Read Time:3 Minute, 50 Second
Judul Film : Cahaya dari Timur Beta Maluku
Genre :Motivasi
Durasi :130 menit
Tahun : 2014
Kisah ini berawal dari Sani Tawainella (Chicco Jerikho) yang gagal menjadi pemain profesional pada seleksi PSSI 1996 di Jakarta. Setelah menerima kenyataan tersebut, Sani terpaksa pulang kampung ke Maluku. Di tanah kelahirannya, semua mimpi yang selama ini ia bangun bertahun-tahun menjadi pemain sepakbola, kemudian musnah ketika ia terpaksa menjadi tukang ojek, demi memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Tak hanya itu pada era 2000, Maluku mengalami kekacauan besar sepanjang sejarah, yakni konflik agama, antara Islam dengan Kristen. Setiap hari nyawa dari kedua kelompok melayang. Tak terhitung orang-orang yang menjadi korban dari kedua belah pihak. Ironisnya, konflik tersebut tak hanya melibatkan orang dewasa, akan tetapi anak-anak pun terlibat dalam perang dan tak sedikit yang menjadi korban.
Suatu hari, ketika Sani melihat anak-anak bermain di pinggir pantai. Dalam hatinya berguman bahwa anak-anak di Maluku ini mempunyai bakat untuk menjadi pemain bola profesional. Namun niat itu ia urungkan lantaran ia masih berkutat dengan pekerjaannya sebagai tukang ojek.
Kemudian pada suatu saat hati nuraninya mulai terketuk kembali tatkala anak-anak itu ikut menonton konflik yang melibatkan orang dewasa. Ia khawatir anak-anak meniru tindakan orang dewasa di kampungnya. Oleh karena itu untuk mengurangi kemungkinan terjadinya konflik berkepanjangan, yang melibatkan banyak generasi. Ia berinisiatif untuk melatih anak-anak itu setiap sore pukul 17.00 WIT. Sehingga tontonan kekerasan sebisa mungkin dapat dijauhkan dari mata anak-anak.
Dalam melatih mereka, Sani melibatkan temannya Rafi yang sama-sama gagal ketika mengikuti seleksi PSSI. Latihan pun rutin mereka lakukan setiap pukul 17.00 WIT. Sani memberikan prinsip kepada anak-anak untuk senantiasa disiplin dalam latihan. Jangankan tidak hadir latihan, terlambat juga mendapat perhatian dari sang pelatih yang penuh motivasi Sani Tawainella.
Lima tahun pasca redanya konflik di Maluku, di saat yang bersamaan telah lama ia melatih anak-anak. Kemampuan mereka pun semakin meningkat. Setiap orang dalam tim, telah mempunyai kemampuan yang beragam. Akan tetapi di saat yang bersamaan, temannya yang selama ini ia percaya untuk mengajak anak-anak berlatih tiba-tiba secara sepihak mendirikan SSB Tulehu Putra. Dan ia menjadi pelatihnya. Lantaran beberapa minggu setelahnya akan diadakan turnamen antar SMA se-Maluku. Menghadapi pengkhianatan temannya, Sani terpaksa meninggalkan anak-anak didiknya.
Saat ia terpuruk, tiba-tiba Yosef guru olahraga SMKN 3 Passo yang merupakan sekolah Kristen. Menawarinya untuk melatih kesebelasan SMKN 3 Passo. Tawaran itu pun ia terima. Di pertandingan final SMA se-Maluku Sani terpaksa berhadapan dengan Tulehu Putra yang telah ia latih selama bertahun-tahun. SMK Passo dipaksa menyerah ketika menghadapi Tulehu Putra. Hasil ini membuat Sani gagal untuk kesekian kalinya.
Berkali-kali kegagalan ia rasakan, rupanya semua itu terganti ketika ia diberikan kesempatan untuk melatih Maluku U-15, yang akan berlaga pada John Mailoa Cup di Jakarta. Akan tetapi kepercayaan yang ia dapatkan menjadi pelatih, rupanya mendapat ujian baru. Kali ini istrinya merasa Sani tak mempedulikan keluarganya. Haspa menganggapnya tak bisa mengurus anak-anaknya. Selain itu, masalah dana juga menjadi masalah dalam keberangkatannya ke Jakarta.
Melihat keadaan ini, masyarakat Maluku memberikan hartanya untuk membiayai kepergian tim Maluku. Selanjutnya Sani merasa terharu melihat perhatian yang diberikan oleh masyarakat Maluku. Ketika dana yang diberikan itu terasa cukup, kemudian ia dan rombongan pergi ke Jakarta.
Saat menghadapi turnamen John Mailoa Cup, Sani dipusingkan dengan anak-anak didiknya yang berkelahi satu sama lain ketika pertandingan. Keadaan itu membuatnya hampir putus asa. Beruntung Sani ditemani Yosef asisten pelatih yang dapat mengingatkan kembali tentang perjuangannya.
Sani pun seketika tersadar, kemudian ketika semangatnya kembali datang. Ia mengumpulkan segenap elemen tim dengan mengingatkan kembali agar mereka tidak mengungkit perbedaan di antara mereka. Dan menekankan bahwa mereka adalah Maluku, bukan Islam atau Kristen. Berawal dari situlah seluruh anggota tim tersadar kembali dan bermain solid. Hingga di final tim Maluku berhasil menjadi juara John Mailoa Cup.
Film ini mengajarkan kita tentang pentingnya persatuan, karena dengan hal inilah kedamaian dapat diciptakan. Selain itu film ini mengajarkan kita betapa pentingnya memiliki berjuang untuk mewujudkan mimpi. Meskipun mengalami kegagalan, namun hal itu bukan merupakan akhir dari segalanya.
Untuk lebih jelasnya, simak trailer-nya berikut ini:
FFA
Average Rating