Kisah Pilu Asmara Pangeran Diponegoro

Read Time:3 Minute, 11 Second
Judul buku                  : Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855)
Penulis                        : Peter Carey
Penerbit                       : Kompas
Tahun terbit                : Cetakan ketiga 2016
Jumlah halaman          : 464
Bendoro Raden Mas Mustahar, tepat menjelang fajar lahir ke dunia di Keraton Yogyakarta pada 11 November 1785. Karena ia terlahir dalam keluarga keraton, maka sudah barang tentu tradisi Jawa begitu melekat padanya. Terbukti, semenjak balita Sang ibunda Raden Ayu Mangkorowati menyerahkan Raden Mas Mustahar kepada buyutnya yakni Sultan Mangkubumi. Kala itu, Sultan meramalkan bahwa Dipenogoro akan membuat kerusakan yang besar bagi Belanda.
Akan tetapi sultan justru mempercayakan Permaisurinya Ratu Ageng untuk mendidik Bendoro Raden Mas Mustahar, yang kini familier disebut Pangeran Diponegoro. Ratu Ageng sendiri merupakan wanita tangguh dan setia. Ia pun pernah mendampingi Sultan Hamengku Buwono I dalam perang Giyanti melawan Belanda. Dalam kesehariannya Ratu Ageng dikenal sebagai sosok yang islami, serta menjunjung tinggi adat Jawa di lingkungan keraton.
Hal tersebutlah yang kemudian menular ke watak Dipenogoro, sejak kecil ia telah diajarkan agar selalu memegang teguh ajaran Islam, menjalankan budaya Jawa, dan begitu memperhatikan kesejahteraan rakyat sekitar.

Selain dibesarkan oleh ratu Ageng, pribadi Dipenogoro pun dibentuk dalam lingkungan kiai desa. Ditambah pasca kepergian Ratu Ageng, Pangeran Diponegoro semakin intensif berkomunikasi dengan para ulama di sekitar Desa Tegalrejo. Melalui hubungan inilah membawa Pangeran Dipenogoro mengenal Raden Ayu Retno Madubrongto, putri kedua Kiai Gede Dadapan, wanita yang akhirnya ia nikahi pada tahun 1803.
Hanya saja hubungan Diponegoro dengan Madubrongto lambat laun kian memburuk. Lebih lagi tatkala Pangeran Diponegoro menerima bujukan ayahanda Sultan Hamengku Buwono III untuk menikah kembali dengan wanita keturunan priayi, Putri Bupati Panolan, Raden Tumenggung Notowijoyo III. Prosesi pernikahan ini digelar secara megah, pada 27 Februari 1807 di Keraton Yogyakarta.
Dalam buku ini, Peter Carey juga mengungkapkan sosok Pangeran Diponegoro sangat lihai dalam menaklukkan hati wanita. Meskipun tidak diimbangi dengan penampilan fisik yang rupawan. Akan tetapi kharisma Pangeran Diponegoro cukup untuk membuatnya menawan di mata kaum hawa.
Pangeran Diponegoro sendiri menyadari salah satu sifat yang menggangu masa mudanya ialah sering mudah tergoda perempuan. Saat di Perang Jawa saja, sebelum pertempuran berlangsung, ia mengakui sempat berhubungan intim dengan seorang perempuan muda Cina. Perbuatan itu sangat disesali Pangeran Diponegoro, ia pun menganggap hal demikian menjadi biang keladi kekalahannya. Belakangan diketahui perempuan Cina tersebut merupakan tawanan perang di Kejaren, yang kemudian menjadi tukang pijitnya.
Bahkan selama di pengasingan pun Pangeran Diponegoro mempertunjukkan kemahirannya menaklukkan hati wanita. Ketika di Manado, Pangeran Diponegoro hampir menikah dengan putri Letnan Hasan Nur Latif. Namun pernikahan itu urung terlaksana, lantaran menurut Letnan Hasan bila pernikahan itu benar terjadi maka hanya nasib buruk yang menimpa putrinya.
Di sisi lain, sekalipun Pangeran Diponegoro sosok yang terkesan kerap mempermainkan wanita, tapi ingat! beliau tetap saja tokoh yang sangat berjasa dalam membebaskan Bangsa Indonesia dari cengkraman penjajah. Keyakinan akan takdirnya sebagai pembawa kekacauan besar bagi Belanda membuat semangatnya untuk memerdekakan Indonesia tak pernah padam. Hingga akhirnya Ia pun berhasil mewujudkannya.
Buku Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) karya Peter Carey menggambarkan kehidupan pribadi seorang Pangeran Diponegoro secara utuh, sosok manusia biasa yang jauh dari sempurna. Namun, buku ini mencoba menampilkan realitas sejarah Sang Pangeran Diponegoro pada awal abad ke-19, dan bukan membuat mitos.
Namun sayang, dalam buku ini banyak menggunakan diksi yang tidak populis –memakai bahasa daerah— dan sumber yang menjadi rujukan mayoritas terjemahan naskah kuno membuat pembaca sukar untuk memahami dalam sekali membaca. Banyak pula memunculkan nama tokoh asing tanpa keterangan rinci menambah kesulitan pembaca untuk memahami isi buku.

MU

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Negara Indonesia, Negara Pancasila
Next post Ambisi Hebat Pemain Drum