Kota Penuh Bekas Luka

Read Time:7 Minute, 0 Second
Sumber: Internet
Oleh : Zainuddin*
“Bergegas meninggalkan kota yang penuh bahagia sekaligus bekas luka. Seperti dahulu, kembali memungut rasa yang mengabu dan harapan berdebu. Aku akan kembali, Mama, dengan wajah dan tubuh yang nyaris sama.”
Mortir1dan stemper2 masih utuh di atas meja. Beberapa tablet sudah disiapkan di atas kertas perkamen beserta Lactosum3 dan dua belas kapsul kosong. Blender di apotek rusak beberapa hari yang lalu. Menggerus tablet dalam mortir dengan stemper adalah hal yang biasa Nurma lakukan saat praktikum di sekolah farmasi dulu.
Tetapi, kali ini, ia seperti tak bisa melakukannya lagi. Tangannya membatu. Cara memasukkan serbuk ke dalam kapsul dengan manual pun seolah lenyap dari otaknya. Ia termangu, membiarkan obat-obatan yang harus diracik tergeletak begitu saja.
Setiap hari Nurma harus bangun pagi dan berangkat ke apotek. Bergiat dengan rutinitas yang tak menghasilkan apa-apa kecuali kelelahan yang amat sangat. Tubuhnya dipaksa bergerak demi menghasilkan uang yang tak seberapa. Terus menerus meracik obat hingga tangannya tak pernah lagi menyentuh alat-alat dapur. Ia teringat sop ayam buatannya yang diberikan kepada para tetangga. Tetapi semuanya hanya menjadi kenangan. Waktunya tersisa hanya untuk mengurusi obat saja.
Ia masih duduk termenung memandangi botol-botol obat yang berlesakan di etalase. Bau obat kerap membuatnya mual, kemarahan dokter, kesalahan dosis, omelan para pasien, segalanya kian memperkeruh hidupnya. Gelar Asisten Apoteker yang disandangnya memang membatasinya dari para buruh lain. Tapi nyatanya, resiko pekerjaannya terlalu berat untuk dijalankan. Kepalanya pening menghitung dosis obat yang berbeda untuk setiap pasien. Setiap hari ia harus bertaruh dengan nyawa manusia.
Di saat seperti ini, ingatannya selalu tertuju pada Ardilla, sang adik yang menetap di kota kelahirannya bersama sang ibu, Bu Mawar. Dengan segala keterbatasan yang ia punya, ia tak bisa memberikan perhatian yang lebih pada Ardilla.
“Belajarlah yang rajin, Dik. Supaya tidak jadi buruh.” Isi pesan terakhirnya pada Ardilla saat pulang ke kotanya setengah tahun yang lalu.
Ardilla hanya mengangguk tanpa mengerti apa yang diucapkan kakaknya.
“Kenapa kakak harus bekerja di Jakarta?” Dengan wajah polos Ardilla menatap penuh harap.
“Untuk biaya sekolahmu, Dik. Untuk siapa lagi kakak bekerja jika bukan untukmu?” Ia membelai rambut adiknya. Tanda rasa sayang yang amat mendalam.
Ardilla hanya mengangguk dan membatin, untuk apa ia belajar dengan giat kalau hanya membebani kakaknya saja?
Tetapi, Nurma memang selalu melakukan yang terbaik untuk Ardilla. Apapun, apapun akan ia lakukan jika mampu membuat Ardilla dan Bu Mawar bahagia
“Jakarta hanya kota tua yang akan segera binasa, Ma.” Ucapnya lembut pada sang mama, sebelum kembali ke Jakarta.
“Tidak, Nurma. Kota itu menopang hidupmu. Sayangilah Jakarta, sebab dari sanalah kau mampu membangun mimpimu dari nol.” Bu Mawar memegang kedua bahu anak sulungnya dengan gemetar.
“Mimpi untuk tetap diperbudak para penguasa, Ma?” Nurma menghempaskan tangan Bu Mawar dan menjauh.
Malam itu, segala harapan benar-benar luruh. Percakapan berakhir dengan tangis panjang Bu Mawar di dalam kamarnya. Betapa tidak, wanita paruh baya itu kembali teringat suaminya yang memang berasal dari keluarga kaya-raya, kasta para penguasa. Lelaki nomor satu dalam hidupnya yang meninggalkan keluarga hanya karena seorang gadis muda dengan senyum mempesona. Bu Mawar malu pada seluruh warga di kotanya. Suami yang meninggalkannya begitu saja tanpa menyisakan sedikitpun harta dan tanggung jawab menjadi aib yang begitu besar untuknya.
Dalam hatinya, Bu Mawar amat sangat menginginkan Nurma berada di rumah saja. Tapi apa daya, omongan tetangga dan kondisi hatinya tak bisa diterima. Sungguh, Bu Mawar tak pernah sedikit pun berpikir untuk menyerah di tengah gunjingan yang menggema dimana-mana. Ia hanya ingin bertahan hidup, sama dengan para janda lain di kotanya. Hanya saja cara yang diambilnya berbeda dari para janda lain. Jauh di lubuk hatinya, ia menginginkan kemandirian Nurma tumbuh. Meski ia tahu, betapa sulitnya Nurma membangun kedewasaannya dalam kondisi yang amat memprihatinkan. Bagi Bu Mawar, melepas Nurma adalah satu-satunya cara.
“Papa telah pergi menggapai kebahagiaan baru tanpa kita.” Ujar Nurma suatu ketika, pada Ardilla yang amat merindukan papanya.
Ardilla tak pernah mengerti kenapa Pak Surya meninggalkan mereka. Bu Mawar hanya menjelaskan bahwa papanya sudah bahagia. Giliran mereka-lah yang harus mencapai kebahagiaan masing-masing: entah bagaimana caranya. Di usianya yang baru menginjak lima tahun, Ardilla tentu tak mengerti kondisi yang dialami keluarganya. Ia tak tahu jauh di depan jalan yang akan ia lalui sebuah batu besar kasat mata menghadang dengan gagahnya. Dan Nurma telah mengerti benar bagaimana batu itu berhasil menjauhkannya dengan kebahagiaan.
“Nurma bisa bekerja di kota ini, Ma. Masih banyak apotek yang mau menerima. Meski gajinya memang kecil.” Pinta Nurma pada Bu Mawar dengan lemah lembut.
“Lalu bagaimana dengan adikmu? Belum lagi pamanmu yang ingin mempekerjakanmu sebagai pembantu. Kau mau?” Bu Mawar kembali putus asa.
Sejak ditinggal pergi suaminya, semua kebutuhan keluarga memang ditanggung Pak Dirgan, pamannya, adik sang papa. Namun, apakah kebaikan memang harus selalu dibalas dengan pengorbanan? Berarti selama ini Pak Dirgan berpamrih menolong Nurma dan keluarganya? Entahlah, tak seorang pun dapat menjawabnya. Nurma, ataupun Bu Mawar dan Ardilla, masih belum sembuh benar dari segenap luka di kehidupan mereka.
Nurma masih menatap mortir dan stemper di atas meja. Pikirannya jauh mengenang kota kelahirannya. Dalam kantong bajunya hanya tersisa selembar uang seratus ribu rupiah. Tidak cukup untuk ongkos pulang, apalagi untuk diberikan pada keluarganya. Ia tak punya tabungan lagi. Satu-satunya cara agar ia bisa pulang adalah dengan mengambil lembur minimal tiga hari dalam seminggu. Uangnya bisa ia sisihkan untuk membayar sekolah Ardilla.
Tetapi, Nurma juga harus berpuasa selama sebulan penuh, agar ia hanya makan sekali sehari. Sisa uang makannya bisa ia gunakan untuk kebutuhan selama pulang nanti. Tetapi Nurma masih harus bersabar. Ia mesti menunggu giliran libur dengan karyawan lain. Sementara itu, kerinduan akan kotanya kian membuncah di dalam dada.
Kotanya adalah kota paling ramah yang pernah ada. Nurma tak pernah menemukan kota yang lebih tentram ketimbang kota kelahirannya. Tak ada pelacur yang mabuk di tepi jalan saat dini hari. Di sepanjang trotoar, tertata rapih tanaman hias di dalam pot berbentuk kotak. Suara adzan yang berselingan dari surau satu ke surau lainnya, ayam yang selalu berkokok tiap pagi tiba, dan capung-capung yang beterbangan di kebun belakang rumahnya.
Untuk apa Nurma terus-terusan bergulat dengan obat jika seluruh kehidupannya terenggut tanpa jeda? Bahkan sampai tak bisa menemui keluarganya. Jakarta memang menyumbat lukanya, namun berhasil membuka luka yang lainnya. Mata Nurma memerah, tak kuat menahan lara. Sungguh, Nurma masih merindukan aroma tanah kelahirannya.
Jika bukan permintaan mamanya, jika bukan untuk biaya sekolah adiknya, jika bukan untuk menghindar dari orang-orang yang menghina keluarganya, Nurma sama sekali tak ingin berada di Jakarta.
Di kota kelahirannya ia dikucilkan. Di Jakarta ia kini terasingkan. Keraguan menyergap batinnya. Nurma dilanda kebingungan penuh. Menetap di Jakarta hanya menghabiskan waktunya. Di kotanya, ia akan membuka bekas luka: pilihan yang sama-sama buta untuk dirinya. Ia asing pada keinginannya. Ia menjadi asing pada ibunya. Ia merasa begitu asing berada di Jakarta. Betapa gelisah Nurma dibuatnya.
Nurma ingat saat sekolah dulu. Ketika ia ditanya perihal cita-cita oleh gurunya, ia menjawab ingin menjadi presiden wanita. Tetapi, keinginan itu menjadi sangat tak mungkin sekarang. Jangankan untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, untuk mengisi perutnya saja, Nurma harus berpikir ekstra hemat. Belum untuk membayar uang kost dan kebutuhan sehari-hari. Ia tak bisa menyalahkan siapapun kecuali dirinya sendiri. Papanya memang bersalah. Tapi tak mungkin baginya menagih kembali tanggung jawab sebagai orang tua.
Pak Surya amat susah dihubungi. Dulu saat Nurma dan Ardilla masih kecil, mereka hanya bertemu papanya sebelum berangkat sekolah dan sesaat sebelum mereka tidur di malam hari. Dulu, Pak Surya adalah pejabat penting di kota kelahirannya. Saat dipindahkan ke Jakarta, saat itu pula ia mengkhianati keluarga. Meski sama-sama berada di Jakarta, Nurma tak pernah berpikir untuk bertemu dengan papanya. Tak ada lagi yang perlu dituntut dari sosok penguasa yang menghancurkan hidupnya. Nurma hanya bisa menghela napas. Menelan masa lalu yang kelam dan bersiap menyongsong kehidupan di kemudian hari.
Mortir dan stemper masih utuh di atas meja. Nurma melongok ke ruang tunggu dan menemukan begitu banyak pasien yang antri. Sudah dipastikan takkan ada waktu untuk istirahat hari ini. Nurma berbalik arah dan sekali lagi menatap kosong ke arah mortir dan stemper di atas meja. Isi kepalanya mengabur ke mana-mana. Tangannya bergerak sendiri meracik obat yang telah disiapkan di atas kertas perkamen. Dengan Lactosum dan beberapa tablet, ia menggerus dengan khusyuk. Seperti menggerus keinginannya untuk kembali ke kota yang penuh bekas luka.
1 Mortir : Semacam  wadah berbentuk mangkuk kecil untuk menggerus obat.
2 Stemper : Sejenis alu untuk menggerus obat dalam mortir.
3 Lactosum : Zat pemanis alami untuk mengurangi rasa pahit dalam obat.

*Penulis adalah mahasiswa Aqidah Filsafat, Fakultas Ushulludin

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Aksi Solidaritas Salim ‘Kancil’
Next post Berhenti Impor Beras, Cintai Produk Sendiri