Read Time:3 Minute, 35 Second
Judul Buku : Tuhan dalam Secangkir Kopi
Penulis : Denny Siregar
Penerbit : Penerbit Noura Books
Tahun Terbit : Januari 2017
Cetakan : Keenam
Tebal : 199 halaman
Kehidupan sosial manusia serba kompleks dengan pelbagai masalah dan kebutuhan. Permasalahan itu tak terlepas dari sosial, politik, dan ekonomi. Ketiga faktor itu era kini mampu mengubah citra agama di tengah masyarakat. Terkadang agama bercitra positif. Tak jarang ia berubah bercitra negatif.
Tak jarang demi kepentingan materi seseorang membajak Tuhan dan agama-Nya. Agama berubah fungsi menjadi garang. Sikap kasih dalam ajarannya sirna. Namun ironi, kebanyakan masyarakat pun ikut terlibat mendorong aksi tersebut. Sikap menilai sesuatu dari luarnya menjadi musabab. Sikap ini tentu menafikan apa yang sebenarnya terjadi di belakang layar. Motif sebenarnya menjadi kelam.
Iblis berbaju ulama. Kiranya gelar yang cocok dinisbatkan bagi mereka yang menjual agamanya dengan semurah-murahnya. Para penjual ayat menukar dengan harga dunia. Para ahli ibadah yang hatinya menganggap orang lain hina dan rendah. Para pembaca Al-Quran yang hanya menjadi hiasan kerongkongannya saja. Sehingga Tuhan dan agama dibawa-bawa untuk menjatuhkan orang lain dan menciptakan permusuhan.
Alkisah, suatu hari saya punya pengalaman unik. Kala itu saya bertemu seorang anak kecil penjual koran. Kemudian terjadi dialog hangat. “Apakah adik tidak sekolah? Bagaimana dengan mengaji dan ibadahmu tatkala terus bekerja?”. Sembari tersenyum dengan nada halus si anak tadi menjawab, “Tiap hari saya sekolah Bang, saya juga ngaji. Saya tidak mau mencuri meski saya butuh uang. Saya tidak mau berbohong, meski perut saya melilit. Saya tidak ngelem, karena saya tahu itu bakal merusak diri saya. Kalau badan saya rusak tidak bisa bantu ibu cari makan”. Jawaban anak kecil itu membuat saya tertegun. Dia mengkaji hidup lewat apa yang dilaluinya dijalanan (Hal 64).
Menarik kisah tersebut. Tersirat lautan hikmah dalamnya. Pandangan kacamata luar, menilai anak kecil penjual koran itu terlampau hina. Tak berpendidikan. Tak mahir ilmu agama. Begitu kiranya gambaran umumnya. Padahal pandangan tersebut belum tentu benar. Pasalnya, kebenaran di balik layar, kontras dari pandangan luar. Ia anak berpendidikan dan paham agama. Kaya akan nilai spritualitas.
Orang yang mengerti ajaran agamanya dengan baik akan sulit meninggikan dirinya di depan manusia lain. Pasalnya ia paham, bahwa manusia lain diciptakan sebagai guru untuk memenuhi akalnya. Dan itulah cara Tuhan berkomunikasi dengannya. Selain itu orang yang mengetahui agamanya dengan baik dan benar akan sulit membenci orang lain. Karena dia paham bahwa kebencian itu api, dan api itu bisa membakar jiwanya. Jika jiwanya terbakar bagaimana dia bisa mendekati Tuhannya.
Tuhan tidak perlu diteriakkan. Dia hadir dalam bisikan-bisikan lirih di sudut sepi ruangan. Tuhan sulit ditemui dalam gegap gembitanya cacian. Tuhan itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang, bukan dewa perang. Rahmat Tuhan tak terbatas oleh tempat dan waktu, bukan pula hanya tersaji dalam rumah ibadah berkubah. Melalui berbagai media ciptaan-Nya, Tuhan berikan wahana bagi hamba yang mendamba.
Mengenal Tuhan dan agama-Nya sama halnya dengan filsofi secangkir kopi. Orang-orang yang mengerti agamanya dengan baik, paham bagaimana menakar kualitas secangkir kopi. Karena kopi terbaik bukan saja berasal dari biji kopi terbaik, tetapi juga harus melalui proses terbaik. Pasalnya yang terbaik, harus berpasangan dengan yang terbaik, itulah yang menjadikannya sempurna, (hal 3)
Agama yang berorientasi pada sikap humanis tampaknya sulit didapat belakangan ini. Agama sering menjadi kambing hitam demi tujuan tertentu. Dalih membela agama seseorang sering menjatuhkan sesama, mencaci, bahkan saling memusuhi. Puncak klimaksnya agama kehilangan muruah dan subtansinya. Pemeluk agama hanya pandai berkata-kata kosong dengan embel-embel agama. Berlomba-lomba meneriakkan agama walaupun dalam balutan kebencian dan dusta.
Buku ini merupakan kumpulan tulisan Denny Siregar yang tersebar di pelbagai media sosial. Di kemas dalam judul “Tuhan dalam Secangkir Kopi”. Buku ini menceritakan bagaimana seharusnya agama bermain dalam panggung sosial. Dengan pembahasan sederhana, Siregar mencoba mengulas berbagai persoalan kehidupan beragama. Agama seharusnya memberikan rasa keamanan dan kenyamanan bagi kehidupan sosial masyarakat, bukan sebaliknya, penyebar teror dan pelbagai kebencian dan permusuhan. Namun yang menjadi nilai minus dalam buku tersebut adalah kurang tersajinya data-data yang mendukung tulisan.
IM
Average Rating