Read Time:2 Minute, 23 Second
Pada 20 Oktober 2016, genap dua tahun sudah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK). Dalam waktu yang bersamaan ratusan mahasiswa yang berasal dari berbagai perguruan tinggi tergabung dalam Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM-SI), mereka melakukan aksi nasional di depan Gedung Kementerian Kordinasi Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Jalan Medan Merdeka Barat, Kamis (20/10). Aksi tersebut bertujuan untuk mengevaluasi, mengkontemplasi, mendesak, dan menuntut janji pemerintah.
Selaku Kordinator Aksi Rizky Fajrianto menilai rakyat belum sejahtera, bahkan kesenjangan sosial semakin bertambah. Hal ini diperkuat dengan hasil temuan Institut for Development of Economic and Finance (INDEF) yang menyatakan bahwa ketimpangan sosial mencapai angka 0.41-0.45 persen pada 2016. Apabila ketimpangan sosial sudah mencapai 0.5 persen, maka sudah memasuki zona berbahaya bagi kestabilan negara.
Selanjutnya Rizky menganggap presiden tidak efektif dalam mengelola Negara Indonesia. Hal ini lantaran kabinetnya tidak solid, lebih terlihatnya kepentingan transaksional oligarki, bahkan nasionalisme pun dianggap meredup, karena mempertahankan Artcandra Tahar yang terindikasi berkewarganegaraan ganda di dalam salah satu susunan kementerian.
Tak hanya itu, beberapa kebijakan pemerintah pun dirasa tidak pro rakyat. Semisal kebijakan mengeluarkan Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan (SP3) kepada 15 perusahaan pelaku pembakar hutan di Riau, kebijakan Pengampunan Pajak, reklamasi Pantai Jakarta dan Teluk Benoa di Provinsi Bali, perpanjangan izin ekspor konsentrat PT Freeport Indonesia, serta kebijakan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual.
Menurut Kordinator Pusat BEM-SI Bagus Tito Wibisono mengatakan selama dua tahun pemerintahan Jokowi-JK, kinerja yang dilakukan kurang optimal. Salah satunya, membengkaknya hutang Indonesia pada luar negeri. “Kalau diibaratkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) mah 1,8 lah,” kata mahasiswa yang berasal dari Universitas Negeri Jakarta ini, Kamis (19/10).
Dalam aksi tersebut Aliansi BEM-SI menuntut lima hal. Pertama meminta pemerintahan Jokowi-JK menindak dan mengusut tuntas mafia pembakar hutan dan lahan. Kedua, membatalkan reklamasi teluk Benoa dan Pantai Jakarta. Ketiga, mencabut program pengampunan pajak. Selanjutnya meminta untuk tidak memperpanjang izin ekspor konsentrat setelah Januari 2017. Terakhir menuntut pemerintah mencabut hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual.
Kemudian Tito juga memaparkan, aksi tersebut merupakan bentuk konsistensi BEM-SI untuk menjadi mitra kritis pemerintah sekaligus poros tengah yang menyambungkan lidah rakyat. Pun memberitakan kebenaran tentang ekspektasi kebijakan pemerintah dengan fakta yang terjadi di lapangan.
Senada dengan Tito, salah seorang peserta aksi Aldi Setiawan menuturkan aksi tersebut sebagai ajang untuk mengevaluasi pemerintah. Melalui aksi ini, diharapkan pemerintah dapat melakukan perbaikan dalam menjalankan kepemerintahnnya, juga dalam mengeluarkan kebijakan agar lebih mengedepankan kepentingan rakyat. “Jangan cuma pro pengusaha dan orang kaya saja,” tutur mahasiswa Universitas Negeri Semarang ini, Kamis (19/10).
Terkait hal ini, Pakar Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno angkat bicara. Ia menyayangkan aksi yang dilakukan mahasiswa saat ini. Menurutnya, mahasiswa sekarang hanya menggelar aksi ketika ada momen-momen tertentu. Ia menyarankan, seharusnya mahasiswa mengkritisi pemerintah di setiap kebijakan yang dikeluarkan. “Tidak hanya ketika dua tahun Jokowi-JK,” tutupnya, Kamis (20/10).
MU
Average Rating