Read Time:5 Minute, 42 Second
Oleh Suci Amallia*
Bulan tersuci dari beribu bulan kini telah hadir. Ramadan telah datang bersama cahaya keberkahan dan rahmatnya. Para sufi semakin giat bertutur rohaniah pada Sang Khalik. Bahkan, muslim yang sehari-harinya acuh terhadap nilai ibadah kini sudah mulai lentur menyebut asma’ Sang Maha Esa.
Ada yang beda dengan Ramadhan kali ini. Terasa sepi, hampa, dan terasa ada suatu hal yang mengganjal dalam hati. Suara petasan yang dulu sering aku dengar ketika taraweh, kini sudah asing ditelan majunya zaman. Suara bocah-bocah yang berkeliling dengan beduk di sepertiga malam pun sudah kandas dimakan waktu.
Aku rindu semua itu. Aku rindu saat pergi taraweh berbekal uang seribu rupiah untuk membeli makanan di pertengahan taraweh. Aku rindu menjaili para sesepuh kampung dengan memasang petasan di samping rumahnya. Aku juga rindu bermain gundu di siang hari sembari menunggu waktu maghrib. Ah, lagi-lagi rindu yang menyiksa batin yang selalu ku rasa.
“Buka pakai apa Bu?” tanyaku kepada ibu yang sedang asik mengiris sayuran di dapur. Dari dulu aku memang selalu rutin menanyakan menu di bulan puasa. Padahal menerutku menu apapun yang ibu sajikan tidak masalah. Aku hanya ingin bertegur sapa pada ibuku. Setidaknya ada sebuah obrolan ringan yang kita lakukan bersama.
“Buka pakai kolak Rin, nanti dibawa ya kolak yang sudah dipisah ke mushalah.” Ibu memang sering berbagi makanan ke mushalah samping rumahku. Alasannya simple, karena makanan yang ibu masak terlalu banyak dan selalu tidak habis. Orang di rumahku hanya sedikit. Ya, tinggal ibu, aku, dan ayah. Kelima kakakku sudah berkeluarga dan pisah rumah dari kami.
Setiap azan maghrib berkumandang aku selalu sedih. Berharap semua kakakku datang menemani kami berbuka. Tapi sepertinya itu sulit. Bukan, bukan karena mereka tidak sayang dengan kami, tetapi mereka juga mempunyai kesibukan masing-masing. Sibuk? Ah, aku jadi ingat dengan serentet jadwalku di organisasi. Aku rasa semua orang pasti sibuk, tapi tergantung bagaimana ia melewati kesibukan itu. Bukankah waktu adalah sebuah simbol peruntun kesibukan?
“Besok mau buka pakai apa Rin?” Aih, mendengar pertanyaan itu rasanya aku ingin menjerit. Ramadhan kali ini aku sangat sedikit menghabiskan waktu bersama ibu. Aku banyak menghabiskan waktuku di kampus dan aku lebih sering melewati waktu berbuka bersama teman-temanku. Awalnya aku bahagia bisa merasakan apa yang anak muda lain rasakan. Tertawa bersama teman sepuasnya, pergi ke tempat makan bagus, berfoto ria, atau sekedar meminum kopi bersama di cafe. Namun, semakin lama aku jenuh. Aku jenuh dengan segala rutinitas itu. Hal tersebut membuat aku semakin jauh dengan orangtuaku yang semakin hari semakin senja.
“Besok Rinday enggak buka di rumah Bu. Ada buka bersama dengan organisasi pers Bu.” Jawabku dengan menelan ludah dalam-dalam. Detik itu aku melihat sedikit senyum kekecewaan yang tersudut di bibir ibu. Rasanya aku ingin memeluknya dan berkata kalau sesungguhnya ini adalah proses menuju kesuksesanku. Ah, tapi tampaknya tidak usah karena hal itu pasti akan membuat suasana semakin haru dan dramatis.
****
Hari ini lagi-lagi aku pulang malam tak lain dan tak bukan karena aku harus menyelesaikan tugas di organisasiku. Sebagai anggota muda memang harus nurut dengan serentet jadwal dari senior. Jenuh dan lelah memang aku rasakan. Namun, mau bagaimana lagi. Aku hanya bisa melaksanakan apa yang diperintahkan selagi itu bermanfaat.
“Tadi Ibu bikin bihun, Ibu nungguin kamu tapi ga datang-datang jadi Ibu taruh bihunnya di kamarmu. Oya, sambalnya ada di meja makan ya.” Oh Tuhan, hatiku terasa tersayat air mata ini tidak dapat lagi terbendung. Baru saja tadi maghrib aku mengahbiskan waktu berbuka bersama teman-temanku sementara ibu, hanya menungguku dan berbuka sendirian dengan segelas teh hangat dan bihun buatannya. Aku hanya bisa membalas ucapannya dengan senyuman dan langsung bergegas ke kamar. Bukan, bukan untuk tidur. Tapi untuk menangis sejadi-jadinya.
Dengan memeluk boneka doraemon pemberian ayah, aku mengis sejai-jadinya. Tanpa berfikir panjang aku langsung menghubungi semua kakakku. Menceritakan segala polemik hati yang terjadi. Berharap mereka datang. Setidaknya semalaman kita melakukan ramah tamah dan berbuka bersama. Tapi harapanku sirna. Mereka hanya membalas dengan perkataan yang meragukan. “Insyaallah Rin.” Ah sudah ku duga sebenarnya. Dengan balasan seperti itu aku semakin menangis sejadi-jadinya.
*****
Ini hari terakhir bulan Ramadhan. Tapi aku masih harus berduduk di sekeret organisasiku. Mengedit berita yang sudah menjadi tanggung jawabku. Rasanya aku ingin menegur seniorku untuk segera menyelesaikan editan itu. Aku ingin pulang dan berbuka bersama ibu ayah di malam yang fitri ini. Tapi, aku bisa apa selain diam saat itu. Toh jika aku bertegur dengannya akan menjadi semakin lama.
Waktu sudah menunjukan pukul 16.00 sedangkan editorku masih belum lekas menyelesaikan editannya. Aku memberi kode gelisah dengan mengerak-gerakkan badan dan menatap jam. Tidak tahu apakah ia sadar atau tidak. Tapi setidaknya hanya ini cara yang bisa kusampaikan.
“Beritanya udah rapi ya Rin. Tinggal lu kirim ke e-mail aja.” Ah, akhirnya dia mengerti. Seperti bersorak dalam hati aku memberikan senyuman terimakasih padanya. Aku rasa ia mengerti gelagatku. Ia memang orang perantauan yang aku rasa juga paham mengenai rindu pada keluarga.
Setelah menempu perjalanan sekitar satu jam akhirnya aku tiba di rumah. Tidak seperti biasanya yang sepih. Saat ini ada mobil dan motor yang aku kenali parkir di depan rumahku. Ah senangnya karena semua anggota keluargaku dan ditambah dengan keponakanku kumpul di rumah. Aku salim kepada mereka dengan ronah senyum yang sangat tulus begitupun mereka.
Kami berbuka bersama di malam yang fitri ini. Mengahbiskan waktu semalaman dengan banyak bercerita. Abangku menceritakan perjalanannya selagi di Kalimantan kemarin. Kakakku menceritakan kisahnya saat belajar membuat kue lebaran.
“Kemarin kemana saja toh Rin? Kami sudah beberapa kali buka di sini tapi kamu enggak pernah ada.” Apa? Ternyata selama ini mereka sering berkunjung ke rumahku. Sedikit kecewa karena aku tak bisa bergabung. Tapi, setidaknya aku bahagia karena ternyata selama ini ada yang menemani ibu disaat aku tidak ada di rumah. Aku menajawab pertanyaan kakaku dengan sedikit rasa malu bercampur bahagia karena membeberkan prestasiku.
Terimakasih Tuhan. Engkau masih memberiku kesempatan untuk berkumpul bersama keluarga yang lengkap
di malam penuh rahmat ini. Waktu, aku mohon jangan cepat berlalu. Aku masih membutuhkanmu untuk menggoreskan kisah dan menghembuskan nafas bersama mereka.
Teruntuk kasih, cinta, dan sayangku, keluarga.
*Penulis adalah mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Average Rating