Pengesahan KUHP masih menjadi polemik. Para pegiat wartawan menuntut perubahan UU terbaru, hal ini bukan tanpa alasan. Draf yang dikeluarkan disinyalir mengancam kebebasan pers.
Melansir dari laman resmi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), pada Selasa (6/12) lalu, DPR RI dan pemerintah secara resmi mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Meski telah disahkan, berbagai elemen masyarakat masih merasa keberatan dengan draf UU terbaru. Salah satunya datang dari kalangan pegiat wartawan, seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta selaku praktisi AJI, Saiful Bahri turut menanggapi pengesahan RKUHP. Saiful mengatakan RKUHP akan memiliki perjalanan yang panjang. “RKUHP telah melalui serangkaian langkah panjang. Namun ketika draf baru keluar, ternyata tidak jauh berbeda dengan KUHP sebelumnya,” tutur Saiful, Kamis (15/12).
Saiful menambahkan, satu satu cara yang bisa diambil oleh AJI, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), juga pegiat wartawan hanyalah langkah judicial review. Sebab RKUHP sudah ketuk palu dan disahkan oleh DPR. “Selama 3 tahun ke depan kita harus terus perjuangkan, sebelum UU ini nantinya benar-benar berlaku,” tambahnya.
Direktur Eksekutif Lembaga Badan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin, menyikapi banyaknya kalangan yang pesimis dengan pengajuan judicial review. Menurut Ade, langkah judicial review memang memiliki kemungkinan keberhasilan yang kecil. Langkah ini dapat dilakukan apabila pihak pelapor memiliki bukti otentik soal pelanggaran yang terjadi, sedangkan UU ini baru berlaku 3 tahun lagi.
Ade menjelaskan, selain langkah judicial review, cara lain yang mungkin lebih efektif ialah melalui langkah politis. Dengan langkah tersebut, lanjutnya, ia berharap muncul titik tengah dalam penyelesaian permasalahan untuk kemaslahatan masyarakat. “Dialog kepada DPR bisa menjadi langkah untuk menghapus UU yang kontroversial,” ungkap Ade, Jumat (16/12).
Ade menyebutkan bahwa payung hukum tambahan bukan solusi utama. Sebab, lanjutnya, pasal yang kontroversial seharusnya dihapus. Pasal multitafsir harus segera diperjelas, sehingga tidak menjadi alat untuk menyerang salah satu pihak.
Ade menambahkan, pasal-pasal baru hanya akan membuat UU saling tumpang tindih, sehingga tidak ada kejelasan dalam rangka melindungi cara kerja jurnalistik. Menyikapi keberadaan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, Ade menilai UU tersebut masih sangat relevan untuk tetap dijadikan pegangan para jurnalis.
Ahli Komisi Hukum Dewan Pers Hendrayana menanggapi soal pasal kontroversi yang dianggap meresahkan oleh para pegiat wartawan. Dewan Pers sudah mengakomodir terkait 9 klaster dan 20 pasal bermasalah kepada DPR. “Yang kita ajukan tentang 9 klaster dan 20 pasal yang bisa mengancam kebebasan pers,” katanya melalui Zoom Meeting, Kamis (22/12).
Dilansir dari cnnindonesia.com, 9 klaster yang dimaksud adalah pasal penghinaan terhadap presiden, pasal makar, penghinaan lembaga negara, pidana demo tanpa pemberitahuan, berita bohong, hukuman koruptor turun, pidana kumpul kebo, sebar ajaran komunis dan pidana santet.
Hendrayana menyampaikan, hingga kini pihak DPR belum merespons tuntutan yang dibuat oleh Dewan Pers. Menurut informasi yang Ia terima, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Republik Indonesia (RI), Edward Omar Sharif Hiariej akan membuka forum diskusi untuk menyelesaikan pasal kontroversial, namun belum bisa ditetapkan kapan waktunya.
Apabila belum ada respons terkait pasal tuntutan Dewan Pers, pihaknya akan meminta pasal pengecualian untuk tetap melindungi kerja-kerja jurnalistik. “Kami akan meminta suatu prasa satu pasal pengecualian, yaitu terkait sepanjang menyangkut karya jurnalistik, riset atau pengetahuan untuk tidak dipidanakan,” pungkas Hendrayana.
Reporter: BAP
Editor: Hany Fatihah Ahmad