Read Time:3 Minute, 46 Second
Ruang gerak mahasiswa makin terbatas sebab pandemi masih merebak. Banyak kelompok mahasiswa yang mengadakan diskusi dalam jaringan (daring) untuk tetap menghidupkan aktivitas organisasinya. Namun di sepanjang Juni, terhitung ada sejumlah kasus intimidasi yang menimpa sekelompok mahasiswa di beberapa perguruan tinggi.
Hal tersebut dialami oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) dan Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa (UKPM) Teknokra Universitas Negeri Lampung. Keduanya mendapat reaksi negatif akibat mengadakan diskusi terkait persoalan Papua. Hal serupa pun turut dialami mahasiswa Universitas Nasional (Unas) yang melakukan unjuk rasa menyoal transparansi biaya pendidikan. Akan tetapi, aksi mereka malah dihadang oleh petugas keamanan kampus, lalu mereka pun dipaksa membubarkan diri.
Kebebasan Berkespresi Dibungkam
Pada Diskusi Publik #PapuanLivesMatter: Rasisme Hukum di Papua yang diselenggarakan oleh BEM UI pada 6 Juni lalu justru membuat pihak BEM UI dicecar pihak kampus. Melalui surat edaran Biro Hubungan Masyarakat (Humas) UI pihak kampus menyatakan bahwa pelaksanaan diskusi dinilai tidak sejalan dengan aturan yang berlaku di UI. Bahkan, diskusi tersebut dinilai menghadirkan narasumber yang tidak layak.
Menanggapi hal itu, Kepala Kajian Strategis Leon Alvinda Putra menyatakan bahwa dirinya beserta rekan rekan BEM UI tak tahu menahu soal kejelasan aturan yang dimaksud pihak kampus. “Kita tidak tahu tata cara dan peraturan itu seperti apa,” ungkap Leon ketika diwawancara via Line, Sabtu (13/6).
Leon menambahkan, diskusi tersebut juga menghadirkan narasumber yang proaktif dalam membela persoalan Papua. Di antaranya adalah pengacara Hak Asasi Manusia (HAM) Veronica Koman, pengacara HAM Papua Gustaf Kawer dan turut menghadirkan salah seorang mantan tahanan politik Papua yang namanya dirahasiakan.
Atas kejadian itu pun, Aliansi Dosen UI turut melayangkan pernyataan sikap yang menyayangkan respon pihak kampus, Senin (8/6). Mereka bahkan mendorong pihak UI untuk senantiasa mendukung kebebasan berpendapat, dan mengajak sivitas akademika UI untuk merespon perbedaan pendapat melalui forum ilmiah, serta menghimbau agar pihak kampus tidak terjebak dalam kebenaran tunggal. Dilansir dari berbagai sumber, tercatat ada sekitar 38 dosen yang tergabung dalam aksi dukungan ini.
Tak hanya UI, hal serupa turut dialami oleh UKPM Teknokra Unila yang juga menggelar diskusi mengenai persoalan Papua pada Kamis (11/6). Melalui keterangan resminya di situs teknokra.com, Pemimpin Redaksi Teknokra Mitha Setiani Asih menjabarkan secara runtut kronologis teror yang menghantui dirinya beserta rekan-rekannya.
Selain mengirimkan kata-kata provokasi, peneror juga mengirimkan data-data berupa identitas lengkap salah satu rekannya bahkan hingga identitas orang tuanya, pelaku juga mencoba untuk meretas akun-akun media sosial (medsos) UKPM Teknokra hingga akun medsos Mitha. Akibat rentetan teror tersebut, ia bersama rekan-rekannya terpaksa harus bersembunyi di sebuah rumah.
Menanggapi hal tersebut, Mitha lanjut mengatakan bahwa dirinya mengajak orang-orang untuk mengecam aksi teror yang menimpa dirinya beserta rekan-rekannya. Menurutnya hal itu telah mencederai kebebasan berekspresi, terlebih para pelakunya telah bertindak dengan cara-cara kotor yang merugikan orang lain. “Boleh tidak suka dengan isinya, tetapi tidak dengan membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi,” tegasnya dikutip dari laman teknokra.com, Senin (15/6).
Aksi Solidaritas Berujung Tuntutan Pidana
Masih soal ancaman kebebasan berekspresi, kali ini dialami oleh mahasiswa Unas. Terhitung sejak bulan Mei lalu, sekelompok mahasiswa Unas telah menyatakan solidaritas guna menuntut pihak kampus yang dianggap tidak transparan dalam pengelolaan biaya pendidikan. Solidaritas itu disebut dengan gerakan #UnasGawatDarurat yang aksinya dikampanyekan melalui akun Instagram @unasgawatdarurat.
Kemudian pada Rabu (10/6), sekumpulan mahasiswa Unas menggelar aksi unjuk rasa ke dalam kampus. Nahas, aksi mereka dihadang oleh pihak keamanan yang berjaga di depan gerbang. Dalam video yang tersebar di medsos Twitter dan Instagram, tampak para petugas keamanan tidak terima dengan aksi yang dilakukan mahasiswa Unas.
Petugas keamanan memarahi para peserta aksi karena dianggap tidak memerhatikan kondisi serta menyalahi prosedur, padahal aksi telah dilakukan dengan mengindahkan protokol kesehatan. Aksi tersebut diperparah dengan pengeroyokan salah seorang mahasiswa Universitas Bunda Mulia (UBM) yang turut bersolidaritas dalam aksi protes.
Salah seorang mahasiswa Unas Dendy yang turut tergabung dalam aksi, ia memberikan lampiran berupa kronologis gerakan #UnasGawatDarurat. Dalam lampiran tersebut, dijelaskan secara runtut kronologis aksi mulai dari protes pertama pada 10 Juni hingga terakhir pada 12 Juni.
Dalam lampiran tersebut juga dituliskan dialog mahasiswa yang terlibat aksi bersama dengan Komisi Disiplin (Komdis) kampus. Mereka dipanggil karena dinilai menjadi provokator dalam gerakan #UnasGawatDarurat yang dikampanyekan melalui Instagram. Komdis bahkan mengancam akan membawa persoalan tersebut ke ranah pidana, karena dianggap telah melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Hingga saat ini aksi solidaritas tersebut diperkirakan akan tetap berlangsung. Saat dimintai keterangan lebih lanjut, Dendy mengatakan bahwa ke depannya mahasiswa Unas akan kembali mengadakan audiensi secara terbuka. “Kami masih kaji soal itu, sedang kami diskusikan,” pungkas mahasiswa Hubungan Internasional tersebut, Selasa (16/6).
Maulana Ali Firdaus
Average Rating