Read Time:2 Minute, 32 Second
Judul : The Battleship Island
Sutradara : Ryeo Seung Wan
Genre : Aksi
Durasi : 132 menit
Film The Battleship Island memampangkan kekejian penjajahan Jepang. Kerja paksa hingga eksploitasi perempuan sebagai pelacur menjadi adegan kelam perbudakan dunia.
Saban penjajahan, kejahatan kemanusiaan lumrah menguntit mengirinya. Keduanya ibarat api dan asap. Tak bisa dipisahkan. Dalam waktu yang lama, dunia saling ekspansi. Negara yang kuat lumrah menjajah negara nan lemah. Begitu hukum alamnya. Imbasnya pun beragam. Tapi satu yang pasti, jutaan jiwa tanpa dosa menjadi korban.
Sutradara, Ryeo Seung Wan pun mencoba membongkar tabir hitam tersebut. Lewat film The Battleship Island, Seung memampangkan fenomena penderitaan masyarakat sipil akibat penjajahan. Berlatar belakang tahun 1945—akhir perang dunia II— negara Samurai, Jepang, menjajah Semenanjung Korea. Kala itu pelbagai penderitaan dialami rakyat Korea.
Perbudakan merupakan salah satu imbas penjajahan Jepang. Choi Chil-sung (So Ji-sub)—mantan gengster— bersama masyarakat Thaeyon dikumpulkan di dek kapal. Mereka diangkut menuju pulau Hashima. Sayang, dalam kapal mereka tak mendapatkan kenyamanan. Di letakkan di dek kapal membuat para penumpang kewalahan menghadapi udara panas ruangan. Sayang, akibat terjajah, tak ada perlawanan.“Sekali melawan kalian akan mati” begitu ujar tentara Jepang.
Ibarat jatuh, tertimpa tangga pula. Penderitaan pun masih berlanjut. Sesampai di tempat tujuan, Pulau Hashima (40 km dari Nagasaki), penumpang pun dipisahkan antara pria dan wanita. Melihat teman wanitanya dipisahkan, Choi Chil-Sung dan warga lain pun melawan, tapi tak berdaya. Pasalnya mereka mendapat pukulan dan tendangan dari tentara Jepang nan perkasa dengan senjata kepunyaannya.
Dalam film berdurasi 130 menit ini Seung pun mempertontonkan perihnya perbudakan. Para pria diasingkan, digiringmenuju tambang batubara. Tak kurang dari 400 orang dipekerjakan siang-malam tanpa upah. Waktu istirahatpun terbatas. Di samping itu, makanan penambah tenaga juga tak layak komsumsi. “Makanan apa ini ?” keluh Lee Kang-Ok sesaat usai menemukan kecoa dalam makanannya. Jadi, wajar saja ratusan mayat pun bergelimpangan. Tak terurus. Hanya menyisakan sejarah kelam.
Perbudakan memang belum berhenti hingga sekarang, meskipun Liga Bangsa-Bangsa (sekarang PBB) telah melakukan Konvensi Perbudakan sejak 1926. Bentuk perbudakan saat ini tidak jauh berbeda dengan dulu semasa perang dunia. Kini termasuk perbudakan juga anak-anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, bekerja di lahan pertanian atau pabrik. Sampai tenaga kerja terikat yang berjuang untuk melunasi utang yang bertumpuk dan korban penyelundupan manusia.
Sekretaris Jenderal PBB periode 2012-2016 Ban Ki Moon dalam perhelatan Hari Penghapusan Perbudakan Internasional 2015 memperkirakan saat ini 21 juta orang di dunia menjadi budak. Ban mengisyaratkan agar negara-negara anggota PBB kembali mengingat resolusi Hari Anti Perbudakan.
Film ini bergenre drama. Sutradara Ryeo Seung Wan seolah mengajak penonton untuk menentang perbudakan. Adegan demi adegan terpampang kekejian perbudakan. Pada dasarnya perbudakan bentuk eksploitasi manusia. Tak berkemanusiaan dan jauh dari kata memanusiakan manusia.
Sayang, terdapat pelbagai kekurangan dalam film ini. Terlalu banyak bagian misalnya. Kondisi ini membuat film tergolong tak jelas. Di samping itu membuat cerita terpotong-potong. Terlebih lagi, banyak artis pemeran baru yang muncul tiba-tiba di tengah cerita. Hal itu semakin membuat cerita semakin tak fokus.
Muhamad Ubaidillah
Average Rating