Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi belakangan tengah menuai polemik. Pasalnya, sejumlah kalangan menilai peraturan tersebut secara tidak langsung melegalkan zina atau seks bebas.
Aktivis pemerhati gender, Dara Ayu Nugroho menilai bahwa pihak yang kontra terhadap peraturan ini belum memahami perihal konsensual atau persetujuan. Padahal, kata Dara, Permendikbud ini sudah bagus dan tepat dalam merinci poin-poin sesuai perspektif korban. “Jadi Permendikbud ini sudah sangat perlu diterapkan,” kata Dara kepada Institut, Sabtu (20/11).
Maraknya kekerasan seksual dari tahun ke tahun di lingkungan kampus membuat Kementerian Pendidikan mendapat desakan dari para aktivis untuk segera mengeluarkan regulasi terkait kekerasan seksual. “Aktivis gender tidak mau ada lagi korban dan penyintas kekerasan seksual, karena sudah banyak berita yang beredar setiap harinya,” ungkap Dara.
Dara melanjutkan, untuk melindungi diri dari kekerasan seksual, diperlukan kesadaran dari sesama manusia untuk belajar memahami etika kemanusiaan yang berlaku di masyarakat. “Tidak menyakiti orang lain menjadi dasar dalam menjalin hubungan,” imbuhnya.
Sementara bagi Sulthon Farhan Tsani, mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kata persetujuan dalam Permendikbud itu masih mengandung banyak arti. Seharusnya, kata dia, undang-undang bersifat jelas agar tidak terjadi kesalahpahaman. “Saran saya seharusnya pemerintah memilih kata yang tidak menimbulkan banyak penafsiran,” imbuh Sulthon (19/11).
Lain halnya dengan rekan sefakultasnya, Lutfah Amaliyah, ia justru menganggap bahwa Permendikbud PPKS ini merupakan langkah yang tepat. Regulasi itu, kata dia, dapat membentuk lingkungan yang aman bagi seluruh civitas academica. “Saya merasa terlindungi dengan adanya Permendikbud ini,” ucap Luthfah (19/11).
Menurut Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ahmad Tholabie Kharlie, perguruan tinggi tidak boleh sedikit pun mentolerir praktik kekerasan seksual. Imbuhnya, kasus kekerasan seksual harus direspons secara aktif oleh negara dan seluruh civitas academica di perguruan tinggi.
Respons aktif itu berupa upaya proses hukum kepada pelaku, termasuk pendampingan kepada penyintas, juga terkait keberadaan Permendikbud Ristek. “Respons aktif itu bentuknya bermacam-macam,” ujar Tholabi kepada Institut via Whatsapp, Senin (15/11).
Terkait dengan konsep konsensual, Tholabi mengatakan dalam kaitan hubungan seksual, sejatinya tidak dikenal dalam khazanah hukum di Indonesia. Konsepsi persetujuan lebih pada konteks relasi. “Mengakomodasi konsep consent dalam urusan hubungan seks, itu bertolak belakang dengan kaidah agama, kesusilaan, dan kaidah hukum antara lain melalui UU Perkawinan,” papar Tholabi.
Menurut Dosen Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Bivitri Susanti Permendikbud ini hanya mengatur permasalahan kekerasan seksual di lingkungan kampus. “Judul dan materi muatan dalam Permendikbud ini adalah kekerasan seksual bukan materi lainnya”. Papar Bivitri, Rabu (17/11).
Lebih lanjut, seks bebas dan kekerasan seksual merupakan dua hal yang berbeda. Dalam Permendikbud ini, meski yang dibahas mengenai lingkup pembahasan mengenai kekerasan seksual, namun bukan berarti tindakan kriminal yang lainnya diperbolehkan. “Saya juga pasti akan menegur apabila ada mahasiswa yang berciuman di depan kelas misalnya. Karena tidak sesuai dengan norma kesusilaan, tidak hanya hukum,” imbuh Bivitri.
Terkait seks bebas atau zina sudah diatur sendiri dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Bunyi lengkap Pasal 417 yakni: (1) Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda kategori II. “Permendikbud ini memang tidak bisa menjawab segala persoalan duniawi kita. Karena peraturan sangat spesifik dan tidak hanya norma hukum yang mengaturnya,” tutur Bivitri.
Untuk meluruskan pandangan publik, perlu dilakukan dua pendekatan. Pendekatan yang pertama dilakukan oleh menteri sendiri dengan banyak berdialog kepada level tingkat atas yang menentang. Pendekatan yang kedua seperti penyampaian informasi antar publik terkait penyebaran informasi yang akurat seperti liputan di majalah, media sosial, dan diskusi-diskusi lainnya. “Saya juga telah banyak mengikuti diskusi-diskusi seperti ini untuk melanjutkan pemahaman materi agar tidak salah kaprah karena data tersebut sudah kuat,” tandas Bivitri.
Reporter: Nurul Sayyidah Hapidoh
Editor: Syifa Nur Layla