melihat gerangan apa yang sedang berani-beraninya merayap di atas bahunya yang kekar. Terlihat dua ekor semut yang sedang merayap tertatih-tatih yang membawa remahan roti. Hampir si pak tua setengah baya itu mengibaskan tangan hendak mengusir si kecil ciptaan tuhan yang sedang berjuang membawa makanan.
Namun sang anak datang seraya berteriak pada sang bapak, ”Pak,, pak,, tunggu! Rupanya kau tak sadar lagi dengan sebuah keajaiban yang sedang Tuhan tunjukkan”.
“Bicara apa kau ini, pergilah saja tidur! Hari sudah malam”.
“Seandainya saja orang-orang yang lebih beruntung mau melihat kehidupan kita dan mau mengulurkan tangannya sedikit saja memberikan sebagian hak kita yang tercampur di harta mereka, mungkin saat ini kita bisa tidur nyenyak dengan perut kenyang tanpa bingung memikirkan apa yang harus kita makan besok “, kata sang anak memedulikan perintah bapaknya.
“Aah.. kita tidak butuh uluran tangan mereka, para tikus berdasi dan para pejabat-pejabat berbulu domba itu terlalu egois untuk memikirkan rakyat kecil seperti kita”, Ucap si bapak menggebu-gebu. Si kecil hanya mampu tersenyum bangga mendengar perkataan bapaknya itu meskipun dia agak bingung dengan maksud sang bapak.
Bapak berotot kekar itu menolehkan wajahnya ke buah hatinya, ” Maafkan bapakmu ini nak.. tak bisa menyekolahkanmu setinggi bulan seperti orang-orang besar itu, maafkan bapak yang tak sedikitpun meninggalkan ilmu untukmu”, kata-kata pak hitam itu membuat si anak menangis terharu.
”Sudahlah pak.. aku bangga punya bapak sepertimu, kau lebih mulia ketimbang para pejabat pemakan uang rakyat itu dan tubuh hitammu ini lebih suci ketimbang kulit putih mereka yang kotor berlumur dosa pak, dan kau tau pak, aku lebih bangga melihat bapakku memegang cangkul tapi berlaku adil dan bijak dari pada berdasi tapi selalu menyedot uang-uang pajak”, Kata sang anak. Si bapak dan anaknya itu saling berpelukan menangis merasakan kebanggaan meski hidup di dera berbagai kekurangan.
”Kenapa kau tiba-tiba berubah jadi seperti ini, apa yang membuatmu berfikiran sedewasa ini anakku? “, tanya sang bapak seraya melepaskan pelukan hangat mereka yang disaksikan malaikat-malaikat cinta dari surga. Si anak belang itu nyengir sambil melihat bapaknya yang baru saja menangis . “Kau tau orang gila di depan prapatan pak, lihatlah dia memberiku buku ini”, Seraya sang anak menunjukkan sebuah buku kusam bersampul hijau dengan judul “DongengPara Semut”.
“Kau bisa baca buku?” , tanya sang bapak tak percaya. “Iya pak, sedikit- sedikit dalam seminggu aku bisa menkhatamkan dua halaman”, jawab si anak. Siapa yang mengajarimu membaca buku nak..? “, tanya sang bapak keheranan. “Kau ingat pak, tiap hari engkau memarahiku karena setiap pagi aku menghilang dan tak mau ikut denganmu keladang dan kau fikir aku keluyuran, sebenarnya tidak pak… “ , jawab sang anak. “ Lantas apa yang kau lakukan?”. Tanya si bapak keheranan kembali. ”Aku pergi kesekolah SD desa sebelah pak mengintip guru yang sedang mengajar dari balik cendela supaya bapak tak repot mencarikan aku uang untuk biaya sekolah”, ucap sang anak menggebu-gebu bangga terhadap dirinya sendiri. “ Maafkan aku nak..maafkan bapakmu ini, bapak malu nak…”. Rintih si bapak. “ Sudahlah pak .. sudah ku bilang aku bangga punya bapak sepertimu”, si anak menyahut. Mereka kembali berpelukan.
“Maukah kau membacakan buku ini untuk bapak?”, pinta si bapak. “Baiklah mari kita masuk, aku akan mendongengi bapak seperti emak dulu yang selalu mendongengiku sebelum tidur. Sedang di bawah pintu, tampak segerombolan semut yang memerhatikan tingkah bapak dan anak tersebut.
*Penulis adalah mahasiswa Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum
Average Rating