Ambiguitas Bahasa Indonesia

Read Time:3 Minute, 25 Second
Judul: Ini dan Itu Indonesia: Pandangan Seorang Jerman
Penulis: Berthold Damshäuser
Penerbit: Komodo Books
Tahun: 2015                
Tebal: 223 halaman

Kerancuan bahasa masih menjadi perdebatan panjang di Indonesia. Ambiguitas menjadi faktor utama.

Sebagian kalangan masyarakat Indonesia percaya bahwa bahasa Indonesia adalah salah satu bahasa yang sulit dipelajari. Tak dapat dipungkiri, bahasa Indonesia banyak memunculkan polemik dalam memahami suatu kata. Bahkan, Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia juga menimbulkan sebuah perdebatan.

Pembahasan ketaksaan Pancasila berawal dari sebuah diskusi antar dosen dan mahasiswa dalam kelas bahasa Indonesia di Universitas Bonn, Jerman. Berthold Damshäuser selaku dosen bahasa Indonesia membukasebuah diskusi terbuka di dalam kelasnya. Saat membahas Pancasila, banyak mahasiswanya yang bingungkarena ambiguitas kata.

Sila pertama Pancasila “Ketuhanan yang Maha Esa” menjadi awal mula perdebatan. Mahasiswa menganggap imbuhan kata “ke-an” dalam “ketuhanan” adalah sebuah kekeliruan. Berpegang Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ketuhanan berarti sifat yang berhubungan dengan Tuhan. Timbulah pertanyaan, “Mengapa harus ketuhanan?” Alangkah baiknya “ketuhanan” diganti “Tuhan”.

Masalah kedua muncul saat “ketuhanan” dikaitkan dengan “maha esa”. Lagi-lagi, mahasiswa kembali mempertanyakan semantika kalimat tersebut. Esa berarti satu, tak bisa dibandingkan. Penambahan kata “maha” membuat diskusi semakin pelik karena di situ terdapat makna yang hiperbolis.

Tak hanya sila pertama yang dijadikan bahan pelajaran, sila keempat dalam Pancasila juga mendapat respons kritis dari kalangan mahasiswa. Sila yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, menimbulkan rancu semantika dalamkata “kerakyatan”.

Dalam hal ini, para mahasiswa menganggap penggunaan “ke-an” menyimpang dari makna sebenarnya. Menurut KBBI, “kerakyatan” berarti segala sesuatu yang mengenai rakyat; demokrasi; kewarganegaraan. Imbuhan ”ke-an” kembali menjadi persoalan di kalangan mahasiswa. Namun, Berthold berdalih, Pancasila memiliki makna tersirat dan multitafsir.

Dalam diskusi selanjunya, mereka juga mengupas terkait potensi bahasa Indonesia sebagai bahasa dunia. Sebagai dosen, Berthold mengajak mahasiswanya agar optimis terhadap adidaya bahasa Indonesia.Tetapi, usaha Berthold tak mendapat respons positif. Sebaliknya, mahasiswa malah kembali menantang sang dosen dengan argumen-argumen kritis-rasionalis.

Mahasiswa berdalih, bahasa dunia sebagai bahasa global digunakan untuk berdiplomasi, berdagang, dan menyebarkan ilmu pengetahuan. Dalam penggunaan sehari-hari, masyarakat Indonesia masih miskin kosakata. Banyak kata serapan Indonesia dari bahasa asing yang menjadi percakapan sehari-hari. Sebab, pengaruh imperalisme sangat kuat dalam penyerapan bahasa Indonesia.

Tak hanya itu, masyarakat Indonesia juga lebih menyukai kata serapan dari bahasa asing ketimbang bahasa lokal. Kasus seperti ini kebanyakan terjadi di kalangan politisi dan akademisi. Kedua golongan tersebut memakai istilah asing sewaktu percakapannya sehari-hari. Akibatnya, gagasan yang seharusnya dipahami masyarakat malah berubah menjadi jurang terjal dalam penggunaan bahasa.

Lagipula, masyarakat Indonesia juga belum peka terhadap budaya tulisan. Mereka menjabarkan, kebanyakan budaya-budaya Indonesia yang dikenal dunia adalah budaya lisan. Contohnya adalah tarian, wayang, batik. Budaya tulis-menulis di kalangan masyarakat Indonesia masih sangat minim.

Di lain pihak, perkembangan sastra Indonesia juga masih terbilang sedikit. Kebanyakan pegiat sastra Indonesia belum memperkenalkan ciptaannya kepada masyarakat global. Karya sastra berupa puisi, prosa, cerpen, dan novel masih ditulis dengan bahasa lokal. Apabila karya tersebut diterjemahkan ke bahasa global, Jerman misalnya, kebudayaan tulisan berupa sastra kemungkinan besar dilirik masyarakat dunia.

Buku karangan Berthold Damshäuser yang berjudul Ini dan Itu Indonesia berusaha mengkaji ketaksaan dalam bahasa Indonesia. Ia mengajak pembaca untuk melek terhadap ambiguitas bahasa Indonesia yang ada di dalam penggunaan lisan maupun tulisan.

Selain itu, Bertholdjuga menjabarkan tentang perkembangan sastra Indonesia di mata dunia. Menurutnya, peranan penerjemah sangat penting dalam pengenalan budaya literasi Indonesia. Ia pun berani berpendapat bahwa penerjemah sastra hampir sama dengan penyair yang menciptakan sebuah karya, walaupun mereka hanya menerjemahkan sebuah karya dari sang penyair itu sendiri.

Penulisannya yang bersifat kritis-ironis bisa mengecoh pembaca. Mereka tak akan tahu bahwa diskusi antara dosen dan mahasiswanya adalah diskusi fiktif. Ia berani memosisikan dirinya sebagai dosen yang mati-matian membela argumen kritis dari mahasiswa. Bagi orang yang membaca buku ini, mereka hanya bisa tersenyum manis sekaligus miris dalam meratapi ketaksaan bahasa Indonesia.

Meski sastra Indonesia mesti dipahami secara tersirat, Berthold tetap memuji perkembangan sastra Indonesia di depan masyarakat dunia. Ia mengaku itu sebuah kekayaan intelektual yang sekaligus memerlukan kekayaan imajinasi pada siapapun yang membaca karya sastra Indonesia. Karenanya, karya penyair Indonesia tak bisa dilihat sebelah mata.

Dicky Prastya

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Imbas APBN Dipangkas
Next post Takdir Cinta Panji Inu Kertopati