Titik Pijak Hukum Vaksin AstraZeneca

Titik Pijak Hukum Vaksin AstraZeneca

Read Time:5 Minute, 27 Second

Titik Pijak Hukum Vaksin AstraZeneca

Kehalalan vaksin Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) belakangan menjadi perkara yang santer diperbincangkan sebagian masyarakat Indonesia—khususnya umat Islam. Menurut survei Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, sekitar 30-40 persen masyarakat Indonesia menyatakan ragu dengan vaksin Covid-19, dan 7 persen lainnya tidak mau divaksinasi. Alasan keraguan itu salah satunya dikarenakan persoalan kehalalan.

Salah satu vaksin yang mendapat sorotan masyarakat adalah vaksin AstraZeneca. Vaksin itu sempat menuai polemik setelah ditemukannya kasus penggumpalan darah, sehingga sejumlah negara menunda penggunaan vaksin ini. Di Indonesia sendiri, vaksin AstraZeneca sempat menjadi buah bibir setelah vaksin itu datang pada 8 Maret lalu, terutama perihal kehahalan vaksin tersebut. Setelah diteliti, ternyata vaksin AstraZeneca mengandung enzim dari babi dalam pemanfaatan sumber bahannya.

Pada 19 Maret 2021, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun mengeluarkan fatwa mengenai hukum vaksin Covid-19 produk AstraZeneca. Vaksin yang berasal dari Inggris ini, dinyatakan haram oleh MUI. Namun penggunaannya diperbolehkan, karena kondisi darurat Covid-19 di Indonesia.

Sehubungan dengan hal itu, Institut mendapatkan kesempatan untuk melakukan wawancara khusus bersama Aminudin Yakub, Senin lalu (22/3). Ia merupakan Anggota Komisi Fatwa MUI sekaligus Anggota Badan Pengurus Harian Bidang Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) Syariah MUI 2021-2025.

Apa yang menjadi pertimbangan MUI mengeluarkan fatwa kebolehan menggunakan vaksin AstraZeneca?

Pertama, setelah dikaji dan ditelusuri bahan dan sumber bahan yang digunakan dalam proses produksi vaksin AstraZeneca, ada penggunaan dan pemanfaatan enzim yang bersumber dari  babi. Jadi—garis bawahi—ada pemanfaatan dan penggunaan enzim yang bersumber dari babi dalam proses produksi vaksin AstraZeneca. Karenanya ia diputuskan atau dihukumi haram. Vaksin AstraZeneca ini bendanya, yang haram itu adalah bendanya (vaksinnya) yang terdapat dalam botol itu. Yang kedua hukum penggunaan  benda (vaksin) ini.

Penggunaan vaksin AstraZeneca untuk program atau kegiatan vaksinasi Covid-19, fatwa MUI memutuskan hukumnya mubah (boleh) digunakan meskipun vaksin atau bendanya tadi itu dihukumi haram. Kenapa Vaksin AstraZeneca dihukumi mubah untuk digunakan? Karena ada situasi dan kondisi yang menurut ukuran syariat Islam, kondisi sekarang ini termasuk ke dalam kondisi yang al-hajah al-syar’iyyah—kebutuhan yang sangat mendesak.

Bagaimana pandangan Islam terkait sesuatu yang haram, tetapi  penggunaannya diperbolekan (seperti yang terjadi pada kasus vaksin Astrazeneca)?

Menurut kaidah hukum, kondisi al-hajah al-syar’iyyahbisa dikatakan setara dengan kondisi darurat. Sehingga kondisi darurat ini membolehkan al-mahdhurot—yang tadinya haram menjadi boleh dilakukan atau digunakan. Vaksin AstraZeneca bendanya haram, tetapi karena kondisi kebutuhan yang sangat mendesak, maka boleh digunakan untuk program vaksinasi.

Alasan kondisi sekarang dikatakan kondisi darurat, karena kalau darurat adalah suatu kondisi yang tidak ada pilihan lain kecuali hanya itu satu-satunya. Misalnya kita sekarang sedang terkena wabah Covid-19, vaksin yang ada hanyalah vaksin AstraZeneca, dan ini haram bendanya. Maka karena tidak ada pilihan lain, vaksin AstraZeneca ini boleh digunakan, itu kondisi darurat karena tidak ada pilihan lain.

Dalam vaksinasi Covid-19, pemerintah harus mengadakan 420 juta dosis vaksin untuk tercapainya herd immunity di mana 70 persen penduduk Indonesia bisa divaksin. Ada vaksin halal yang sudah MUI fatwakan sebelumnya, yaitu vaksin Sinovac yang diproduksi China. Tetapi vaksin ini hanya tersedia 140 juta, berarti kan masih kurang banyak.

Nah, karena kebutuhan yang sangat mendesak tadi, pemerintah mencari vaksin dari produsen lain, seperti AstraZeneca. Karena ada AstraZeneca ini, kemudian kondisinya al-hajah al-syar’iyyah, maka kondisi seperti ini sama dengan kondisi darurat.

Apa dasar pertimbangan dari Al-Qur’an dan Hadis yang memperbolehkan vaksin AstraZeneca digunakan untuk muslim?

Syariat Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis itu tujuannya untuk maslahat manusia. Dan dalam kondisi darurat seperti pandemi Covid-19, maka ada salah satu kaidah hukum adh-dharurah tubihu al-mahzurat—yang artinya dalam keadaan darurat diperbolehkan melakukan hal yang dilarang. Jadi, karena dalam keadaan darurat, maka hukum yang tadinya haram menjadi boleh. Sehingga vaksin AstraZeneca yang bendanya dihukumi haram boleh digunakan oleh pemerintah sebagai vaksin dalam program vaksinasi Covid-19, karena ada kebutuhan yang sangat mendesak.

Bagaimana komentar Anda apabila ada muslim yang tetap menolak vaksin AstraZeneca, meskipun sudah  ada fatwa MUI?

Pertama, seorang muslim itu kalau dia tidak memiliki pengetahuan, dia harus mengikuti orang yang mengetahui, fas`alu ahla adz-dzikri inkuntum laa ta’lamuun—bertanyalah kepada orang yang tahu masalah agama maupun hukum. Hal ini merupakan fatwa dari lembaga ulama yang notabenenya waratsatul anbiya—pewaris para nabi.

Jadi, kalau terdapat masalah hukum tanyalah kepada yang ahli dalam bidang hukum, dan ikuti apa yang menjadi petunjuk ulama selama itu berdasarkan pada Al-Qur’an dan Hadis. Yang kedua, harus dibedakan tiga hal, pertama yaitu benda vaksinnya tadi, kedua program vaksinasinya, dan ketiga hukum menaati pemerintah dalam program vaksinasi. Masalah pemanfaatan babi sebagai bahan dalam proses produksi vaksin, maka dihukumi haram.

Yang kedua, soal penggunaan vaksinnya untuk program vaksinasi, hukumnnya boleh digunakan karena kondisi yang sangat mendesak. Yang ketiga, hukum menaati pemerintah dalam melaksanakan vaksinasi, dalam hal ini, kita baca ayat Al-Qur’an, yã ayyuhal ladzîna ămanû athî’ullaha wa athî’u-r-rasûla wa uli-l-amri minkum.Kita diperintahkan taat pada Allah, Rasul dan ululamri (pemerintah). Kita taat pada ululamri yaitu pada kebijakannya untuk kemaslahatan rakyat atau kebaikan rakyat.

Bagaimana pandangan kemanusiaan diatas konstitusi Islam dalam kasus vaksin ini?

Kemaslahatan manusia ini harus ditempatkan di tempat yang utama sebagaimana dalam syariat Islam. Maqashid syariah merupakan tujuan syariat itu untuk maslahat, jadi harus ditempatkan sebagai prioritas. Apalagi dalam Maqashid syariah itu ada lima hal pokok yang wajib dijaga untuk terwujudnya maslahat, apa itu?

Maslahat agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, lima hal pokok inilah yang harus dijaga. Vaksinasi Covid-19 ini adalah untuk menjaga maslahat jiwa, karena sudah banyak manusia yang meninggal karena terserang Covid-19. Untuk menjaga maslahat harta,  karena banyak orang yang terpuruk ekonominya akibat Covid-19. Jadi vaksinasi ini sejalan dengan tujuan syariat Islam.

Bagaimana seharusnya masyarakat muslim memandang fatwa ini?

Ada kaidah fikih yang berbunyi tasharuful imam, manûtun bil maslahah—kebijakan imam/pemerintah bagi rakyat harus berdasar maslahat. Maslahat ini, sejalan dengan tujuan syariat Islam. Ada juga kaidah hukum mengatakan—di mana ada maslahat di situ ada syariat Allah. Jadi, kalau ada kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk kemaslahatan, maka kebijakan pemerintah ini berarti setara atau sejalan dengan syariat Allah. Karena kebijakan pemerintah ini sejalan dengan syariat Allah, maka kita wajib taat pada kebijakan pemerintah ini.

Kata Imam Nawawi, kalau pemerintah membuat kebijakan mewajibkan sesuatu yang sudah wajib maka hukumya menjadi tegas lagi kewajibannya, kalau pemerintah mewajibkan yang sunah maka hukumnya wajib untuk dilaksanakan oleh rakyat, kalau pemerintah mewajibkan sesuatu yang mubah dan di dalamnya ada maslahat maka hukumnya wajib dilaksanakan oleh rakyat. Maka umat islam wajib hukumnya berdasarkan dasar-dasar tadi untuk mengikuti dan melaksanakan kebijakan pemerintah tentang vaksinasi Covid-19

Elli Sasapira

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Jerat Maskulinitas Pada Laki-laki Previous post Jerat Maskulinitas Pada Laki-laki
Beasiswa Mandiri Fakultas Ushuluddin Next post Beasiswa Mandiri Fakultas Ushuluddin